Jakarta (Antara Babe) - Setelah 48 orang calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengikuti tes tahap tiga, tersaringlah 19 orang yang akan mengikuti tes terakhir, yaitu wawancara dan kesehatan. Setelah itu, akan dipilih delapan kandidat untuk diusulkan kepada Presiden.
Namun sayangnya, berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dari 19 nama tersebut, terdapat empat calon yang memilki rekening tak wajar.
Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa mereka akan memverifikasi dugaan transaksi takwajar pada rekening milik calon pimpinan KPK tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana memandang laporan keungan PPATK harus dilihat kapan transaksi tidak wajar itu terjadi.
"Kalau terjadinya sudah lama, ya, sudah, kita tidak akan menemukan orang uang bersih-bersih banget. Akan tetapi, kalau si calon mempunyai dosa yang dapat diproses secara hukum, sebaiknya dihindari, tahu dibuat kesepakatan pada saat dia menjabat, dosa masa lalu jangan diungkit selama bertugas, kecuali dia melakukan kesalahan pada saat menjabat," kata Ganjar.
Menurut dia, pada saat tim panitia seleksi sudah memverifikasi, jawaban dari calon masih abu-abu, lebih baik digugurkan saja.
Ganjar mengatakan bahwa sebagai panitia seleksi setiap anggota harus dapat transparan dalam melakukan seleksi itu.
"Transparan yang seperti apa, panitia seleksi tidak perlu membeberkan data-data pribadi calon pimpinan KPK, letak transparannya ada pada cara mereka menetapkan nama calon pimpinan KPK yang lolos, pansel juga harus bertanggung jawab atas tindakannya," kata dia.
Ia mengimbau pansel membuka semacam diskusi untuk memberikan informasi kepada publik bagaimana pansel memilih orang-orang tersebut.
Selain itu, dalam seleksi ini dibutuhkan administrator yang andal. Jika dahulu pemilihan pemimpin KPK dipegang oleh Kementerian Hukum dan HAM, saat ini prosesnya ditangani oleh Sekretariat Negara.
"Pansel boleh saja tidak berpengalaman, yang penting integritas. Namun, urusan administrasi ini tidak boleh disepelekan karena pansel baru ditarik ke Setneg, administratornya juga baru, dan saya lihat masih ada beberapa kekurangan," katanya.
Dalam menentukan pimpinan KPK, menurut dia, pansel tidak perlu mempertimbangkan komposisi dan perwakilan dari beberapa institusi.
"Komposisi untuk pemimpin KPK adalah yang terbaik, tidak peduli latar belakangnya apa. Jadi, enggak perlu bicara komposisi apakah harus ada perwakilan dari kepolisian, jaksa, atau lainnya. Jika memang begitu sekalian saja diubah Undang-Undang KPK agar ada yang menyebutkan mengenai komposisi itu," kata dia.
Mengenai komposisi tersebut, Ganjar mengatakan bahwa hal itu tidak pernah disebutkan dalam Undang-Undang KPK harus terdiri atas beberapa institusi.
Senada dengan Ganjar, Direktur Transparency International Indonesia Ilham Saenong mengatakan bahwa pansel jangan menentukan calon pemimpin KPK berdasarkan komposisi dan pertimbangan mengenai keterwakilan institusi.
Ia juga menyarankan pansel untuk tidak terpengruh cara berpikir bahwa KPK hanya institusi untuk pencegahn korupsi.
"Kita lihat dari rekam jejak KPK selama ini, KPK adalah institusi paling berhasil dalam menindak dan menjerat koruptor. Jika logika pencegahan ini menjadi jalan pikir para pansel, nanti akan cenderung memilih calon yang akomodatif," kata dia.
Ia mengatakan bahwa pansel bukan lembaga politik. Oleh karena itu, sebagai pansel harus kapabel, integritas, dan independen.
"Komisi Pencegahan Korupsi"
Sementara itu, Koordintor Divisi Monitoring Hukum dan Peradialn Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho melihat tren dari pansel saat ini ingin mengarahkan KPK lebih pada pencegahan.
"Jadi, pansel ini menjadikan KPK ini 'Komisi Pencegahan Korupsi'. Jika fokus pada pencegahan, nanti akan berpengaruh pada calon yang dipilih," kata dia.
Dari persepktif ICW, sebaiknya semuanya harus seimbang. Dalam hal ini, penindakan dan pecegahan harus sama besarnya. Jadi, tidak ada yang lebih dominan.
Ia berpendapat bahwa orang-orang yang menginginkan peran KPK lebih pada pencegahan adalah orang-orang yang terganggu dengan kerja KPK selama ini.
Menurut dia, masih ada pansel yang berpandangan dalam komposisi pimpinan KPK nanti harus ada jaksa dan polisi.
"Kalau dirunut ke belakang, KPK jilid 1, 2, dan 3 tidak ada yang dominan dari polisi atau kejaksaan, artinya tidak perlu bicara soal latar belakang calon, tetapi lebih pada pengalaman dia," katanya.
Emerson menyebutkan ada tiga hal yang perlu diwaspadai oleh Pansel KPK dalam menyeleksi calon pimpinan KPK.
Pertama, soal loyalitas ganda. Hal ini ditujukan bagi calon pimpinan KPK yang berasal dari institusi dan masih aktif.
"Jangan sampai ketika dia terpilih, bosnya dua, yaitu Ketua KPK dan institusi asal," kata dia.
Kedua, yang harus menjadi perhatian pansel adalah melihat kembali apakah calon menjadikan KPK sebagai batu loncatan. Hal ini dikarenakan jabatan sebagai pemimpin KPK sangat strategis untuk menjadi terkenal.
"Kalau kemudian terpilih, di tengah jalan banyak minang, terus dia pindah, kan sayang seleksi yang demikian berat, ini akan jadi proses yang sia-sia," katanya.
Ketiga, apakah calon ingin menjadi pimpinan KPK membawa kepentingan tertentu. Misalnya, pimpinan KPK terpilih adalah orang yang memiliki rekening gendut atau transaksi tidak wajar maka ke depan yang bersangkutan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah korupsi yang serupa dengan dirinya.
Agar hal-hal itu tidak terjadi, dia menyarankan agar 19 calon untuk membuat pakta mengenai integritas, independensi, dan konflik kepentingan.
"Calon perlu mendeklarasikan agar independensi tidak memiliki loyalitas ganda," kata dia.
Kemudian, mengenai integritas calon harus mendeklarasikan dirinya tidak akan keluar dari KPK sebelum masa jabatannya berakhir. Apabila dia keluar sebelum masa jabatannya selesai, yang bersangkutan harus membayar denda dari akumulasi nilai seleksi calon pimpinan KPK. Hal ini diperlukan agar calon tidak menjadikan jabatan sebagai pimpinan KPK sebagai batu loncatan.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universita Andalas Sadli Isra tidak sependapat dengan Emerson. Menurut dia, sah-sah saja calon pimpinan KPK menjadikan jabatan tersebut sebagai batu loncatan.
Ia yang juga anggota Pansel KPK 2011 mengatakan bahwa untuk memutus loyalitas ganda tersebut, caranya adalah pimpinan KPK harus mengundurkan diri dari institusinya saat yang bersangkutan diterima sebagai pimpinan KPK.
Sadli Isra menyarankan pansel terus membuka komunikasi kepada masyarakat yang peduli dengan seleksi calon pimpinan KPK ini, dan menjadikannya pertimbangan untuk memilih pimpinan KPK
"Bagi pansel, masukan berakhir pada saat membuat SK dan akan diserahkan kepada Presiden. Sebelum itu, masukan dari masyarakat yang bermanfaat harus diterima dan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan," kata Sadli Isra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Namun sayangnya, berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dari 19 nama tersebut, terdapat empat calon yang memilki rekening tak wajar.
Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa mereka akan memverifikasi dugaan transaksi takwajar pada rekening milik calon pimpinan KPK tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksmana memandang laporan keungan PPATK harus dilihat kapan transaksi tidak wajar itu terjadi.
"Kalau terjadinya sudah lama, ya, sudah, kita tidak akan menemukan orang uang bersih-bersih banget. Akan tetapi, kalau si calon mempunyai dosa yang dapat diproses secara hukum, sebaiknya dihindari, tahu dibuat kesepakatan pada saat dia menjabat, dosa masa lalu jangan diungkit selama bertugas, kecuali dia melakukan kesalahan pada saat menjabat," kata Ganjar.
Menurut dia, pada saat tim panitia seleksi sudah memverifikasi, jawaban dari calon masih abu-abu, lebih baik digugurkan saja.
Ganjar mengatakan bahwa sebagai panitia seleksi setiap anggota harus dapat transparan dalam melakukan seleksi itu.
"Transparan yang seperti apa, panitia seleksi tidak perlu membeberkan data-data pribadi calon pimpinan KPK, letak transparannya ada pada cara mereka menetapkan nama calon pimpinan KPK yang lolos, pansel juga harus bertanggung jawab atas tindakannya," kata dia.
Ia mengimbau pansel membuka semacam diskusi untuk memberikan informasi kepada publik bagaimana pansel memilih orang-orang tersebut.
Selain itu, dalam seleksi ini dibutuhkan administrator yang andal. Jika dahulu pemilihan pemimpin KPK dipegang oleh Kementerian Hukum dan HAM, saat ini prosesnya ditangani oleh Sekretariat Negara.
"Pansel boleh saja tidak berpengalaman, yang penting integritas. Namun, urusan administrasi ini tidak boleh disepelekan karena pansel baru ditarik ke Setneg, administratornya juga baru, dan saya lihat masih ada beberapa kekurangan," katanya.
Dalam menentukan pimpinan KPK, menurut dia, pansel tidak perlu mempertimbangkan komposisi dan perwakilan dari beberapa institusi.
"Komposisi untuk pemimpin KPK adalah yang terbaik, tidak peduli latar belakangnya apa. Jadi, enggak perlu bicara komposisi apakah harus ada perwakilan dari kepolisian, jaksa, atau lainnya. Jika memang begitu sekalian saja diubah Undang-Undang KPK agar ada yang menyebutkan mengenai komposisi itu," kata dia.
Mengenai komposisi tersebut, Ganjar mengatakan bahwa hal itu tidak pernah disebutkan dalam Undang-Undang KPK harus terdiri atas beberapa institusi.
Senada dengan Ganjar, Direktur Transparency International Indonesia Ilham Saenong mengatakan bahwa pansel jangan menentukan calon pemimpin KPK berdasarkan komposisi dan pertimbangan mengenai keterwakilan institusi.
Ia juga menyarankan pansel untuk tidak terpengruh cara berpikir bahwa KPK hanya institusi untuk pencegahn korupsi.
"Kita lihat dari rekam jejak KPK selama ini, KPK adalah institusi paling berhasil dalam menindak dan menjerat koruptor. Jika logika pencegahan ini menjadi jalan pikir para pansel, nanti akan cenderung memilih calon yang akomodatif," kata dia.
Ia mengatakan bahwa pansel bukan lembaga politik. Oleh karena itu, sebagai pansel harus kapabel, integritas, dan independen.
"Komisi Pencegahan Korupsi"
Sementara itu, Koordintor Divisi Monitoring Hukum dan Peradialn Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho melihat tren dari pansel saat ini ingin mengarahkan KPK lebih pada pencegahan.
"Jadi, pansel ini menjadikan KPK ini 'Komisi Pencegahan Korupsi'. Jika fokus pada pencegahan, nanti akan berpengaruh pada calon yang dipilih," kata dia.
Dari persepktif ICW, sebaiknya semuanya harus seimbang. Dalam hal ini, penindakan dan pecegahan harus sama besarnya. Jadi, tidak ada yang lebih dominan.
Ia berpendapat bahwa orang-orang yang menginginkan peran KPK lebih pada pencegahan adalah orang-orang yang terganggu dengan kerja KPK selama ini.
Menurut dia, masih ada pansel yang berpandangan dalam komposisi pimpinan KPK nanti harus ada jaksa dan polisi.
"Kalau dirunut ke belakang, KPK jilid 1, 2, dan 3 tidak ada yang dominan dari polisi atau kejaksaan, artinya tidak perlu bicara soal latar belakang calon, tetapi lebih pada pengalaman dia," katanya.
Emerson menyebutkan ada tiga hal yang perlu diwaspadai oleh Pansel KPK dalam menyeleksi calon pimpinan KPK.
Pertama, soal loyalitas ganda. Hal ini ditujukan bagi calon pimpinan KPK yang berasal dari institusi dan masih aktif.
"Jangan sampai ketika dia terpilih, bosnya dua, yaitu Ketua KPK dan institusi asal," kata dia.
Kedua, yang harus menjadi perhatian pansel adalah melihat kembali apakah calon menjadikan KPK sebagai batu loncatan. Hal ini dikarenakan jabatan sebagai pemimpin KPK sangat strategis untuk menjadi terkenal.
"Kalau kemudian terpilih, di tengah jalan banyak minang, terus dia pindah, kan sayang seleksi yang demikian berat, ini akan jadi proses yang sia-sia," katanya.
Ketiga, apakah calon ingin menjadi pimpinan KPK membawa kepentingan tertentu. Misalnya, pimpinan KPK terpilih adalah orang yang memiliki rekening gendut atau transaksi tidak wajar maka ke depan yang bersangkutan juga tidak akan menyelesaikan masalah-masalah korupsi yang serupa dengan dirinya.
Agar hal-hal itu tidak terjadi, dia menyarankan agar 19 calon untuk membuat pakta mengenai integritas, independensi, dan konflik kepentingan.
"Calon perlu mendeklarasikan agar independensi tidak memiliki loyalitas ganda," kata dia.
Kemudian, mengenai integritas calon harus mendeklarasikan dirinya tidak akan keluar dari KPK sebelum masa jabatannya berakhir. Apabila dia keluar sebelum masa jabatannya selesai, yang bersangkutan harus membayar denda dari akumulasi nilai seleksi calon pimpinan KPK. Hal ini diperlukan agar calon tidak menjadikan jabatan sebagai pimpinan KPK sebagai batu loncatan.
Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universita Andalas Sadli Isra tidak sependapat dengan Emerson. Menurut dia, sah-sah saja calon pimpinan KPK menjadikan jabatan tersebut sebagai batu loncatan.
Ia yang juga anggota Pansel KPK 2011 mengatakan bahwa untuk memutus loyalitas ganda tersebut, caranya adalah pimpinan KPK harus mengundurkan diri dari institusinya saat yang bersangkutan diterima sebagai pimpinan KPK.
Sadli Isra menyarankan pansel terus membuka komunikasi kepada masyarakat yang peduli dengan seleksi calon pimpinan KPK ini, dan menjadikannya pertimbangan untuk memilih pimpinan KPK
"Bagi pansel, masukan berakhir pada saat membuat SK dan akan diserahkan kepada Presiden. Sebelum itu, masukan dari masyarakat yang bermanfaat harus diterima dan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan," kata Sadli Isra.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015