Jakarta (Antara Babel) - Masa reses para wakil rakyat bukan berarti kompleks DPR RI Senayan adem ayem dari pemberitaan yang mengundang perhatian publik.
Justru pada masa reses 25 April - 17 Mei 2015 muncul polemik soal perlu tidaknya revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 "Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang", yang kerap disebut sebagai UU Pilkada.
Adalah Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang mulanya mengatakan DPR RI tetap meminta tiga rekomendasi Panitia Kerja Pilkada Komisi II DPR RI dimasukkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Hal itu disampaikan Fadli usai Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR, Pimpinan Komisi II, Pimpinan fraksi, komisioner KPU, dan Kementerian Dalam Negeri di Ruang Rapat Pimpinan DPR RI di Gedung Nusantara III, Jakarta, pada 4 Mei lalu.
Tiga rekomendasi itu, pertama, DPR merekomendasikan hasil Panja Komisi II DPR RI harus dimasukkan di PKPU. Kedua, DPR akan mencari jalan keluar untuk melakukan revisi UU Nomor 22 tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8 tahun 2015. Ketiga, DPR akan melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah menegaskan partainya menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8 Tahun 2015 karena belum melihat ada alasan mendesak menyangkut kepentingan umum dalam wacana revisi kedua UU tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengatakan meminta fatwa Mahkamah Agung terkait Peraturan KPU lebih baik dan cepat dibanding merevisi UU Parpol dan UU Pilkada.
"Keinginan idealnya tidak mengganggu agenda pilkada serentak maka fatwa MA menjadi formula yang praktis, cepat, paling sakti. Tapi untuk jangka panjang, mekanismenya revisi, bisa ganggu agenda pilkada," kata Lukman sebagaimana dilansir portal Antaranews.
"Itu pun kalau pemerintah mau ikut membahas dan merevisi UU Parpol dan UU Pilkada tersebut, satu minggu selesai. Sebab revisi hanya pasal 43 UU Parpol soal konflik partai dan UU 8/2015 itu memasukkan pasal baru tentang konflik partai," katanya. Dia meminta pimpinan DPR segera meminta fatwa kepada Mahkamah Agung.
KPU menolak rekomendasi DPR untuk menggunakan keputusan pengadilan terakhir untuk mengusung calon peserta pilkada karena rekomendasi itu bertentangan dengan UU Partai Politik pasal 43.
UU Parpol menyebutkan, dalam hal partai yang berkonflik itu, untuk menentukan siapa yang boleh ikut pilkada maka yang sah adalah yang berdasarkan SK Menkumham.
"Saya sepakat harus ada jalan keluar terhadap perbedaan pendapat antara KPU dan DPR. Harus dicari solusinya, yakni, pimpinan DPR meminta fatwa kepada MA, bagaimana pendapat hukum MA soal rekomendasi nomor 3 tersebut," kata Lukman.
Basarah menjelaskan dibentuk atau direvisinya sebuah peraturan perundang-undangan harus didasarkan atas kepentingan dan kebutuhan bangsa. Tidak bisa alasan dibentuk atau direvisinya UU hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. "Apabila revisi hanya untuk melayani kepentingan elit parpol yang sedang berkelahi maka unsur alasan filosofis dibentuknya sebuah perundang-undangan tidak terpenuhi," ujarnya.
PDIP akan mendukung jika ditemukan alasan kepentingan masyarakat umum dalam revisi UU tersebut. Apabila revisi itu tetap dipaksakan, akan menimbulkan dampak kekacauan hukum. "Imbasnya akan menimbulkan kekacauan hukum dalam sistem ketatanegaraan kita," katanya.
Sikap pemerintah
Bagaimana dengan sikap pemerintah? Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah tidak berencana mengusulkan revisi UU Pilkada karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kegaduhan politik baru dan mengganggu konsentrasi KPU.
Dia menjelaskan pemerintah, DPR dan KPU telah sepakat untuk menjaga pelaksanaan pilkada akhir 2015 mendatang dapat berjalan lancar sesuai dengan UU dan peraturan. "Kami bersepakat untuk menjaga agar tahapan-tahapan pilkada serentak tanggal 9 Desember mendatang dapat berjalan sesuai tahapan yang disusun KPU," katanya.
Sementara itu terkait adanya partai politik yang sedang berproses hukum terkait sengketa kepengurusan, Tjahjo mengatakan hal itu sebaiknya diselesaikan di internal partai.
Pemerintah tetap berpegang pada undang-undang yang ada, baik UU Pilkada maupun UU Parpol, soal konflik kepengurusan kedua partai tersebut.
Kemendagri mengikuti keputusan dari Kemenkumham yang konsisten dengan dasar keputusannya pada UU dan keputusan Mahkamah Partai. Pemerintah dan KPU sepakat bahwa terkait masalah internal parpol, tidak ingin mengintervensi dan permasalahannya dikembalikan kepada internal parpol.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan partai yang terjerat proses hukum harus menunggu keputusan "inkracht" atau islah supaya dapat mendaftarkan calon kepala daerah.
"Saya kira, mudah-mudahan, Golkar bisa selesai. Kan, tergantung mana yang cepat, bisa islah atau keputusan PTUN. Kalau katakanlah putusan PTUN tidak memutuskan apapun, ya, pasti salah satunya ikut pilkada," kata Kalla.
Menurut Wapres, di waktu yang tersisa menjelang tenggat pendaftaran calon kepala daerah, partai tersebut masih memiliki kesempatan baik untuk menyelesaikan persoalan atau mempercepat proses peradilan."Pendaftaran Juli, ini masih Mei, jadi Golkar harus menyelesaikannya dalam satu bukan ini atau pengadilan memutuskan segera," katanya.
Terkait upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada dan UU Parpol, Wapres mengatakan hal itu tidak diperlukan mengingat waktu pelaksanaan pilkada semakin dekat.
"Tidak perlu (revisi UU), karena sewaktunya reses juga, kan," kata Wapres.
Rekor dunia
Lukman Edy mengatakan, seandainya DPR dan Pemerintah sepakat merevisi UU Pilkada maka UU itu mencatat rekor dunia sebagai peraturan yang paling banyak direvisi namun tak pernah dilaksanakan.
"Kalau UU Pilkada ini direvisi lagi, maka UU Pilkada memegang rekor dunia, sebab satu-satunya UU yang empat kali revisi tapi belum pernah dilaksanakan sama sekali. Tidak pernah ada UU seperti UU Pilkada," kata mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu.
"Pasti dilaksanakan dulu, baru direvisi. Ini empat kali. UU Pilkada dibatalkan oleh Perppu, lalu direvisi lagi kemudian, revisi lagi. Satu-satunya UU yang empat kali direvisi. Presedenlah ini," katanya lagi.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyayangkan ancaman penundaan Pilkada yang sudah dijadwalkan KPU pada 9 Desember 2015.
"Buying time-nya luar biasa. Cuma memang saya menyesalkan kalau kemudian kasus ini dijadikan sandera untuk menunda Pilkada, upaya membatalkan Pilkada, apalagi ada statement Menkopolhukam bahwa dua partai terancam tidak ikut Pilkada, mana ada kamusnya," katanya.
Menurut dia, apa pun kondisinya, semua partai pasti ikut pilkada. Bagi yang berkonflik, pihak A atau B. Tidak ada ancaman tidak ikut pilkada itu. Semua sudah ada solusinya. Tidak ada yang mandek, tidak ada yang tidak bisa ikut pilkada kerena solusinya sudah ada. Pimpinan DPR perlu segera meminta fatwa Mahkamah Agung agar masalah PKPU bisa selesai dengan cepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Justru pada masa reses 25 April - 17 Mei 2015 muncul polemik soal perlu tidaknya revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 "Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang", yang kerap disebut sebagai UU Pilkada.
Adalah Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang mulanya mengatakan DPR RI tetap meminta tiga rekomendasi Panitia Kerja Pilkada Komisi II DPR RI dimasukkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Hal itu disampaikan Fadli usai Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR, Pimpinan Komisi II, Pimpinan fraksi, komisioner KPU, dan Kementerian Dalam Negeri di Ruang Rapat Pimpinan DPR RI di Gedung Nusantara III, Jakarta, pada 4 Mei lalu.
Tiga rekomendasi itu, pertama, DPR merekomendasikan hasil Panja Komisi II DPR RI harus dimasukkan di PKPU. Kedua, DPR akan mencari jalan keluar untuk melakukan revisi UU Nomor 22 tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8 tahun 2015. Ketiga, DPR akan melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah menegaskan partainya menolak rencana revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 8 Tahun 2015 karena belum melihat ada alasan mendesak menyangkut kepentingan umum dalam wacana revisi kedua UU tersebut.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mengatakan meminta fatwa Mahkamah Agung terkait Peraturan KPU lebih baik dan cepat dibanding merevisi UU Parpol dan UU Pilkada.
"Keinginan idealnya tidak mengganggu agenda pilkada serentak maka fatwa MA menjadi formula yang praktis, cepat, paling sakti. Tapi untuk jangka panjang, mekanismenya revisi, bisa ganggu agenda pilkada," kata Lukman sebagaimana dilansir portal Antaranews.
"Itu pun kalau pemerintah mau ikut membahas dan merevisi UU Parpol dan UU Pilkada tersebut, satu minggu selesai. Sebab revisi hanya pasal 43 UU Parpol soal konflik partai dan UU 8/2015 itu memasukkan pasal baru tentang konflik partai," katanya. Dia meminta pimpinan DPR segera meminta fatwa kepada Mahkamah Agung.
KPU menolak rekomendasi DPR untuk menggunakan keputusan pengadilan terakhir untuk mengusung calon peserta pilkada karena rekomendasi itu bertentangan dengan UU Partai Politik pasal 43.
UU Parpol menyebutkan, dalam hal partai yang berkonflik itu, untuk menentukan siapa yang boleh ikut pilkada maka yang sah adalah yang berdasarkan SK Menkumham.
"Saya sepakat harus ada jalan keluar terhadap perbedaan pendapat antara KPU dan DPR. Harus dicari solusinya, yakni, pimpinan DPR meminta fatwa kepada MA, bagaimana pendapat hukum MA soal rekomendasi nomor 3 tersebut," kata Lukman.
Basarah menjelaskan dibentuk atau direvisinya sebuah peraturan perundang-undangan harus didasarkan atas kepentingan dan kebutuhan bangsa. Tidak bisa alasan dibentuk atau direvisinya UU hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. "Apabila revisi hanya untuk melayani kepentingan elit parpol yang sedang berkelahi maka unsur alasan filosofis dibentuknya sebuah perundang-undangan tidak terpenuhi," ujarnya.
PDIP akan mendukung jika ditemukan alasan kepentingan masyarakat umum dalam revisi UU tersebut. Apabila revisi itu tetap dipaksakan, akan menimbulkan dampak kekacauan hukum. "Imbasnya akan menimbulkan kekacauan hukum dalam sistem ketatanegaraan kita," katanya.
Sikap pemerintah
Bagaimana dengan sikap pemerintah? Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah tidak berencana mengusulkan revisi UU Pilkada karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kegaduhan politik baru dan mengganggu konsentrasi KPU.
Dia menjelaskan pemerintah, DPR dan KPU telah sepakat untuk menjaga pelaksanaan pilkada akhir 2015 mendatang dapat berjalan lancar sesuai dengan UU dan peraturan. "Kami bersepakat untuk menjaga agar tahapan-tahapan pilkada serentak tanggal 9 Desember mendatang dapat berjalan sesuai tahapan yang disusun KPU," katanya.
Sementara itu terkait adanya partai politik yang sedang berproses hukum terkait sengketa kepengurusan, Tjahjo mengatakan hal itu sebaiknya diselesaikan di internal partai.
Pemerintah tetap berpegang pada undang-undang yang ada, baik UU Pilkada maupun UU Parpol, soal konflik kepengurusan kedua partai tersebut.
Kemendagri mengikuti keputusan dari Kemenkumham yang konsisten dengan dasar keputusannya pada UU dan keputusan Mahkamah Partai. Pemerintah dan KPU sepakat bahwa terkait masalah internal parpol, tidak ingin mengintervensi dan permasalahannya dikembalikan kepada internal parpol.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan partai yang terjerat proses hukum harus menunggu keputusan "inkracht" atau islah supaya dapat mendaftarkan calon kepala daerah.
"Saya kira, mudah-mudahan, Golkar bisa selesai. Kan, tergantung mana yang cepat, bisa islah atau keputusan PTUN. Kalau katakanlah putusan PTUN tidak memutuskan apapun, ya, pasti salah satunya ikut pilkada," kata Kalla.
Menurut Wapres, di waktu yang tersisa menjelang tenggat pendaftaran calon kepala daerah, partai tersebut masih memiliki kesempatan baik untuk menyelesaikan persoalan atau mempercepat proses peradilan."Pendaftaran Juli, ini masih Mei, jadi Golkar harus menyelesaikannya dalam satu bukan ini atau pengadilan memutuskan segera," katanya.
Terkait upaya DPR untuk merevisi UU Pilkada dan UU Parpol, Wapres mengatakan hal itu tidak diperlukan mengingat waktu pelaksanaan pilkada semakin dekat.
"Tidak perlu (revisi UU), karena sewaktunya reses juga, kan," kata Wapres.
Rekor dunia
Lukman Edy mengatakan, seandainya DPR dan Pemerintah sepakat merevisi UU Pilkada maka UU itu mencatat rekor dunia sebagai peraturan yang paling banyak direvisi namun tak pernah dilaksanakan.
"Kalau UU Pilkada ini direvisi lagi, maka UU Pilkada memegang rekor dunia, sebab satu-satunya UU yang empat kali revisi tapi belum pernah dilaksanakan sama sekali. Tidak pernah ada UU seperti UU Pilkada," kata mantan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal itu.
"Pasti dilaksanakan dulu, baru direvisi. Ini empat kali. UU Pilkada dibatalkan oleh Perppu, lalu direvisi lagi kemudian, revisi lagi. Satu-satunya UU yang empat kali direvisi. Presedenlah ini," katanya lagi.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyayangkan ancaman penundaan Pilkada yang sudah dijadwalkan KPU pada 9 Desember 2015.
"Buying time-nya luar biasa. Cuma memang saya menyesalkan kalau kemudian kasus ini dijadikan sandera untuk menunda Pilkada, upaya membatalkan Pilkada, apalagi ada statement Menkopolhukam bahwa dua partai terancam tidak ikut Pilkada, mana ada kamusnya," katanya.
Menurut dia, apa pun kondisinya, semua partai pasti ikut pilkada. Bagi yang berkonflik, pihak A atau B. Tidak ada ancaman tidak ikut pilkada itu. Semua sudah ada solusinya. Tidak ada yang mandek, tidak ada yang tidak bisa ikut pilkada kerena solusinya sudah ada. Pimpinan DPR perlu segera meminta fatwa Mahkamah Agung agar masalah PKPU bisa selesai dengan cepat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015