Pangkalpinang (Antara Babel) - Pemerintah Provinsi Bangka Belitung (Babel) bertekad mengembalikan kejayaan lada putih atau "Munthok White Pepper" sebagai produsen dan eksportir terbesar dunia.

Sejak lama Bangka Belitung terkenal sebagai penghasil lada putih di pasar dunia karena komoditas itu memiliki cita rasa dan aroma yang khas.

Pada masa 1987 hingga 2002 merupakan kejayaan lada putih dengan produksi mencapai 62.000 ton per tahun. Namun, pada tahun 2005 hingga 2009 kejayaan lada putih tersebut mulai memudar dan tidak lagi menjadi produsen dan ekspotir terbesar di dunia seiring dengan hasil perkebunan lada petani yang terus mengalami penurunan hingga 10.000 ton per tahun.

Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi bertekad mengembalikan kejayaan lada putih melalui revitalisasi perkebunan untuk meningkatkan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi, dan pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan.

"Kami terus memperluas lahan perkebunan petani, mulai 2010 hingga saat ini luas tanam dan produksi lada petani terus mengalami peningkatan," katanya.

Pada tahun ini, produksi lada petani ditargetkan mencapai 54.747 ton atau mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya 42.715 ton.

Produksi lada putih pada tahun 2014 mencapai 42.715 ton dengan luas lahan tanaman menghasil 28.008 hektare atau mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan produksi 2013 sebanyak 38.359 ton dengan luas lahan 23.452 hektare.

"Pada tahun ini diperkirakan luas tanaman lada yang menghasilkan 33.534 hektare dengan produksi meningkat 1,63 ton per hektare dibanding tahun sebelumnya 1,53 ton per hektare," ujarnya.

Untuk mencapai target produksi lada putih petani tahun ini, kata dia, pihaknya terus melakukan perluasan dan pemantapan areal lada,  penyediaan lahan untuk kebun benih unggul, serta penyediaan sarana produksi.

Selain itu, penerapan pengelolaan budi daya yang baik, penerapan bibit polybag tujuh ruas, mendorong perkembangan penangkaran lada, dan fasilitasi sarana produksi penangkar, serta penerapan pengendalian hama terpadu.

"Mudah-mudahan dengan upaya ini petani makin bergairah mengembangkan dan meningkatkan perkebunan lada putihnya," ujarnya.

Tidak hanya itu, kata Rustam Effendi, pihaknya akan membentuk peraturan daerah tentang harga eceran tertinggi komoditas perkebunan untuk menjaga stabilitas harga hasil perkebunan petani daerah itu.

"Harga eceran tertinggi (HET) karet, lada putih, dan hasil perkebunan petani lainnya ini penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani," katanya.

Selama ini, kata dia, harga hasil perkebunan petani itu masih berdasarkan mekanisme pasar yang relatif cukup merugikan petani. Misalnya, pada saat hasil karet petani berlimpah dan permintaan industri kurang sehingga berdampak langsung terhadap harga di tingkat petani anjlok.

"Saat ini, harga karet petani anjlok sehingga berdampak langsung terhadap perekonomian petani," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, pihaknya akan segera menyusun dan mengajukan Raperda HET hasil perkebunan petani ini.

"Mudah-mudahan tahun ini, raperda ini sudah menjadi perda yang harus dipatuhi pedagang, pengusaha atau eksportir komoditas ini," ujarnya.

Menurut dia, Perda HET akan sangat membantu pemerintah dalam meningkatkan minat petani mengembangkan sektor perkebunan itu.

Selanjutnya, pemerintah terus mendorong investor untuk berinvestasi membangun pabrik pengolahan hasil perkebunan petani itu.

"Kami berharap petani untuk bersabar dan terus meningkatkan kualitas dan mutu hasil perkebunan untuk mendongkrat harga di pasar lokal, nasional, dan internasional," ujarnya.    
    
Sementara itu, Kepala Distanbunnak Babel Toni Batubara mengatakan bahwa berdasarkan Kepmentan Nomor 46/Kpts/PD.120/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional, Kabupaten Bangka Selatan ditetapkan sebagai daerah pengembangan lada putih.

"Dengan adanya kepmentan, pengembangan perkebunan lada putih akan lebih fokus dan mempermudahkan pemerintah daerah mengembalikan kejayaan lada ini," ujarnya.

Pada tahun ini, kata dia, pihaknya akan menyalurkan bantuan bibit 880.000 bibit lada bersertifikat kepada 44.204 orang petani.

"Bantuan yang berasal dari APBN sebesar Rp3,9 miliar ini bertujuan membangkitkan gairah petani mengembangkan tanaman lada untuk meningkatkan kesejahteraan kelurganya," ujarnya.

Selain itu, pihaknya menyediakan 49.500 ton pupuk bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan petani dalam meningkatkan produksi pertanian.

"Kami sudah mulai menyalurkan pupuk urea, SP-36, ZA, NPK, dan organik bersubsidi sehingga petani tidak lagi kesulitan melakukan penanaman secara serentak pada awal tahun ini," katanya.

Ia menjelaskan sebanyak 49.500 ton pupuk bersubsidi tersebut terdiri atas pupuk urea 18.000 ton, SP-36 4.000 ton, ZA sebanyak 2.500 ton, NPK sebanyak 19.000 ton, dan pupuk organik 6.000 ton.

"Mudah-mudahan stok pupuk bersubsidi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan petani guna meningkatkan hasil tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan budi daya," ujarnya.

Penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani, kata dia, akan diawasi dengan ketat guna mencegah penyelewengan yang merugikan pemerintah dan petani.

"Kami telah menetapkan koperasi, KUD, dan kios-kios yang menyalurkan pupuk bersubsidi ini untuk memudahkan dan meringankan petani memperoleh pupuk murah dan berkualitas dalam meningkatkan hasil petaniannya," ujarnya.

Bupati Bangka Barat Zuhri M. Syazali juga terus berupaya mengembalikan kejayaan lada putih di kabupaten itu dengan memotong mata rantai pemasaran lada putih untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian petani di daerah itu.

"Beberapa waktu lalu, kami mengajak beberapa pelaku pasar dan pembeli lada dari Belanda. Mereka langsung berkunjung ke perkebunan lada di Desa Kundi dan cukup terpikat untuk menjalin kerja sama pemasaran komoditas unggulan tersebut," katanya.

Jalinan kerja sama dengan bertemunya langsung pembeli dari luar negeri dan petani tersebut diyakini akan menguntungkan para petani karena akan memotong minimal satu mata rantai pemasaran.

"Dengan pola seperti itu kami yakin petani akan mendapatkan jaminan harga jauh lebih tinggi daripada harga pedagang pengepul, ini cukup menguntungkan petani," ujarnya.

Dengan adanya pola kerja sama seperti itu, Zuhri menyarankan agar petani menjaga kualitas produksi sesuai dengan standar internasional. Hal ini supaya pembeli tidak kecewa.

Menurut dia, standar pasar internasional tidak hanya dilihat dari produk siap jualnya saja, tetapi mulai dari pola penanaman, pengolahan hasil panen, hingga produk siap jual juga menjadi perhatian pembeli.

"Petani harus menyesuaikan pola tanam ramah lingkungan yang menjadi standar pasar internasional dan berani menjaga kualitas produk. Jika itu dilakukan, kami yakin lada Muntok akan kembali ke masa kejayaannya dan pembeli tidak akan beralih ke lada negara lain," ujarnya.

Standar pasar tersebut, kata dia, merupakan sebuah tantangan yang harus dikelola dan dihadapi petani. Jika itu bisa diatasi, diyakini masyarakat petani lada di daerah itu akan mudah mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan sesuai dengan visi dan misi pembangunan yang dijalankan pemkab setempat.

"Lada menjadi salah satu dari empat prioritas komoditas pembangunan sektor perkebunan. Kami harapkan kerja sama yang baik antara petani dan pemkab akan membawa hasil sesuai dengan keinginan bersama," kata Zuhri.

Terdapat empat komoditas unggulan sektor perkebunan Kabupaten Bangka Barat, yakni lada, karet, sawit yang secara turun-temurun sudah dilakukan masyarakat, dan pengembangan ketela pohon bahan baku tepung tapioka.

    
Ekspor Lada Turun

Ketua Badan Pengelolaan, Pengembangan, dan Pemasaran Lada  (BP3L) Bangka Belitung Zainal Arifin mengatakan bahwa ekspor lada putih pada tahun lalu hanya 10.000 ton per tahun.

"Lada putih ini diekspor ke 13 negara, antara lain ke Singapura 2.409 ton, Vietnam 946 ton, Belanda 703 ton, Jerman 137 ton, Amerika Serikat 116 ton, Malaysia 60 ton, dan India 119 ton lada putih," ujarnya.

Saat ini, kata dia, Vietnam merupakan produsen lada terbesar di dunia dengan produksi hampir 100.000 per tahun. Selanjutnya, India dengan produksi 30.000 ton, dan Tiongkok dengan produksi 20.000 ton per tahun.

"Pada masa kejayaan lada, Babel mampu mengekspor 50.000 ton. Namun, sekarang hanya mampu mengekspor 10.000 ton," ujarnya.

Menurut dia, keterpurukan komoditas lada sekarang ini karena banyak faktor, di antaranya tingkat produktivitas tanaman dan mutu yang rendah, harga lada yang relatif rendah, sementara harga sarana produksi pupuk dan pestisida relatif tinggi.

Selain itu, serangan hama dan penyakit, rendahnya usaha peningkatan diversifikasi produk, sumber daya manusia, dan permodalan petani masih lemah dan menurunnya luas areal pertanaman lada karena adanya persaingan dengan pertambangan timah rakyat dan peluang usaha komoditas lainnya seperti kelapa sawit.

"Kami sangat mendukung upaya pemerintah untuk mengembalikan kejayaan lada ini dengan mempermudah petani mengembangkan usaha perkebunannya," ujarnya.

Saat ini, kata dia, komoditas lada menjadi sangat penting, mengingat deposit timah makin berkurang sehingga petani mulai memperhatikan kembali pertanaman lada dalam menopang ekonomi keluarganya.

"Saat ini, permintaan lada putih di pasar internasional cukup tinggi karena memiliki cita rasa dan aroma yang khas yang sangat diminati konsumen di berbagai negara," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, diharapkan pemerintah daerah harus fokus melalui kebijakan propetani demi untuk menyelamatkan dan mengembangkan kembali komoditas lada yang pernah berjaya di pasar dunia," harapnya.

Pewarta: Aprionis

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015