"...Tanpa Presiden minta pun, kami tetap jalan..."
Pernyataan menarik ini dilontarkan Jaksa Agung HM Prasetyo ketika mengomentari perkembangan kasus" papa minta saham" yang menyangkut mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto yang " terpaksa jatuh " dari kursi empuknya setelah ketahuan ikut- ikutan membahas kemungkinan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia alias PTFI.
Politisi Partai Golkar ini dituding mencampuri urusan lembaga eksekutif atau pemerintah karena diam-dian bertemu dengan Direktur Utama PTFI Maroef Sjamsoeddin sehubungan dengan bakal berakhirnya kontrak antara pemerintah Indonesia dengan PTFI yang beroperasi di Tembagapura, Papua yang akan berakhir tahun 2021. Pembicaraan resmi seharusnya baru berlangsung tahun 2019.
Entah "angin apa" yang meniup Setya Novanto sehingga sebagai ketua DPR merasa punya hak untuk membicarakan perpanjangan kontrak pemerintah dengan PTFI tersebut. Padahal tugas utama DPR adalah membuat dan membahas rancangan undang-undang bersama pemerintah, membicarakan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN serta mengawasi atau kontrol.
Novanto bertemu dengan Dirut PTFI Maroef Sjamsoeedin dengan didampingi seorang pengusaha, Riza Chalid. Sementara itu pertemuan "tiga pihak" ini justru tidak diikuti atau dihadiri para legislator yang berwenang untuk membahas masalah pertambangan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said akhirnya mengadukan kasus ini kepada Mahkamah Kehormatan DPR yang lazim disebut MKD yang kemudian beberapa kali bersidang baik tertutup maupun terbuka.
Akhirnya Kejaksaan Agung ikut menangani kejadian ini dengan memeriksa Maroef Sjamsoeddin dan juga Novanto. Ternyata banyak orang tidak mengetahui bahwa Maroef adalah seorang marsekal madya TNI purnawirawan yang juga mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Kejaksaan Agung "turun gunung" untuk memeriksa masalah ini walaupun kasus Novanto sudah ditangani MKD. Jika MKD bersidang karena diduga adanya pelanggaran etika maka Kejaksaan Agung turun karena diduga ada aspek hukumnya.
Dalam pertemuan itu, Novanto menyatakan kepada Maroef bahwa dirinya siap membantu memperlancar proses perpanjangan kontrak yang masih empat tahun lagi, asalkan dengan syarat adanya "pembagian " saham".
Ternyata Maroef yang merupakan mantan anggota intel merekam pembicaraan rahasia dengan Novanto itu sehingga masyarakat di Tanah Air akhirnya bisa mengetahui secara terperinci isi pembicaraan rahasia itu.
Walaupun tidak secara tersurat disebutkan nama Presiden Joko Widodo(Jokowi), ternyata mantan wali kota Solo itu merasa bahwa namanya" dibawa-bawa" oleh Novanto. Kemudian mantan gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta itu berbicara di depan wartawan dengan nada keras, suatu hal yang rasanya belum pernah ditampilkan Jokowi sejak menjadi Presiden Republik Indonesia sejak Oktober 2014.
"Saya engga apa-apa disebut presiden gila, saraf atau koppig". Koppig yang berasal dari bahasa Belanda berarti keras kepala.
Sementara itu, Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla juga bertutur" Saya dan Presiden marah".
MKD kemudian bersidang dengan memanggil Menteri ESDM Sudirman Said, Maroef Sjamsoeedin serta Novanto.
Jika sidang terhadap Sudirman dan Maroef dinyatakan terbuka untuk umum dan juga bebas diliput para wartawan, kenyataan sebaliknya justru terjadi pada Novanto. Sementara itu sang pengusaha Riza "ogah" hadir" tanpa alasan sama sekali.
"Pengadilan" terhadap Novanto ternyata malahan dinyatakan tertutup dan dia diberi " hak istimewa" untuk tidak menjawab sejumlah pertanyaan. Yang "paling hebat atau dahsyat" adalah sekalipun 10 anggota MKD menyatakan Novanto melakukan pelanggaran etika tingkat sedang dan tujuh anggota lainnya menyatakan telah terjadi pelanggaran etika yang berat, MKD ternyata tidak mampu memutuskan hal ini.
Sekalipun telah jatuh dari kursi paling empuk di Senayan, Novanto tetap dipercaya oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar versi munas Bali Aburizal Bakrie untuk memegang" amanah" menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Jika sebagian besar rakyat bisa menarik napas lega karena Novanto bisa " dijatuhkan" dari kursi ketua DPR, ternyata dia tetap dijadikan tokoh" sentral" dalam percaturan politik di DPR.
Selain kasus Setya Novanto ini, beberapa bulan lalu, nama lembaga legislatif telah tercoreng oleh seorang anggota DPR lainnya yakni Dewie Limpo yang kepergok dalam Operasi tangkap tangan atau OTT yang dilancarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam kasus pembangunan pembangkit tenaga listrik di Papua.
Selama beberapa tahun terakhir ini, sudah beberapa kali sejumlah anggota DPR yang harus diseret ke "meja hijau" yang semuanya berujung pada duit yang nilainya miliaran rupiah.
Kapan bersih-bersih?
Sekalipun sejak awal kasus Setya Novanto ini terbongkar, tetap saja ada anggota- anggota DPR yang mau- maunya membela kasus "papa minta saham" ini.
Dengarkan omongan Wakil Ketua DPR Fadli Zon" Ini pembicaraan 'biasa-biasa saja seperti di warung kopi yang tidak ada kelanjutannya".
Sementara "yang mulia" Ridwan Bae yang juga dari Partai Golkar berkata" Pak Setya Novanto baru berindikasi sehingga belum ada keputusan".
Kemudian Kahar Muzakir dengan "nada gagah" dalam sidang MKD berkata " Selain anggota DPR , maka saya juga anggota Mahkamah Kehormatan DPR sehingga punya kekebalan".
Tak mau kalah "garangnya", Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berkata" eksekutif jangan intervensi legislatif".
Jika rakyat telah mendengar ucapan pembelaan terhadap Setya Novanto dari beberapa "yang terhormat" maka masyarakat tentu mempunyai hak bertanya kepada anggota-anggota Dewan yang terhormat" itu apakah mereka saat ini masih berani untuk" membela mati-matian" Novanto"
DPR masa kerja 2014-2019 memang masih berusia" jagung" yakni baru satu tahun beberapa bulan setelah mengucapkan sumpah pada Oktober 2014 sehingga masa baktinya masih empat tahun lagi. Namun tentu masyarakat terutama para pemilih pada pemilihan umum tahun 2014 berhak bertanya kepada 560 anggota lembaga legislatif apakah mereka itu digaji untuk mengabdi kepada "oknum"anggota DPR tertentu ataukah kepada lebih dari 240 juta warga negara Indonesia?
Kalau para legislator lebih mengutamakan "oknum anggota" lainya siap-siaplah untuk dibenci rakyat atau tidak dipilih lagi dalam pemilihan umum pada tahun 2019, yang sekalipun masih lama tapi juga harus disadari bahwa" sudah di depan mata".
Para penghuni Senayan itu apakah mau diri mereka bagaikan anggota DPR Angelina Sondakh atau Mohammad Nazaruddin yang "terjungkal" dari Senayan gara-gara matanya "hijau" melihat tumpukan uang yang nilainya miliaran rupiah, yang pasti tidak akan terjangkau sama sekali oleh mayoritas rakyat Indonesia yang untuk hidup saja harus "kembang kempis" hanya untuk sekedar bisa makan.
Selain soal duit di kantong anggota DPR , masyarakat juga masih bertanya- tanya tentang kinerja para wakil rakyat itu misalnya rancangan undang-undang yang telah disetujui selama lebih satu ini praktis bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja.
Belum lagi tentang perluasan atau penambahan fasilitas- fasilitas yang " sangat aduhai" di Senayan misalnya pembangunan berbagai gedung baru.
Presiden Joko Widodo pun telah menandatangani sebuah Keputusan Presiden yang memungkinkan setiap anggota DPR bisa membeli mobil yang kursinya sangat empuk bagaikan di kursi "yang mulia" itu.
Jadi, rakyat bisa bertanya kepada para "yang mulia" ini bahwa setelah menerima gaji dan honor yang nilainya "aduhai" itu ditambah dengan berbagai fasilitas lainnya yang amat mewah, maka kapan mereka itu akan benar- benar mengabdi kepada rakyat dan bangsa Indonesia?.
Kapan " yang mulia" ini akan benar-benar membantu pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di segala bidang kehidupan mulai di sektor ekonomi, kesejahteraan sosial dan budaya?
Para wakil rakyat masih memiliki waktu empat tahun lagi untuk sungguh-sungguh mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dan bukannya sekadar menjadi pembela oknum yang cuma mengatasnamakan rakyat tapi ternyata hanya membela "kantongnya" sendiri".
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015
Pernyataan menarik ini dilontarkan Jaksa Agung HM Prasetyo ketika mengomentari perkembangan kasus" papa minta saham" yang menyangkut mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto yang " terpaksa jatuh " dari kursi empuknya setelah ketahuan ikut- ikutan membahas kemungkinan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia alias PTFI.
Politisi Partai Golkar ini dituding mencampuri urusan lembaga eksekutif atau pemerintah karena diam-dian bertemu dengan Direktur Utama PTFI Maroef Sjamsoeddin sehubungan dengan bakal berakhirnya kontrak antara pemerintah Indonesia dengan PTFI yang beroperasi di Tembagapura, Papua yang akan berakhir tahun 2021. Pembicaraan resmi seharusnya baru berlangsung tahun 2019.
Entah "angin apa" yang meniup Setya Novanto sehingga sebagai ketua DPR merasa punya hak untuk membicarakan perpanjangan kontrak pemerintah dengan PTFI tersebut. Padahal tugas utama DPR adalah membuat dan membahas rancangan undang-undang bersama pemerintah, membicarakan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN serta mengawasi atau kontrol.
Novanto bertemu dengan Dirut PTFI Maroef Sjamsoeedin dengan didampingi seorang pengusaha, Riza Chalid. Sementara itu pertemuan "tiga pihak" ini justru tidak diikuti atau dihadiri para legislator yang berwenang untuk membahas masalah pertambangan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said akhirnya mengadukan kasus ini kepada Mahkamah Kehormatan DPR yang lazim disebut MKD yang kemudian beberapa kali bersidang baik tertutup maupun terbuka.
Akhirnya Kejaksaan Agung ikut menangani kejadian ini dengan memeriksa Maroef Sjamsoeddin dan juga Novanto. Ternyata banyak orang tidak mengetahui bahwa Maroef adalah seorang marsekal madya TNI purnawirawan yang juga mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Kejaksaan Agung "turun gunung" untuk memeriksa masalah ini walaupun kasus Novanto sudah ditangani MKD. Jika MKD bersidang karena diduga adanya pelanggaran etika maka Kejaksaan Agung turun karena diduga ada aspek hukumnya.
Dalam pertemuan itu, Novanto menyatakan kepada Maroef bahwa dirinya siap membantu memperlancar proses perpanjangan kontrak yang masih empat tahun lagi, asalkan dengan syarat adanya "pembagian " saham".
Ternyata Maroef yang merupakan mantan anggota intel merekam pembicaraan rahasia dengan Novanto itu sehingga masyarakat di Tanah Air akhirnya bisa mengetahui secara terperinci isi pembicaraan rahasia itu.
Walaupun tidak secara tersurat disebutkan nama Presiden Joko Widodo(Jokowi), ternyata mantan wali kota Solo itu merasa bahwa namanya" dibawa-bawa" oleh Novanto. Kemudian mantan gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta itu berbicara di depan wartawan dengan nada keras, suatu hal yang rasanya belum pernah ditampilkan Jokowi sejak menjadi Presiden Republik Indonesia sejak Oktober 2014.
"Saya engga apa-apa disebut presiden gila, saraf atau koppig". Koppig yang berasal dari bahasa Belanda berarti keras kepala.
Sementara itu, Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla juga bertutur" Saya dan Presiden marah".
MKD kemudian bersidang dengan memanggil Menteri ESDM Sudirman Said, Maroef Sjamsoeedin serta Novanto.
Jika sidang terhadap Sudirman dan Maroef dinyatakan terbuka untuk umum dan juga bebas diliput para wartawan, kenyataan sebaliknya justru terjadi pada Novanto. Sementara itu sang pengusaha Riza "ogah" hadir" tanpa alasan sama sekali.
"Pengadilan" terhadap Novanto ternyata malahan dinyatakan tertutup dan dia diberi " hak istimewa" untuk tidak menjawab sejumlah pertanyaan. Yang "paling hebat atau dahsyat" adalah sekalipun 10 anggota MKD menyatakan Novanto melakukan pelanggaran etika tingkat sedang dan tujuh anggota lainnya menyatakan telah terjadi pelanggaran etika yang berat, MKD ternyata tidak mampu memutuskan hal ini.
Sekalipun telah jatuh dari kursi paling empuk di Senayan, Novanto tetap dipercaya oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar versi munas Bali Aburizal Bakrie untuk memegang" amanah" menjadi Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Jika sebagian besar rakyat bisa menarik napas lega karena Novanto bisa " dijatuhkan" dari kursi ketua DPR, ternyata dia tetap dijadikan tokoh" sentral" dalam percaturan politik di DPR.
Selain kasus Setya Novanto ini, beberapa bulan lalu, nama lembaga legislatif telah tercoreng oleh seorang anggota DPR lainnya yakni Dewie Limpo yang kepergok dalam Operasi tangkap tangan atau OTT yang dilancarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga terlibat dalam kasus pembangunan pembangkit tenaga listrik di Papua.
Selama beberapa tahun terakhir ini, sudah beberapa kali sejumlah anggota DPR yang harus diseret ke "meja hijau" yang semuanya berujung pada duit yang nilainya miliaran rupiah.
Kapan bersih-bersih?
Sekalipun sejak awal kasus Setya Novanto ini terbongkar, tetap saja ada anggota- anggota DPR yang mau- maunya membela kasus "papa minta saham" ini.
Dengarkan omongan Wakil Ketua DPR Fadli Zon" Ini pembicaraan 'biasa-biasa saja seperti di warung kopi yang tidak ada kelanjutannya".
Sementara "yang mulia" Ridwan Bae yang juga dari Partai Golkar berkata" Pak Setya Novanto baru berindikasi sehingga belum ada keputusan".
Kemudian Kahar Muzakir dengan "nada gagah" dalam sidang MKD berkata " Selain anggota DPR , maka saya juga anggota Mahkamah Kehormatan DPR sehingga punya kekebalan".
Tak mau kalah "garangnya", Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berkata" eksekutif jangan intervensi legislatif".
Jika rakyat telah mendengar ucapan pembelaan terhadap Setya Novanto dari beberapa "yang terhormat" maka masyarakat tentu mempunyai hak bertanya kepada anggota-anggota Dewan yang terhormat" itu apakah mereka saat ini masih berani untuk" membela mati-matian" Novanto"
DPR masa kerja 2014-2019 memang masih berusia" jagung" yakni baru satu tahun beberapa bulan setelah mengucapkan sumpah pada Oktober 2014 sehingga masa baktinya masih empat tahun lagi. Namun tentu masyarakat terutama para pemilih pada pemilihan umum tahun 2014 berhak bertanya kepada 560 anggota lembaga legislatif apakah mereka itu digaji untuk mengabdi kepada "oknum"anggota DPR tertentu ataukah kepada lebih dari 240 juta warga negara Indonesia?
Kalau para legislator lebih mengutamakan "oknum anggota" lainya siap-siaplah untuk dibenci rakyat atau tidak dipilih lagi dalam pemilihan umum pada tahun 2019, yang sekalipun masih lama tapi juga harus disadari bahwa" sudah di depan mata".
Para penghuni Senayan itu apakah mau diri mereka bagaikan anggota DPR Angelina Sondakh atau Mohammad Nazaruddin yang "terjungkal" dari Senayan gara-gara matanya "hijau" melihat tumpukan uang yang nilainya miliaran rupiah, yang pasti tidak akan terjangkau sama sekali oleh mayoritas rakyat Indonesia yang untuk hidup saja harus "kembang kempis" hanya untuk sekedar bisa makan.
Selain soal duit di kantong anggota DPR , masyarakat juga masih bertanya- tanya tentang kinerja para wakil rakyat itu misalnya rancangan undang-undang yang telah disetujui selama lebih satu ini praktis bisa dihitung dengan jari sebelah tangan saja.
Belum lagi tentang perluasan atau penambahan fasilitas- fasilitas yang " sangat aduhai" di Senayan misalnya pembangunan berbagai gedung baru.
Presiden Joko Widodo pun telah menandatangani sebuah Keputusan Presiden yang memungkinkan setiap anggota DPR bisa membeli mobil yang kursinya sangat empuk bagaikan di kursi "yang mulia" itu.
Jadi, rakyat bisa bertanya kepada para "yang mulia" ini bahwa setelah menerima gaji dan honor yang nilainya "aduhai" itu ditambah dengan berbagai fasilitas lainnya yang amat mewah, maka kapan mereka itu akan benar- benar mengabdi kepada rakyat dan bangsa Indonesia?.
Kapan " yang mulia" ini akan benar-benar membantu pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di segala bidang kehidupan mulai di sektor ekonomi, kesejahteraan sosial dan budaya?
Para wakil rakyat masih memiliki waktu empat tahun lagi untuk sungguh-sungguh mengabdi kepada bangsa dan negara Indonesia dan bukannya sekadar menjadi pembela oknum yang cuma mengatasnamakan rakyat tapi ternyata hanya membela "kantongnya" sendiri".
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015