Jakarta (Antara Babel) - Keberadaan UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah berlaku selama 12 tahun, sehingga muncul desakan dari sejumlah pihak agar peraturan ini segera direvisi karena dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini.
Terorisme dalam dua-tiga tentunya sudah berbeda dengan apa yang terjadi belasan tahun lalu, apalagi UU Nomor 15 tahun 2003 muncul karena berlatar belakang ada kejadian Bom Bali yang memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Saat ini, tindak pidana terorisme sudah menjadi kejahatan global dengan melibatkan sejumlah orang dari berbagai negara untuk satu kasus terorisme, sehingga terorisme di satu negara seringkali melibatkan warga negara asing bukan hanya dari satu atau dua negara, tapi bisa jadi belasan negara.
Kasus terorisme terkini yang menanamkan diri ISIS yang berbasis di wilayah negara Irak dan Suriah membuktikan bahwa pelaku teror sudah berasal dari belasan negara, termasuk dari Indonesia.
Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memiliki data yang pasti jumlah warga Indonesia yang ikut terlibat dalam kegiatan ISIS sebab mereka tidak berangkat langsung melalui Indonesia, melainkan bepergian dulu ke satu negara sebelum masuk Irak atau Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian yang pernah menjabat sebagai Kepala Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri menyebutkan sebanyak 384 warga negara Indonesia (WNI) bergabung ke kelompok ISIS.
"Mungkin jumlah WNI yang berangkat lebih dari itu," ucapnya, menegaskan.
Dari sekian ratus WNI yang diduga pernah bepergian wilayah ISIS, ada satu orang yang menarik perhatian publik karena dia merupakan salah satu pejabat negara. Dwi Joko Wiwoho yang merupakan salah satu pejabat di Badan Pengusahaan Batam diduga telah bergabung dengan ISIS.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan pun Dwi Djoko telah menyatakan dia terlibat gerakan ISIS.
Deputi Pencegahan BNPT Hamidin dalam dialog pencegahan terorisme yang digelar BNPT di Tanjungpinang, beberapa waktu lalu mengatakan Dwi Djoko Wiwoho sudah diidentifikasi sejak beberapa bulan lalu oleh petugas BNPT.
Hamidin meyakini Dwi Djoko terlibat dalam gerakan ISIS setelah dilakukan pendalaman. Dwi bersama keluarganya sudah tidak berada di Indonesia. Dwi diduga sudah berada di Irak.
Batasan teritorial di perlebar
Inilah salah satu yang menjadi perhatian BNPT bahwa hingga saat ini belum ada UU yang bisa menindak warga Indonesia yang terlibat terorisme di negara lain.
Selama ini, UU No. 15 tahun 2003 hanya menjadi payung hukum tindak pidana terorisme di wilayah Indonesia, dan bukan warga Indonesia yang terlibat terorisme di luar Indonesia.
Untuk itu, BNPT akan mengupayakan revisi Undang-undang No. 15 tahun 2003 itu karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi keamanan saat ini.
"Kami ingin mengajukan agar UU tersebut bisa diperlebar pemahamannya karena terorisme saat ini sudah tidak dibatasi negara," ujar Kepala BNPT Saud Usman Nasution saat ditemui di Jakarta.
Dia menjelaskan, tujuan utama dari upaya revisi tersebut dikarenakan pihaknya ingin memberikan sanksi tegas terhadap warga negara Indonesia yang ikut bergabung dengan organisasi teroris di luar negeri.
"Seharusnya bagi WNI yang bergabung dengan ISIS atau organisasi radikal lain di luar negeri bisa dicabut kewarganegaraannya. Tetapi kami tidak bisa melakukan itu karena adanya pemahaman yang terbatas dari pasal tersebut," tukasnya.
Pihaknya menginginkan UU tersebut dapat direvisi agar pemahaman mengenai batasan teritorial dapat diperlebar.
Sementara itu, seorang pakar hukum berharap revisi UU itu dapat mencegah warga Indonesia bergabung dengan faham radikal di luar negeri.
"Revisi UU Nomor 15/2003 itu, sangat tepat dilakukan pemerintah melalui DPR dan hal ini perlu didukung oleh masyarakat," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Budiman Ginting di Medan, Sabtu (12/12).
UU Terorisme tersebut, menurut dia, juga sudah cukup lama dan wajar dilakukan revisi dan penyempurnaan oleh pemerintah ke arah yang lebih baik lagi.
"Apalagi, UU Terorisme itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman di berbagai negara-negara di dunia, dan hal ini tentunya harus disesuaikan," ujar Budiman.
Ia menyebutkan, materi UU tersebut juga perlu diperluas, dipertajam, dan semakin lebih tegas sanksi hukumnya bagi WNI yang terlibat dengan jaringan terorisme internasional.
Selain itu, penerapan UU Terorisme itu, diharapkan dapat memberikan rasa takut atau efek jera bagi WNI sehingga tidak mudah dipengaruhi dan bergabung dengan kelompok terorisme yang ada di luar negeri. Sebab, kelompok terorisme itu, misalnya kelompok bersenjata ISIS mencoba mempengaruhi berbagai negara agar dapat bergabung dengan mereka.
"Kegiatan ilegal yang seperti ini jelas sangat dilarang pemerintah Indonesia dan tidak dibenarkan diikuti oleh WNI," imbuhnya.
Kegiatan teroris yang dilakukan warga Indonesia di luar negeri sangat membahayakan dan dapat mengganggu ketertiban, serta keamanan bangsa.
Sebagian pelaku Bom Bali I dan beberapa kasus terorisme setelah Bom Bali I ternyata pernah bergabung di daerah konflik seperti Afghanistan bahkan pernah mengikuti latihan kemiliteran. Padahal, warga sipil dilarang mengikuti latihan kemiliteran di negara lain secara ilegal.
Oleh karena itu, berbagai bentuk aksi terorisme harus diwaspadai dan dicegah masuk ke Indonesia, dan bagi pelaku yang terlibat dalam tindak pidana itu harus dijatuhi hukuman berat termasuk opsi pencabutan status kewarganegaraan.
Untuk itu, revisi UU tersebut sudah seharusnya dilakukan segera mungkin oleh Pemerintah bersama DPR RI.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Terorisme dalam dua-tiga tentunya sudah berbeda dengan apa yang terjadi belasan tahun lalu, apalagi UU Nomor 15 tahun 2003 muncul karena berlatar belakang ada kejadian Bom Bali yang memaksa pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Saat ini, tindak pidana terorisme sudah menjadi kejahatan global dengan melibatkan sejumlah orang dari berbagai negara untuk satu kasus terorisme, sehingga terorisme di satu negara seringkali melibatkan warga negara asing bukan hanya dari satu atau dua negara, tapi bisa jadi belasan negara.
Kasus terorisme terkini yang menanamkan diri ISIS yang berbasis di wilayah negara Irak dan Suriah membuktikan bahwa pelaku teror sudah berasal dari belasan negara, termasuk dari Indonesia.
Hingga kini, pemerintah Indonesia belum memiliki data yang pasti jumlah warga Indonesia yang ikut terlibat dalam kegiatan ISIS sebab mereka tidak berangkat langsung melalui Indonesia, melainkan bepergian dulu ke satu negara sebelum masuk Irak atau Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian yang pernah menjabat sebagai Kepala Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri menyebutkan sebanyak 384 warga negara Indonesia (WNI) bergabung ke kelompok ISIS.
"Mungkin jumlah WNI yang berangkat lebih dari itu," ucapnya, menegaskan.
Dari sekian ratus WNI yang diduga pernah bepergian wilayah ISIS, ada satu orang yang menarik perhatian publik karena dia merupakan salah satu pejabat negara. Dwi Joko Wiwoho yang merupakan salah satu pejabat di Badan Pengusahaan Batam diduga telah bergabung dengan ISIS.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan pun Dwi Djoko telah menyatakan dia terlibat gerakan ISIS.
Deputi Pencegahan BNPT Hamidin dalam dialog pencegahan terorisme yang digelar BNPT di Tanjungpinang, beberapa waktu lalu mengatakan Dwi Djoko Wiwoho sudah diidentifikasi sejak beberapa bulan lalu oleh petugas BNPT.
Hamidin meyakini Dwi Djoko terlibat dalam gerakan ISIS setelah dilakukan pendalaman. Dwi bersama keluarganya sudah tidak berada di Indonesia. Dwi diduga sudah berada di Irak.
Batasan teritorial di perlebar
Inilah salah satu yang menjadi perhatian BNPT bahwa hingga saat ini belum ada UU yang bisa menindak warga Indonesia yang terlibat terorisme di negara lain.
Selama ini, UU No. 15 tahun 2003 hanya menjadi payung hukum tindak pidana terorisme di wilayah Indonesia, dan bukan warga Indonesia yang terlibat terorisme di luar Indonesia.
Untuk itu, BNPT akan mengupayakan revisi Undang-undang No. 15 tahun 2003 itu karena dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi keamanan saat ini.
"Kami ingin mengajukan agar UU tersebut bisa diperlebar pemahamannya karena terorisme saat ini sudah tidak dibatasi negara," ujar Kepala BNPT Saud Usman Nasution saat ditemui di Jakarta.
Dia menjelaskan, tujuan utama dari upaya revisi tersebut dikarenakan pihaknya ingin memberikan sanksi tegas terhadap warga negara Indonesia yang ikut bergabung dengan organisasi teroris di luar negeri.
"Seharusnya bagi WNI yang bergabung dengan ISIS atau organisasi radikal lain di luar negeri bisa dicabut kewarganegaraannya. Tetapi kami tidak bisa melakukan itu karena adanya pemahaman yang terbatas dari pasal tersebut," tukasnya.
Pihaknya menginginkan UU tersebut dapat direvisi agar pemahaman mengenai batasan teritorial dapat diperlebar.
Sementara itu, seorang pakar hukum berharap revisi UU itu dapat mencegah warga Indonesia bergabung dengan faham radikal di luar negeri.
"Revisi UU Nomor 15/2003 itu, sangat tepat dilakukan pemerintah melalui DPR dan hal ini perlu didukung oleh masyarakat," kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Budiman Ginting di Medan, Sabtu (12/12).
UU Terorisme tersebut, menurut dia, juga sudah cukup lama dan wajar dilakukan revisi dan penyempurnaan oleh pemerintah ke arah yang lebih baik lagi.
"Apalagi, UU Terorisme itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan zaman di berbagai negara-negara di dunia, dan hal ini tentunya harus disesuaikan," ujar Budiman.
Ia menyebutkan, materi UU tersebut juga perlu diperluas, dipertajam, dan semakin lebih tegas sanksi hukumnya bagi WNI yang terlibat dengan jaringan terorisme internasional.
Selain itu, penerapan UU Terorisme itu, diharapkan dapat memberikan rasa takut atau efek jera bagi WNI sehingga tidak mudah dipengaruhi dan bergabung dengan kelompok terorisme yang ada di luar negeri. Sebab, kelompok terorisme itu, misalnya kelompok bersenjata ISIS mencoba mempengaruhi berbagai negara agar dapat bergabung dengan mereka.
"Kegiatan ilegal yang seperti ini jelas sangat dilarang pemerintah Indonesia dan tidak dibenarkan diikuti oleh WNI," imbuhnya.
Kegiatan teroris yang dilakukan warga Indonesia di luar negeri sangat membahayakan dan dapat mengganggu ketertiban, serta keamanan bangsa.
Sebagian pelaku Bom Bali I dan beberapa kasus terorisme setelah Bom Bali I ternyata pernah bergabung di daerah konflik seperti Afghanistan bahkan pernah mengikuti latihan kemiliteran. Padahal, warga sipil dilarang mengikuti latihan kemiliteran di negara lain secara ilegal.
Oleh karena itu, berbagai bentuk aksi terorisme harus diwaspadai dan dicegah masuk ke Indonesia, dan bagi pelaku yang terlibat dalam tindak pidana itu harus dijatuhi hukuman berat termasuk opsi pencabutan status kewarganegaraan.
Untuk itu, revisi UU tersebut sudah seharusnya dilakukan segera mungkin oleh Pemerintah bersama DPR RI.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015