Pangkalpinang (ANTARA) - Pada pagelaran pesta demokrasi tingkat daerah yang berlangsung pada 27 November 2024 kemarin, terdapat fenomena yang cukup menjadi pusat perhatian pubik yang mana di Kota Pangkalpinang yang hanya memiliki satu calon dalam Pilkada berhasil dikalahkan oleh kotak kosong.
Adapun calon tunggal yang ada pada pilkada Kota Pangkalpinang ini ialah pasangan Maulana Aklil dan Masagus M. Hakim, yang mana Maulana Aklil merupakan petahana walikota yang dianggap memiliki peluang kuat hingga berhasil mendapatkan dukungan dari 9 partai besar yang meliputi PDIP, Nasdem, Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PKS, PAN, dan PKB dengan total perolehan suara sah 119.620 suara di DPRD Kota Pangkalpinang dalam pemilu sebelumnya.
Kemenangan kotak kosong melawan calon tunggal petahana merupakan sebuah fenomena yang langka dalam sejarah politik Indonesia, fenomena ini bukanlah sebatas jumlah angka hasil perolehan suara semata nemun merupakan cerminan kompleksitas dinamika politik lokal, bentuk kekecewaan masyarakat, dan efektivitas mobilisasi gerakan sosial.
Fenomena kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Pangkalpinang ini dapat dilihat sebagai bentuk resistensi masyarakat terhadap calon tunggal yang merupakan petahana yang dianggap kurang memenuhi kebutuhan dari masyarakat serta sebagai bentuk penolakan dari masyarakat terhadap upaya hegemoni yang dilakukan oleh sekumpulan partai politik yang berusaha untuk menciptakan sebuah dominasi besar, yang mana sebelumnya pada Pilkada Kota Pangkalpinang ini terdapat tiga bakal calon namun dua diantaranya gagal melakukan pencalonan dikarenakan kurang mendapatkan dukungan dari partai politik. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa masyarakat Pangkalpinang menolak dominasi ideologis dari elite politik lokal.
Calon tunggal yang merupakan petahana ini dianggap sebagai representasi dari kekuasaan hegemonik yang gagal membangun konsensus yang inklusif dengan masyarakat.
Apabila ditinjau dengan menggunakan teori hegemoni dari Antonio Gramsci, dapat dianalisis bahwa hegemoni yang berusaha dibangun oleh partai politik dengan membentuk sebuah koalisi besar yang mengusung calon tunggal dalam pilkada Kota Pangkalpinang ini merupakan salah satu faktor utama yang kemudian memunculkan resistensi dari masyarakat.
Menurut Gramsci, hegemoni dapat tercipta apabila kekuasaan yang dominan mampu mengarahkan ideologi dan nilai-nilai seingga diterima secara sukarela oleh masyarakat. Namun, dalam Pilkada Pangkalpinang kemarin koalisi besar yang dilakukan oleh partai politik untuk mendukung calon tunggal petahana ini dinilai sebagai representasi oligarki politik lokal, yang mana keputusan politik lebih didasarkan pada kompromi elit daripada aspirasi masyarakat.
Beberapa hal yang menjadi faktor penolakan masyarakat terhadap usaha dominasi yang dibangun oleh partai politik adalah: pertama, minimnya representasi politik karena hanya dengan dihadirkan satu pasangan calon sehingga membatasi ruang bagi masyarakan untuk mengekspresikan pilihan secara kompetitif, yang kemudian memicu hadirnya perasaan keterpaksaan terhadap sistem politik yang ada.
Kedua, ambisi berkuasa dari partai politik, yang mana hal ini menjadi pemicu kekecewaan terhadap proses seleksi kandidat karena partai politik lebih mengedepankan stabilitas kekuasaan dengan hanya mendukung satu calon petahana yang dinilai memiliki peluang yang sangat besar sehingga tidak menyisakan ruang bagi alternatif calon lainnya.
Ketiga, partai politik pengusung gagal membangun dialog yang substansial dengan masyarakat akar rumput, sehingga kebijakan kebijakan dan kandidat yang dicalonkan bukanlah cerminan kebutuhan dari aspirasi warga.
Di sisi lain, kekalahan calon tunggal yang merupakan petahana walikota Pangkalpinang ini dapat dilihat juga bahwa faktor utamanya adalah ketiakpuasan masyarakat terhadap kinerja dan kepemimpinannya dalam periode yang lalu. Dalam hal ini, beberapa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari masyarakat.
Adapun beberapa kritik yang sering digaungkan selama pemerintahan petahana walikota Pangkalpinang pada periode jabatannya, meliput:
1.Aspirasi masyarakat kecil yang kerap diabaikan
Selama masa jabatannya pada periode 2019-2024 kebijakan pembangunan yang sering di keluarkan oleh Walikota Pangkalpinang terlalu berfokus kepada proyek infrastruktur semata, yang dianggap mengesampingkan kebutuhan dasar masyarakat. Salah satu contohnya adalah masalah penanganan banjir di Kota Pangkalpinang yang sering terjadi di setiap musim penghujan.
Pada tahun 2021 yang lalu misalnya, banyak daerah yang mengalami kebanjiran yang cukup parah, salah satunya adalah Kampung Bintang yang setiap tahun selalu mengalami kebanjiran dan tidak memiliki drainase yang memadai sehingga menjadikan daerah ini sebagai daerah langganan banjir setiap tahun.
Namun, penanganan banjir ini bukanlan dijadikan sebagai prioritaas pemerintah Kota Pangkalpinang, hal ini terbukti dari anggaran yang dikeluatkan untuk penanggulangan banjir tidak seimbang dengan anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur lainnya.
Selain itu, kebutuhan lain dari masyarakat juga belum dapat dipenuhi dalam perioe masa jabatannya seperti masalah pengelolaan sampah, lapangan pekerjaan, dan masalah pengentasan kemiskinan.
2.Kurangnya transparansi
Beberapa kebijakan yang diambil dan diputuskan dinilai kurang melibatkan masyarakat atau kurang adanya transparansi sehingga memunculkan persepsi negatif tentang pemerintah dan tidak adanya political trust dari masyarakat kepada pemerintahan yang sedang berjalan.
Salah satu kritikan yang paling menonjol selama periode jabatannya adalah ketika Maulana Aklil menjalankan pemerikasaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Proses pemeriksaan ini kemudian memunculkan banyak sekali pertanyaan publik tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan pemerintahannya.
Hal ini dikarenakan pada tahun 2021, kekayaannya dilaporkan mencapai lebh dari Rp. 11,3 miliar, dengan aset dominan berupatanah dan bangunan yang beberapa diantaranya merupakan hasil dari hibah tanpa akta.
3.Fokus terhadap kebutuhan elit
Semasa kepemimpinan Maulana Aklil sebagai walikota Pangkalpinang dinilai terlalu dekat dengan kelompok elit politik lokal dan nasional, sehingga kurang peka terhadap suara masyarakat akar rumput dan lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan dari kelompok elit politik lokal.
Selama masa pemerintahannya, banyak kritik dari masyarakat terkait dengan fokus kepemimpinannya yang dianggap lebih mengakomodasikan kepentingan elit dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat luas.
Beragam kritik dari masyarakat muncul terkait dengan arah kebijakan dan langkah-langkah pemerintahannya yang kurang berpihak kepada masyarakt. Seperti keterlibatan dalam proyek-proyek yang diasumsikan lebih menguntungkan kepentingan dari kelompok kecil dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat luas.
Kontra-Hegemoni Masyarakat dalam Pilkada Kota Pangkalpinang
Dalam karyanya yang berjudul “Selections from the Prision Notebook” tahun 1971, Antonio Gramsci menjelaskan bahwa konsep hegemoni merupakan strategi yang dilakukan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaanya melalui konsensus, sehingga kelompok yang menjadi sasaran hegemoni tidak merasa mengalami paksaan.
Hegemoni merupakan suatu kondisi yang mengakibatkan adanya ketertundukan satu pihak ke pihak lainnya, sehingga kelas yang memiliki kedudukan lebih tinggi dapat mendominasi kelas yang berada di bawahnya. Dasar dari konsep hegemoni ini adalah suatu kondisi yang mana suatu kelas baik individu maupun kelompok menjalankan kekuasaan terhadao kelas-kelas yang berada di bawahnya. Dalam hal ini hegemoni bukanlah sebatas hubungan dominasi dengan mengunakan kekuasan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Dalam pandangan teori ini, hegemoni bukanlah suatu hal yang bersifat absolut melainkan selalu ada potensi resistensi yang dilakukan dari pihak yang menjadi sasaran hegemoni, dalam hal ini gramsci menyebutnya dengan istilah kontra-hegemoni.
Dalam pembahasannya, gramsci memuat beberapa hal yang menjadi penjelasan lebih lanjut terkait dengan hegemoni, yang meliputi:
1.Civil Society dan Political Society
Gramsci membagi kekuasaan menjadi dua ranah utama, yang mana civil society ini merupakan institusi seperti pendidikan, agama, media, dan budaya. Dalam hal ini kekuasaan dijalankan dengan menyebarkan ideologi yang membuat masyarakat menerimaastatus quo sebgai sebuah hal yang wajar (Simon, 1991). Seda
ngkan political society mencakup alat-alat yang dipergunakan oleh negara seperti hukum, militer, dan kepolisian yang mana kekuasaan dalam konteks ini dijalankan melalui paksaan. Sehingga dengan dua kombinasi ini menurut gramsci, pihak kelas penguasa dapat mamentukdan mempertahankandominasi sosial mereka.
2.Intelektual Organik
Intelektual organik merupakan indiidu yang berasal dari kelas tertentu dan berfungsi untuk menyebarkan ideologi yang mendukung kepentingan kelasnya. Dalam masyarakat kapitalis misalnya, yang menjadi intelektual organik merupakan mereka yang berasal dari kelas borjuis yang menyebarkan nilai-nilai kapitalisme melalui pendidikan.
3.Historical Bloc
Dalam pandangan gramsci, untuk membangun kekuatan hegemonik mereka melakukan aliansi antar berbagai kelompok dari kelas dominan yang disebut dengan istilah blok sejarah. Blok ini kemudian menciptakan stabilitas dengan menyatukan kekuatan ekonomi dan ideologis, memastikan kontrol atas masyarakat secara keseluruhan (Adamson, 1980).
4.Kontra-Hegemoni
Seperti yang dijelaskan diawal, dalam pandangannya gramsci menjelaskan bajwa dominasi hegemonik bukanlah suatu yang bersifat absolut dan selalu stabil. Namun, selalu menciptakan ruang-ruang perlawanan bagi masyarakat dikelas yang menjadi sasaran dominasi yang dilakukan melalui berbagai gerakan sosial yang menawarkan narasi alternatif atau yang lebih lanjut disebut dengan kontra-hegemoni. Seperti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kelompok marhinal dalam melawan dan menentang norma-norma yang dibangun oleh kelompok dominan.
5.Krisis Hegemoni
Adanya kontra hegemoni seperti penjelasan diatas menjadikan hegemoni ini rentan mengalami krisis ketika konsensus ideologis yang dibangun mulai mengalami keretakan. Hal ini dapat terjadi apabila kelompok masyarakat menyadari bahwa hal-hal yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya tidak lagi diwakili oleh kelas penguasa yang mendominasi. Sehingga dalam hal ini mereka akna mencari jalan alternatif seperti revolusi atau gerakan reformasi untuk merubah kondisi dan pengaruh yang selama ini dijalankan oleh kelompok dominan (Gramsci, 1971).
Berdasasarkan teori Hegemoni dari Antonio Gramsci ini, fenomena kemenangan kotak kosong melawan calon tunggal petahana dalam pilkada Kota Pangkalpinang dapat dilihat bahwa dominasi politik yang mengandalkan aliansi dengan menghimpun dukngan dari kekuatan elit dan penggunaan mekanisme hegemoni dengan melakukan koalisi besar oleh partai politik ini dapat runtuh ketika konsensus masyarakat terhadap legitimasi kepada walikota petahan dan partai politik terganggu. Adapun penjelasan yang dapat menggambarkan kompleksitas yang terjadi dalam pilkada Kota Pangkalpinang dapat dilihat, melalui:
1.Krisis hegemoni pada kepemimpinan petahana
Dalam teori politik Antonio Gramsci, krisis hegemoni terjadi ketika kelas penguasa kehilangan kontrol ideologis dan kepercayaan dari masyarakat yang mereka pimpin. Hegemoni, menurut Gramsci, tidak hanya terkait dengan kekuasaan koersif, tetapi juga konsensus yang dibangun melalui dominasi ideologi dan budaya. Ketika konsensus ini melemah, muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari masyarakat, yang dapat menggoyahkan stabilitas penguasa.
Fenomena krisis hegemoni ini terlihat jelas dalam Pilkada Pangkalpinang 2024, di mana calon tunggal petahana Maulan Aklil yang diusung oleh banyak partai politik mengalami kekalahan melawan kotak kosong. Kekalahan ini menggambarkan penolakan masyarakat terhadap dominasi politik yang terpusat dan minimnya pilihan alternatif yang kompetitif. Kondisi ini dapat diartikan sebagai kegagalan membangun konsensus antara penguasa dan rakyat, yang menciptakan krisis legitimasi politik.
Dalam konteks Gramscian, dominasi yang dijalankan oleh elite politik Pangkalpinang tidak lagi mampu meyakinkan rakyat bahwa kepemimpinan mereka sesuai dengan kepentingan umum. Dukungan masif dari berbagai partai politik malah menciptakan persepsi adanya kartelisasi kekuasaan, yang mengabaikan prinsip demokrasi berupa kompetisi politik yang sehat. Tanpa adanya oposisi yang efektif, pemilih merasa hak politik mereka terbatas, sehingga kotak kosong menjadi simbol perlawanan terhadap status quo.
Selain itu, krisis hegemoni ini memperlihatkan betapa pentingnya intermediari atau perantara yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat dan penguasa. Ketika elite politik gagal menyerap aspirasi masyarakat dan memberikan representasi yang autentik, kepercayaan publik melemah. Dalam konteks ini, Gramsci menekankan pentingnya membangun kepemimpinan yang organik, yaitu pemimpin yang muncul dari masyarakat dan memahami kondisi serta kebutuhan rakyat.
Kekalahan calon petahana melawan kotak kosong juga menunjukkan pentingnya partisipasi politik yang lebih luas dan kompetitif. Menurut Gramsci, ketika hegemon tidak lagi mampu mempertahankan kepemimpinannya melalui konsensus, kekuatan masyarakat sipil akan tampil untuk menantang dominasi tersebut. Hal ini tercermin dari sikap pemilih di Pangkalpinang yang memilih opsi kotak kosong sebagai bentuk ekspresi politik dan kritik terhadap kepemimpinan yang dianggap tidak memenuhi kebutuhan mereka.
Dengan demikian, krisis hegemoni dalam Pilkada Pangkalpinang 2024 menggambarkan runtuhnya konsensus politik yang selama ini menopang kekuasaan petahana. Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan mekanisme demokrasi yang lebih transparan, kompetisi politik yang sehat, serta pemimpin yang mampu membangun legitimasi melalui representasi yang autentik dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
2.Kemenangan kotak kosong sebagai gerakan kontra-hegemoni
Fenomena Pilkada Pangkalpinang 2024 mencatat sejarah dengan kemenangan kotak kosong atas calon tunggal petahana, Maulan Aklil, yang didukung banyak partai politik. Situasi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat menolak dominasi politik yang cenderung memusat dan minim pilihan alternatif. Kemenangan kotak kosong bukan hanya sekadar penolakan terhadap individu atau partai politik tertentu, tetapi juga sebuah pernyataan tegas bahwa masyarakat menuntut demokrasi yang lebih terbuka, inklusif, dan kompetitif.
Dalam konteks teori Antonio Gramsci, kontra-hegemoni merupakan perlawanan terhadap ideologi dominan yang dianggap tidak mewakili kepentingan rakyat. Di Pangkalpinang, relawan kotak kosong aktif membangun kesadaran kritis dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memiliki pilihan politik yang mencerminkan kehendak mereka.
Tokoh-tokoh lokal seperti Ustadz Dede Purnama memainkan peran penting dalam mendorong pemilih untuk memilih kotak kosong sebagai simbol penolakan terhadap praktik politik hegemonik. Edukasi ini mencakup diskusi publik, penyebaran informasi melalui media sosial, dan aksi langsung untuk meningkatkan kesadaran pemilih akan hak-hak demokratis mereka.
Gerakan kotak kosong mencerminkan kekecewaan terhadap praktik politik yang dianggap elitis dan kurang transparan. Dengan hanya satu calon yang diajukan, masyarakat melihat adanya monopoli politik oleh elite yang memarginalkan suara rakyat. Kondisi ini memicu aksi simbolis dan kolektif sebagai bentuk protes, seperti aksi cukur botak massal pasca-kemenangan kotak kosong.
Aksi ini menggambarkan solidaritas dan harapan akan adanya perubahan dalam sistem politik lokal. Solidaritas ini menegaskan bahwa perlawanan terhadap dominasi politik tidak hanya terjadi di ranah ideologis, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata yang berpotensi mengubah struktur kekuasaan.
Kemenangan kotak kosong juga memperlihatkan adanya kesadaran politik yang semakin matang di kalangan masyarakat Pangkalpinang. Mereka menolak untuk menerima calon tunggal secara pasif dan memilih untuk menggunakan hak suara sebagai alat protes.
Hal ini sejalan dengan pandangan Gramsci bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan ideologi tandingan yang dapat menggugat dominasi kelompok hegemonik. Gerakan kontra-hegemoni ini mencerminkan keinginan untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis dan representatif, di mana suara rakyat tidak dikecilkan oleh kepentingan elite partai.
Fenomena ini juga menandai pentingnya partisipasi politik yang aktif dan sadar. Dengan memilih kotak kosong, masyarakat Pangkalpinang mengirimkan pesan jelas bahwa mereka tidak ingin demokrasi hanya menjadi formalitas yang mendukung kekuatan hegemonik.
Mereka menuntut proses pemilu yang lebih adil dan memberikan kesempatan yang setara bagi calon-calon alternatif. Gerakan ini membuka ruang untuk dialog dan refleksi kritis tentang pentingnya reformasi dalam penyelenggaraan pemilu dan mekanisme politik lokal.
Secara keseluruhan, kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Pangkalpinang 2024 adalah bukti nyata bahwa gerakan kontra-hegemoni dapat muncul sebagai respons terhadap praktik politik yang dianggap tidak demokratis. Dengan menolak dominasi politik calon tunggal, masyarakat menunjukkan bahwa mereka memiliki hak dan kemampuan untuk mempertahankan prinsip demokrasi.
Fenomena ini bukan hanya tentang penolakan terhadap kandidat tertentu, melainkan juga tentang menegakkan demokrasi yang lebih substansial dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Gerakan ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya kesadaran politik dan partisipasi aktif dalam menjaga sistem demokrasi tetap sehat dan dinamis.
3.Peran Civil-Society dalam perlawanan
Civil society memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kesadaran politik dan membentuk opini publik yang kritis terhadap proses pemilihan. Berbagai elemen masyarakat sipil, seperti tokoh masyarakat, aktivis, akademisi, jurnalis, dan kelompok pemuda, berperan aktif dalam menyuarakan pentingnya pilihan alternatif dalam pemilu.
Mereka tidak hanya mengedukasi masyarakat tentang hak-hak politik mereka, tetapi juga menekankan pentingnya memberikan suara berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, bahkan ketika hanya ada calon tunggal.
Melalui kerja sama dalam berbagai forum diskusi, media sosial, dan kegiatan sosialisasi, mereka menginspirasi masyarakat untuk melihat kotak kosong sebagai bentuk penyaluran aspirasi politik yang sah dan berarti.
Selain itu, kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Kota Pangkalpinang menunjukkan keberhasilan civil society dalam membangun solidaritas di kalangan pemilih. Gerakan ini berhasil menyatukan berbagai kelompok dengan latar belakang yang berbeda untuk mendukung satu tujuan bersama, yaitu memastikan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi yang kuat.
Keterlibatan aktif masyarakat sipil ini menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya tentang memenangkan pemilihan, tetapi juga tentang menciptakan ruang politik yang inklusif, adil, dan transparan.
Gerakan kampanye kotak kosong mencerminkan kreativitas dan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam merespons calon tunggal. Masyarakat yang menolak kandidat yang ada menggunakan kotak kosong sebagai simbol perlawanan politik yang sah dan legal.
Kampanye ini dilakukan dengan cara-cara terstruktur, terorganisir, dan inovatif untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebebasan demokratis dan pilihan alternatif dalam pemilu. Masyarakat sipil, termasuk aktivis, tokoh masyarakat, dan kelompok pemuda, secara aktif mengedukasi publik tentang hak memilih kotak kosong. Mereka menyelenggarakan diskusi publik, seminar, dan forum terbuka untuk menjelaskan bahwa memilih kotak kosong adalah langkah konstitusional yang sah dalam menghadapi calon tunggal.
Melalui edukasi ini, mereka menanamkan pemahaman bahwa kotak kosong merupakan cara untuk menyuarakan kritik terhadap minimnya pilihan politik yang dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat.
Media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp, menjadi sarana efektif untuk menyebarkan informasi terkait kampanye kotak kosong. Berbagai konten kreatif, seperti poster digital, video singkat, dan meme digunakan untuk menarik perhatian publik. Kampanye ini dirancang agar mudah dipahami dan dibagikan, sehingga jangkauan pesannya semakin luas. Tagar (#) dan slogan tertentu juga digunakan untuk memperkuat gerakan ini dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif.
Selain media sosial, kampanye kotak kosong juga dilakukan melalui aksi simbolik di lapangan, seperti pemasangan spanduk, pamflet, dan stiker yang mendukung kotak kosong. Kelompok masyarakat menggelar aksi damai, konvoi kendaraan, dan pertemuan terbuka yang menunjukkan dukungan terhadap gerakan ini. Semua aksi ini dilaksanakan dengan damai dan sesuai dengan aturan yang berlaku, menegaskan pentingnya integritas demokrasi.
Gerakan kampanye kotak kosong juga melibatkan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang seperti pemuda, mahasiswa, tokoh agama, hingga komunitas local yang bersatu untuk menyuarakan aspirasi mereka. Solidaritas ini menunjukkan bahwa gerakan ini bukan hanya milik satu kelompok tertentu, melainkan sebuah gerakan kolektif untuk menjaga kualitas demokrasi dan pemerintahan yang berintegritas.
Referensi
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Penulis: Marfina Trivinita Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Opini Kite
Kontra-Hegemoni masyarakat terhadap calon tunggal petahana dalam Pilkada Pangkalpinang
Oleh Marfina Trivinita*) Jumat, 13 Desember 2024 15:07 WIB