Jakarta (Antara Babel) - Pengamat komunikasi politik dari Universitas
Paramadina, Hendri Satrio, berpendapat sebaiknya Presiden Joko Widodo
memakai seorang juru bicara kepresidenan yang profesional.
Sebagai
perbandingan, Presiden Susilo Yudhoyono pernah memakai dua juru bicara
resmi, yaitu Andi Mallarangeng untuk bidang dalam negeri dan Dino Djalal
untuk bidang luar negeri. Presiden Soeharto memakai menteri sekretaris
negara dan kemudian menteri penerangan untuk keperluan itu.
"Saya rasa gaya kepemimpinan seperti Pak Jokowi membutuhkan figur juru bicara presiden yang sepaham dengan karakternya," kata dia.
Walau kelihatannya sepele dari sisi pelontar, namun dari komentar itu terkadang tidak kecil bagi masyarakat.
"Dampak terbaru adalah tentang informasi naiknya tunjangan mobil bagi pejabat. Ia tidak mengetahui isi yang ditandatangani," ujarnya. Di banyak media sosial, hal-hal seperti ini menjadi bulan-bulanan netizen.
"Hal itu berbahaya," kata Satrio, "Karena sebagai figur presiden, seorang pemimpin harus mengolah gaya penyampaian informasi dan komunikasi yang baik."
"Belum sempat memperbaiki gaya komunikasi, biasanya sudah ada lagi polemik baru yang muncul, ini akan menjadi permasalahan yang sederhana namun berbahaya," kata dia.
Selain itu, gaya komunikasi publik Jokowi, kata dia, seharusnya ditata mulai dari ucapan hingga gaya tubuh, jadi akan meminimalkan terjadinya kesalahan makna.
Belum lagi gaya kerakyatan Jokowi yang menjadi andalannya, blusukan. "Gaya blusukan adalah pola lama, sekarang harus ada yang dirubah," ujarnya.
Sejatinya blusukan
bukan baru pada pemerintahan Jokowi dilakukan pemimpin di Indonesia,
melainkan sudah sejak lama walau tidak diekspose media massa secara
masif.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Selama
enam bulan kepemimpinan hingga saat ini, kata Satrio, di Jakarta, Rabu,
banyak komentar dari Jokowi yang sering menimbulkan perdebatan publik.
"Saya rasa gaya kepemimpinan seperti Pak Jokowi membutuhkan figur juru bicara presiden yang sepaham dengan karakternya," kata dia.
Walau kelihatannya sepele dari sisi pelontar, namun dari komentar itu terkadang tidak kecil bagi masyarakat.
"Dampak terbaru adalah tentang informasi naiknya tunjangan mobil bagi pejabat. Ia tidak mengetahui isi yang ditandatangani," ujarnya. Di banyak media sosial, hal-hal seperti ini menjadi bulan-bulanan netizen.
"Hal itu berbahaya," kata Satrio, "Karena sebagai figur presiden, seorang pemimpin harus mengolah gaya penyampaian informasi dan komunikasi yang baik."
"Belum sempat memperbaiki gaya komunikasi, biasanya sudah ada lagi polemik baru yang muncul, ini akan menjadi permasalahan yang sederhana namun berbahaya," kata dia.
Selain itu, gaya komunikasi publik Jokowi, kata dia, seharusnya ditata mulai dari ucapan hingga gaya tubuh, jadi akan meminimalkan terjadinya kesalahan makna.
Belum lagi gaya kerakyatan Jokowi yang menjadi andalannya, blusukan. "Gaya blusukan adalah pola lama, sekarang harus ada yang dirubah," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015