Jakarta (Antara Babel) - Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono divonis 5 tahun penjara ditambah denda sejumlah Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan karena terbukti menerima gratifikasi senilai Rp79 juta.

"Menyatakan terdakwa Udar Pristono terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua subsidair. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp250 juta dengan ketentuan apa bila denda tersebut tidak dibayar diganti pidana kurungan selama lima bulan," kata ketua majelis hakim Artha Theresia dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Vonis tersebut jauh di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang menuntut Udar agar divonis 19 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dengan tiga perbuatan pidana yaitu penyalahgunaan wewenang, menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang.

Sedangkan menurut hakim, Udar hanya terbukti melakukan satu perbuatan pidana berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP yaitu menerima uang senilai Rp79 juta dari Direktur PT Jati Galih Semesta Dedi Rustandi yaitu perusahaan peserta tender pekerjaan perbaikan koridor/halte busway pada Dishub DKI Jakarta.

"Dari fakta yang terungkap terdakwa menerima uang Rp79 juta dari pembelian mobil. Pembelian dilakukan oleh Direktur PT Jati Galih Semesta yang memenangkan tender di Dinas Perhubungan," kata anggota majelis hakimm Joko Subagyo.

Mobil yang dimaksud adalah mobil dinas berplat merah merk Toyota Kijang tipe LSX Tahun 2002 yang saat itu dalam proses lelang dengan harga Rp100 juta. Padahal harga lelang tersebut dari Dishub DKI hanya Rp22,43 juta.

"Fakta hukum terungkap terdakwa memberi pesan agar mobi dijual  seharga Rp100 juta dengan alasan sudah tua dan terlalu mahal. Dari rangkaian perbuatan terbukti uang Rp78 juta diberikan karena menurut pemberi, hadiah berkaitan dengan jabatan terdakwa," tambah hakim Joko.

Padahal dalam dakwaan kedua, jaksa juga menyebut bahwa Udar menerima uang pada 2010-2014 hingga mencapai Rp6,519 miliar dan menyuruh staf/pegawai pada Kantor Dishub bernama Suwandi untuk menyimpan uang ke dalam rekening atas nama Udar Pristono. Namun hakim menilai bahwa Udar dapat membuktikan asal-usul uang dalam rekeningnya tersebut yang berasal dari usaha penyewaan apartemen dan penjualan tanah.

"Tanah dan bangunan sudah dipindahtugaskan. Terdakwa sudah memiliki properti dengan cara membeli dan menjual lagi, dengan demikian uang dikirim ke rekening terdakwa berasal dari investasi terdakwa dan tidak melanggar hukum. Terdakwa bisa membuktikan uang ditemukan secara hukum terlebih tidak ada saksi yang menyatakan memberi sesuatu," kata hakim anggota Ibnu Basuki.

Sedangkan dakwaan yang tidak terbukti adalah dakwaan pertama dan dakwaan ketiga.

Dalam dakwaan pertama, Udar didakwa melakukan merugikan keuangan negara hingga Rp63,9 miliar yaitu sebesar Rp9,576 miliar dari pengadaan bus Transjakarta pake I dan II pada periode 2012 dan Rp54,389 pada 2013
   
"Oleh karena hanya saksi Drajat yang menerangkan sebelum dokumen ditandatangan sudah melaporkan adanya ketidaksesuaian kepada terdakwa tersebut tidak didukung dengan bukti lain, dan sebalikanya terdakwa membantah keterangan tersebut maka pendapat majelis keterangan saksi drajat haruslah lah dikesampingkan," kata hakim Joko.

Drajat yang dimaksud adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Peremajaan Angkutan Umum Reguler dan Kegiatan Pengadaan Armada Bus Transjakarta, Drajat Adhyaksa yang sudah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp250 juta atas kasus pengadaan bus Transjakarta tahun 2013.

"Menurut majelis, perbuatan terdakwa selaku Pengguna Anggaran dalam menandatangani dokumen pencairan anggaran pengadaan bus Transjakarta 2012 dan 2013 bukan lah merupakan tindak pidana, melainkan perbuatan yang termasuk dalam ranah administratif, sehinga kepada terdakwa tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana melainkan sanksi administratif sebagaimana telah dikenakan terhadap diri  terdakwa berupa pemberhentian dari jabatan sebagai Kadishub provinsi DKI Jakarta," tambah hakim Joko.

Selanjutnya terkait dakwaan tindak pidana pencucian uang senilai Rp6,094 miliar juga dimentahkan oleh hakim.

"Surat dakwaan penuntut tidak menyebutkan pidana asal, meskipun demikian dapat dipahami tindak pidana pencucian uang berasal dari tindak pidana korupsi yaitu dakwaan kedua primer mengenai penerimaan gratifikasi yang dianggap suap," kata hakim Joko.

Namun karena dakwaan kedua yang terbukti hanya penerimaan uang senilai Rp78 juta, maka hal itu tidak memenuhi tindak pidana asal sebagai perbuatan TPPU.

Atas vonis tersebut, jaksa Kejari Jakarta Pusat Victor Antonius mengatakan akan banding.

"(Kita) banding, dari majelis hakim kita hormati tapi penuntut umum kan sudah jelas bahwa kita membuktikan di fakta sidang hanya beliau (hakim) mengesampingkan. Tapi kami punya keyakinan dan alat bukti yang kami sajikan," kata Victor usai sidang.

Sedangkann Udar menolak untuk berkomentar banyak.

"Saya belum siap berkomentar ya," kata Udar yang baru saja menjalani operasi akibat ada lubang di kakinya itu.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015