Jakarta (Antara Babel) - Lembaga Swadaya Masyarakat Imparsial memandang Letjen (Purn) Sutiyoso tidak layak diajukan sebagai calon Kepala Badan Intelijen Negara karena memiliki catatan buruk di bidang Hak Asasi Manusia.
"Pemilihan kepala BIN memang merupakan hak prerogatif dari Presiden. Meski demikian, karena pentingnya posisi ini di dalam menentukan kiprah BIN ke depan, maka penting bagi Presiden untuk memerhatikan dan mempertimbangkan pandangan serta penilaian publik terhadap calon-calon yang ada," kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, di Jakarta, Kamis.
Poengky menjelaskan, calon Kepala BIN ke depan tidak hanya membutuhkan aspek kompetensi dan kemampuan yang memadai, tetapi juga harus memiliki track record yang baik terutama komitmennya terhadap HAM dan anti-korupsi.
"Karena itu, calon yang diduga kuat memiliki catatan buruk di bidang HAM jelas tidak layak dan tidak pantas untuk dicalonkan dan dipilih oleh Presiden sebagai Kepala BIN," tuturnya.
Ia menilai pengajuan nama Sutiyoso oleh Presiden sebagai calon kepala BIN tidak didasarkan atas ukuran-ukuran yang objektif serta mengabaikan pandangan dan penilaian publik. Sebaliknya, pengajuan nama Sutiyoso yang nota bene merupakan ketua partai salah satu partai koalisi pendukung Jokowi dinilai sangat politis dan cenderung bersifat transaksional.
"Hal ini jelas bertolak belakang dan bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi sendiri pada awal penyusunan kabinet untuk tidak 'bagi-bagi kekuasaan dan jabatan'," paparnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, yang dikhawatirkan dari pengangkatan kepala BIN yang berasal dari pimpinan partai politik akan meletakkan BIN dalam ruang yang politis. Oleh karena itu, kepala BIN seharusnya tidak boleh berasal dari pimpinan partai politik untuk menghindari potensi politisasi lembaga ini.
Selain itu, pencalonan Sutiyoso oleh Presiden juga telah mengabaikan track recordnya yang dianggap buruk di bidang HAM. Padahal komitmen calon kepala BIN terhadap HAM dan bebas dari kasus pelanggaran HAM sangat penting untuk memastikan lembaga ini ke depan menghormati HAM.
Dalam konteks ini, dugaan keterlibatan Sutiyoso dalam kasus pelanggaran HAM semestinya digunakan sebagai dasar untuk menentukan layak dan tidaknya ia dicalonkan sebagai kepala BIN. Sebagaimana diketahui, pada masa Sutiyoso menjabat sebagai Pangdam Jaya terjadi kasus penyerangan kantor DPP PDIP di Jakarta yang dikenal dengan peristiwa 27 Juli dan terdapat dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Sayangnya, catatan ini justru diabaikan oleh Presiden Jokowi dengan tetap mengajukannya sebagai calon kepala BIN. Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen Presiden Jokowi dalam masalah HAM dan juga tidak memiliki sensitivitas terhadap para korban pelanggaran HAM.
Imparsial mendesak DPR untuk memberi masukan dan pertimbangan kepada Presiden untuk mengajukan nama calon Kepala BIN yang baru melihat berbagai pertimbangan diatas. Menurut Pasal 36 UU Intelijen No. 17 Tahun 2011 disebutkan bahwa kepala BIN diangkat dan diberhentikan ole Presiden setelah mendapatkan pertimbangan DPR.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
"Pemilihan kepala BIN memang merupakan hak prerogatif dari Presiden. Meski demikian, karena pentingnya posisi ini di dalam menentukan kiprah BIN ke depan, maka penting bagi Presiden untuk memerhatikan dan mempertimbangkan pandangan serta penilaian publik terhadap calon-calon yang ada," kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, di Jakarta, Kamis.
Poengky menjelaskan, calon Kepala BIN ke depan tidak hanya membutuhkan aspek kompetensi dan kemampuan yang memadai, tetapi juga harus memiliki track record yang baik terutama komitmennya terhadap HAM dan anti-korupsi.
"Karena itu, calon yang diduga kuat memiliki catatan buruk di bidang HAM jelas tidak layak dan tidak pantas untuk dicalonkan dan dipilih oleh Presiden sebagai Kepala BIN," tuturnya.
Ia menilai pengajuan nama Sutiyoso oleh Presiden sebagai calon kepala BIN tidak didasarkan atas ukuran-ukuran yang objektif serta mengabaikan pandangan dan penilaian publik. Sebaliknya, pengajuan nama Sutiyoso yang nota bene merupakan ketua partai salah satu partai koalisi pendukung Jokowi dinilai sangat politis dan cenderung bersifat transaksional.
"Hal ini jelas bertolak belakang dan bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi sendiri pada awal penyusunan kabinet untuk tidak 'bagi-bagi kekuasaan dan jabatan'," paparnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, yang dikhawatirkan dari pengangkatan kepala BIN yang berasal dari pimpinan partai politik akan meletakkan BIN dalam ruang yang politis. Oleh karena itu, kepala BIN seharusnya tidak boleh berasal dari pimpinan partai politik untuk menghindari potensi politisasi lembaga ini.
Selain itu, pencalonan Sutiyoso oleh Presiden juga telah mengabaikan track recordnya yang dianggap buruk di bidang HAM. Padahal komitmen calon kepala BIN terhadap HAM dan bebas dari kasus pelanggaran HAM sangat penting untuk memastikan lembaga ini ke depan menghormati HAM.
Dalam konteks ini, dugaan keterlibatan Sutiyoso dalam kasus pelanggaran HAM semestinya digunakan sebagai dasar untuk menentukan layak dan tidaknya ia dicalonkan sebagai kepala BIN. Sebagaimana diketahui, pada masa Sutiyoso menjabat sebagai Pangdam Jaya terjadi kasus penyerangan kantor DPP PDIP di Jakarta yang dikenal dengan peristiwa 27 Juli dan terdapat dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Sayangnya, catatan ini justru diabaikan oleh Presiden Jokowi dengan tetap mengajukannya sebagai calon kepala BIN. Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen Presiden Jokowi dalam masalah HAM dan juga tidak memiliki sensitivitas terhadap para korban pelanggaran HAM.
Imparsial mendesak DPR untuk memberi masukan dan pertimbangan kepada Presiden untuk mengajukan nama calon Kepala BIN yang baru melihat berbagai pertimbangan diatas. Menurut Pasal 36 UU Intelijen No. 17 Tahun 2011 disebutkan bahwa kepala BIN diangkat dan diberhentikan ole Presiden setelah mendapatkan pertimbangan DPR.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015