Jakarta (Antara Babel) - Majelis Ulama Indonesia pekan ini mengeluarkan
fatwa tentang hukum berdosa bagi pemimpin yang tidak menepati janjinya
saat kampanye.
Menurut kesepakatan ulama MUI dalam acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal, 7-10 Juni 2015, fatwa ini berlaku bagi pemimpin dan calon pemimpin publik baik itu di legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
"MUI meminta para calon pemimpin baik dari legislatif, yudikatif maupun eksekutif agar tidak mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya," kata Ketua Tim Perumus Komisi A Muh Zaitun Rasmin.
Zaitun mengatakan seorang pemimpin berkewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye dia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengandung unsur kemaslahatan. Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
Ulama di MUI sepakat bahwa calon pemimpin dilarang berjanji menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Apabila dia menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah maka calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI mengimbau umat untuk tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan kembali mencalonkan diri pada pemilihan umum periode selanjutnya.
Fatwa yang telah disetujui oleh mayoritas ulama MUI itu juga menyoroti masalah suap di saat kampanye. Diputuskan, calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam kategori "risywah" atau suap.
Beberapa dasar MUI menetapkan hukum dosa bagi pemimpin ingkar janji di antaranya sebagai berikut.
Pertama, dari nash atau sumber hukum Islam menyuruh agar setiap Muslim menepati janji dan melarang mengingkarinya. Kedua, setiap janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketiga, pemimpin harus menunaikan janjinya saat kampanye demi kemaslahatan umat.
Fatwa ulama itu juga mendorong agar para pemimpin yang muncul ke hadapan publik adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
Karena itu, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya dalam mencapai tujuannya.
Zaitun mengatakan jabatan adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela terlebih bagi orang yang tidak memiliki kemampuan yang memadai.
Aspek Legal
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD termasuk seorang yang sangat mengapresiasi atas keluarnya fatwa dari MUI terkait pemimpin ingkar janji. Pemimpin semacam itu memang seharusnya untuk dimakzulkan. Tetapi hal itu belum dapat dilakukan karena tidak ada landasan hukum yang jelas terkait "impeachment".
Terlebih, MK saat ini tidak dapat mengadili seorang pemimpin ingkar janji jika tidak ada yang mendakwa, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat atau lembaga legislatif.
Janji kampanye, kata Mahfud, terkadang harus dilaksanakan seorang pemimpin secara bertahap. Terkadang program dari pemimpin itu terhambat secara proses di DPR yang bisa saja mempertanyakan masalah anggaran dan semacamnya.
"Ingkar janji itu kadang kala memang untuk hal kampanye, untuk memenuhinya kan harus dinyatakan bertahap jadi susah. Ingkar janji itu pada dasarnya masuk dalam tercela," kata Mahfud.
Ia berharap nantinya ada dasar hukum yang akan mendorong para pemimpin untuk menunaikan janji-janji manisnya saat kampanye, sehingga program-program yang ditawaran kepada publik saat kampanye tidak menjadi sekedar janji palsu atau "lip service" semata.
Dia mendorong agar nantinya ada hukum yang mengatur ingkar janji itu bahkan bisa masuk pada ranah pidana.
"Tapi memang masalahnya tindakan tercela dalam hukum ketatanegaraan itu sampai sekarang belum ada formulasinya. Maka dari itu, tidak bisa tindakan tercela seorang pemimpin itu diajukan ke pengadilan. Sekarang belum ada. Ke depannya, semestinya diatur," katanya.
Tidak perlu taat
Selain masalah pemimpin ingkar janji, MUI juga mengeluarkan fatwa tentang kriteria pemimpin yang tidak perlu ditaati.
Forum musyawarah ulama tertinggi di Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait tidak perlunya masyarakat untuk menaati pemimpin yang melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama.
"Kami jihad lewat fatwa dan ada baiknya ini nantinya diperkuat dengan regulasi. Ini agar ke depan pemerintahan lebih baik lagi," kata Wakil Ketua MUI Maruf Amin.
Fatwa itu sendiri telah disepakati oleh para ulama MUI dari berbagai ormas Islam. Poin tentang pemimpin yang tidak boleh ditaati itu diharapkan dapat menjadi panduan masyarakat yang mengalami keraguan dalam beragama.
Terdapat beberapa alasan tidak perlunya masyarakat menaati pemimpin yang bertentangan dengan agama.
Pertama, terdapat sumber hukum Islam yang menyuruh umat Islam agar mendengar dan taat terhadap pemimpin yang membuat kebijakan sesuai syariah, tetapi jika pemimpin menyuruh kepada kemaksiatan maka tidak boleh untuk didengar dan ditaati.
Kedua, terdapat larangan bagi pemerintah untuk agar tidak mengeluarkan apapun, termasuk peraturan, kecuali dengan cara yang baik. Ketiga, siapapun yang berkuasa harus membawa sesuatu kepada kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Secara umum, Ijtima Ulama edisi kelima itu membahas tiga bagian besar fatwa yaitu soal kebangsaan, fikih kontemporer dan perundang-undangan.
Sejumlah fatwa yang telah disepakati para ulama akan dipublikasikan kepada masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan.
"Fatwa ini akan kita edukasikan dan publikasikan kepada khalayak umum. MUI juga memiliki struktur organisasi sampai kecamatan yang bisa menjadi sarana publikasi dan edukasi termasuk lewat laman dan televisi MUI, ke ormas-ormas juga, media massa, pertemuan-pertemuan, pengajian-pengajian," kata Maruf.
Fatwa-fatwa, lanjut dia, juga akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan seperti eksekutif, yudikatif dan legislatif lewat sejumlah pertemuan. Nantinya, fatwa itu juga akan dikomunikasikan ke sejumlah partai politik baik yang religius maupun nasionalis.
"Mayoritas pendukung partai manapun itu mayoritas adalah Muslim. Kami akan sampaikan aspirasi mayoritas Islam ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Menurut kesepakatan ulama MUI dalam acara Ijtima Komisi Fatwa MUI V di Tegal, 7-10 Juni 2015, fatwa ini berlaku bagi pemimpin dan calon pemimpin publik baik itu di legislatif, yudikatif maupun eksekutif.
"MUI meminta para calon pemimpin baik dari legislatif, yudikatif maupun eksekutif agar tidak mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya," kata Ketua Tim Perumus Komisi A Muh Zaitun Rasmin.
Zaitun mengatakan seorang pemimpin berkewajiban menunaikan janjinya apabila saat kampanye dia berjanji untuk melaksanakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengandung unsur kemaslahatan. Sebaliknya, mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
Ulama di MUI sepakat bahwa calon pemimpin dilarang berjanji menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Apabila dia menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariah maka calon pemimpin tersebut haram dipilih dan apabila terpilih maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
Terhadap pemimpin yang ingkar janji, MUI mengimbau umat untuk tidak memilihnya kembali jika yang bersangkutan kembali mencalonkan diri pada pemilihan umum periode selanjutnya.
Fatwa yang telah disetujui oleh mayoritas ulama MUI itu juga menyoroti masalah suap di saat kampanye. Diputuskan, calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam kategori "risywah" atau suap.
Beberapa dasar MUI menetapkan hukum dosa bagi pemimpin ingkar janji di antaranya sebagai berikut.
Pertama, dari nash atau sumber hukum Islam menyuruh agar setiap Muslim menepati janji dan melarang mengingkarinya. Kedua, setiap janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Ketiga, pemimpin harus menunaikan janjinya saat kampanye demi kemaslahatan umat.
Fatwa ulama itu juga mendorong agar para pemimpin yang muncul ke hadapan publik adalah mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
Karena itu, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya dalam mencapai tujuannya.
Zaitun mengatakan jabatan adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela terlebih bagi orang yang tidak memiliki kemampuan yang memadai.
Aspek Legal
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD termasuk seorang yang sangat mengapresiasi atas keluarnya fatwa dari MUI terkait pemimpin ingkar janji. Pemimpin semacam itu memang seharusnya untuk dimakzulkan. Tetapi hal itu belum dapat dilakukan karena tidak ada landasan hukum yang jelas terkait "impeachment".
Terlebih, MK saat ini tidak dapat mengadili seorang pemimpin ingkar janji jika tidak ada yang mendakwa, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat atau lembaga legislatif.
Janji kampanye, kata Mahfud, terkadang harus dilaksanakan seorang pemimpin secara bertahap. Terkadang program dari pemimpin itu terhambat secara proses di DPR yang bisa saja mempertanyakan masalah anggaran dan semacamnya.
"Ingkar janji itu kadang kala memang untuk hal kampanye, untuk memenuhinya kan harus dinyatakan bertahap jadi susah. Ingkar janji itu pada dasarnya masuk dalam tercela," kata Mahfud.
Ia berharap nantinya ada dasar hukum yang akan mendorong para pemimpin untuk menunaikan janji-janji manisnya saat kampanye, sehingga program-program yang ditawaran kepada publik saat kampanye tidak menjadi sekedar janji palsu atau "lip service" semata.
Dia mendorong agar nantinya ada hukum yang mengatur ingkar janji itu bahkan bisa masuk pada ranah pidana.
"Tapi memang masalahnya tindakan tercela dalam hukum ketatanegaraan itu sampai sekarang belum ada formulasinya. Maka dari itu, tidak bisa tindakan tercela seorang pemimpin itu diajukan ke pengadilan. Sekarang belum ada. Ke depannya, semestinya diatur," katanya.
Tidak perlu taat
Selain masalah pemimpin ingkar janji, MUI juga mengeluarkan fatwa tentang kriteria pemimpin yang tidak perlu ditaati.
Forum musyawarah ulama tertinggi di Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait tidak perlunya masyarakat untuk menaati pemimpin yang melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama.
"Kami jihad lewat fatwa dan ada baiknya ini nantinya diperkuat dengan regulasi. Ini agar ke depan pemerintahan lebih baik lagi," kata Wakil Ketua MUI Maruf Amin.
Fatwa itu sendiri telah disepakati oleh para ulama MUI dari berbagai ormas Islam. Poin tentang pemimpin yang tidak boleh ditaati itu diharapkan dapat menjadi panduan masyarakat yang mengalami keraguan dalam beragama.
Terdapat beberapa alasan tidak perlunya masyarakat menaati pemimpin yang bertentangan dengan agama.
Pertama, terdapat sumber hukum Islam yang menyuruh umat Islam agar mendengar dan taat terhadap pemimpin yang membuat kebijakan sesuai syariah, tetapi jika pemimpin menyuruh kepada kemaksiatan maka tidak boleh untuk didengar dan ditaati.
Kedua, terdapat larangan bagi pemerintah untuk agar tidak mengeluarkan apapun, termasuk peraturan, kecuali dengan cara yang baik. Ketiga, siapapun yang berkuasa harus membawa sesuatu kepada kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Secara umum, Ijtima Ulama edisi kelima itu membahas tiga bagian besar fatwa yaitu soal kebangsaan, fikih kontemporer dan perundang-undangan.
Sejumlah fatwa yang telah disepakati para ulama akan dipublikasikan kepada masyarakat dan sejumlah pemangku kepentingan.
"Fatwa ini akan kita edukasikan dan publikasikan kepada khalayak umum. MUI juga memiliki struktur organisasi sampai kecamatan yang bisa menjadi sarana publikasi dan edukasi termasuk lewat laman dan televisi MUI, ke ormas-ormas juga, media massa, pertemuan-pertemuan, pengajian-pengajian," kata Maruf.
Fatwa-fatwa, lanjut dia, juga akan disampaikan kepada para pemangku kepentingan seperti eksekutif, yudikatif dan legislatif lewat sejumlah pertemuan. Nantinya, fatwa itu juga akan dikomunikasikan ke sejumlah partai politik baik yang religius maupun nasionalis.
"Mayoritas pendukung partai manapun itu mayoritas adalah Muslim. Kami akan sampaikan aspirasi mayoritas Islam ini," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015