Jakarta (Antara Babel) - Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mencurigai langkah Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM untuk memberikan remisi kepada terpidana korupsi lebih bermotif politik daripada motif hukum.

"Patut dicurigai adanya motif politik yang lebih kuat daripada motif hukum," kata Alvon Kurnia Palma pada diskusi "Dialog Kenegaraan: Remisi Buat Terpidana Korupsi" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.

Alvon menjelaskan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 99 tahun 2012 tentang Remisi, mengatur bahwa terpidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika, tidak diberikan remisi serta pembebasan bersyarat.

Berdasarkan data KPK Watch, menurut Alvon, jumlah kasus korupsi partai politik pada periode 2002-2012, yang tertinggi adalah PDI Perjuangan yakni 133 kasus, kemudian Partai Golkar 73 kasus, Partai Demokrat 37 kasus, dan Partai Amanat Nasional (PAN) 33 kasus, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 17 kasus, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 15 kasus.

Jika mencermati data KPK Watch, maka patut dicurigai, langkah Pemerintah yang ingin memberikan remisi kepada terpidana korupsi lebih bermotif politik.

Alvon menjelaskan, dalam PP No 99 tahun 2012 menjelaskan bahwa pemberian remisi kepada terpidana diberikan berdasarkan persyaratan tertentu yakni narapidana sudah menjalani hukuman penjara minimal enam bulan dan berperilaku baik.

Sedangkan, pemberikan bebas bersyarat diberikan kepada narapidana yang sudah menjalani masa hukuman penjara minimal dua pertiga dan berperilaku baik.

"Perilaku baik itu dinilai oleh petugas di lembaga pemasyarakatan. Padahal, petugas di lembaga pemsyarakatan itu sendiri masih bermasalah, sehingga penilaiannya bisa tidak obyektif," katanya.

Alvon mengkhawatirkan rencana pemberian remisi terhadap terpidana korupsi adanya kontribusi dari para pelaku korupsi.

Pewarta: Riza Harahap

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015