Terik mentari yang membakar muka siang itu tak menyurutkan semangat Sri Murdiasih untuk membantu para atlet, ofisial, maupun media dalam memberikan informasi perihal ASEAN Para Games dan kebutuhan lainnya.

Dengan sigap, perempuan berusia 24 tahun itu langsung menghampiri apabila melihat seseorang yang tengah kebingungan. Dengan suara parau, Sri bertanya "Permisi mas, mau meliput? Lewat sini yah, mas, jalur untuk media".

Tak jauh dari lokasi Sri, seorang relawan lainnya dengan sukarela mendorong kursi roda kontingen asal Myanmar yang kesusahan karena jalur yang sedikit menanjak. Meski ada keterbatasan bahasa di antara keduanya, tapi tak menghalangi mereka untuk saling memahami satu sama lain.

Sri merupakan satu dari sekitar 1.300 relawan atau volunteer yang diterjunkan dalam perhelatan ASEAN Para Games 2022. Mayoritas dari mereka adalah mahasiswa dan pelajar yang berasal dari sekitar Kota Surakarta.

Sejak pukul 06.00 WIB mereka sudah tiba di setiap arena pertandingan sesuai dengan bidang pekerjaannya masing-masing. Ada yang bertugas sebagai penerjemah, penghubung, mengurus penginapan atlet, humas, hingga tim medis.

Tak jelas waktu kerja mereka, bahkan ada yang sampai pukul 22.00 WIB untuk melayani setiap kebutuhan. Tapi bagi mereka, menjadi relawan adalah panggilan mulia yang bekerja tanpa terlalu berharap akan imbalan.


Selanjutnya: Pilot pun ada yang jadi relawan
 
Pilot

Cerita yang nyaris serupa disampaikan Fhaiz Alifa (24). Ia adalah relawan asal Jakarta yang terbang langsung dari ibukota bersama enam orang temannya. Bagi Fhaiz dan enam temannya itu, terjun sebagai relawan bukanlah kali pertama. Sebelumnya, ia juga merupakan relawan pada ajang Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.

Asian Games 2018 itu menjadi awal mula perkenalan Fhaiz sebagai relawan. Di ajang itu pula ia mengenal teman-teman seperjuangan lainnya yang kemudian turut mengantarkan mereka berangkat bersama menuju ASEAN Para Games 2022.

Ia bercerita tak ada ongkos bensin maupun penginapan yang disediakan oleh pihak panitia. Mereka harus merogoh isi saku celana sendiri untuk bisa berpartisipasi membantu kelancaran perhelatan ini. Namun, kondisi itu telah dimaklumi Fhaiz dan kawan-kawan sebelum keberangkatan.

Menariknya, Fhaiz bukanlah relawan yang berasal dari mahasiswa maupun pelajar pada umumnya. Ia adalah seorang pilot non-komersil yang biasa menerbangkan pesawat jenis Cessna. Sebelum pandemi, ia rutin membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mencari titik kebakaran hutan.

Setelah pemetaan titik api, ia kemudian melaporkan kepada pihak yang bersangkutan untuk dilakukan tindakan pemadaman.

"Aku biasa terbang mencari spot fire di Sumatra,. Nih lisensinya," kata dia sembari memperlihatkan lisensi terbang.

Namun saat pandemi COVID-19, hampir semua industri penerbangan lesu, termasuk perusahaan tempat ia bekerja. Fhaiz kemudian ditarik oleh BNPB untuk membantu di Satuan Tugas Penanganan COVID-19 bidang sosialisasi Prokes. Meski menjadi anggota Satgas COVID-19, ia tetap memiliki waktu untuk ikut di bidang kerelawanan.


Begitu pula dengan Hanny Aurelya (23), perempuan yang baru lulus dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Ia adalah rekan Fhaiz yang juga berasal dari Jakarta. Ia berangkat bersama-sama sejak 28 Juli 2022.

Hanny ditunjuk untuk memantau dan melaporkan hasil pertandingan para angkat berat. Berlatarbelakang sebagai perawat, terkadang dia juga turut memberikan bantuan medis pertama bagi atlet maupun ofisial yang tengah membutuhkan pertolongan.

Bagi Hanny, bertugas sebagai relawan ASEAN Para Games memberikan kesan tersendiri. Ia lebih menyadari bahwa penyandang difabel bukanlah seseorang yang memiliki kekurangan. Justru dalam benaknya, penyandang difabel adalah mereka yang memiliki kelebihan ketimbang masyarakat pada umumnya, yang dibuktikan dalam perhelatan olahraga multicabang ini.

"Para penyandang disabilitas tetap harus diperjuangkan keadilannya, kita harus memperlakukan setara. Ke depannya, Indonesia harus bisa menyelenggarakan acara ramah disabilitas lainnya," ujar Hanny saat ditemui disela-sela aktivitas kerelawanannya.

Selanjutnya: Menjadi relawan untuk memperluas relasi
 
Relasi

Bagi Fhaiz dan Hanny, menjadi relawan adalah panggilan hati. Mereka menyadari tak akan ada uang besar yang akan mereka terima meski bekerja banting tulang membantu para atlet, ofisial, hingga media. Bahkan mereka tak berharap lebih untuk mendapatkan materi.

Menjadi relawan ASEAN Para Games akan memberikan pengalaman lebih, khususnya saat menangani para penyandang difabel. Di sisi lain, relasi menjadi amat berharga, sebab mereka akan silih berbagi informasi selepas perhelatan dengan rekan di luar tempat tinggal maupun profesinya.

Ketika mengikuti kegiatan kerelawanan, mereka akan bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai latar belakang dan daerah yang berbeda-beda. Biasanya sesama anggota relawan akan terus menjalin komunikasi meskipun masa bakti mereka sudah selesai.

"Kami ini kenalan pas Asian Games 2018. Berarti sudah empat tahun, tapi kami masih silih berkomunikasi, ini pentingnya relasi," kata Hanny sembari membetulkan posisi masker yang dikenakannya.

Hal lainnya yang didapatkan Hanny dan kawan-kawan, akan menambah citra diri (personal branding).

Tanpa kehadiran para relawan, menjadi hal mustahil ASEAN Para Games 2022 dapat terlaksana dengan lancar. Mereka adalah penggerak dari roda perhelatan, penyemarak di setiap pertandingan, dan jembatan menuju kesuksesan penyelenggaraan.

Tak sedikit omelan yang mereka rasakan, meski seringkali permasalahannya bukan pada pelayanan yang dibebankan kepada relawan, melainkan pada manajemen penyelenggara.

Melelahkan memang, tapi Sri, Fhaiz, Hanny, dan relawan lainnya tetap bertekad untuk bekerja sekuat dan semampu mungkin. Sebab bagaimana pun kehadiran mereka lah yang menjadi penggerak suksesnya penyelenggaraan ASEAN Para Games 2022.

Pewarta: Asep Firmansyah

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022