Koba (Antara Babel) - Puluhan unit alat pengeruk bijih timah (ponton) beroperasi secara ilegal di kawasan Jongkong, Desa Nibung, Kabupaten Bangka Tengah (Bateng), Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kepala Desa Nibung, Hartono di Koba, Kamis, mengatakan tambang inkonvensional (TI) itu sudah beroperasi selama tiga minggu.
"Kami baru mengetahuinya setelah puluhan ponton turun di lahan bekas tambang milik PT Koba Tin itu dan pihak desa sama sekali tidak pernah menyetujui dan menerima fee dari hasil penambangan bijih timah yang dilakukan warga," ujarnya.
Ia membantah adanya kesepakatan bahwa pihak desa menyetujui aktivitas penambangan bijih timah tersebut jika pihak penambang menyetujui memberikan fee produksi.
"Tidak ada fee yang mengalir ke kas desa, jika desa menerima fee maka sama saja artinya pemerintah desa melegalkan aktivitas penambangan bijih timah," ujarnya.
Ia menegaskan, jika ada pihak yang mengambil fee bijih timah atas nama desa maka itu bisa dikatakan pungutan liar karena sampai sekarang tidak ada uang timah yang masuk ke kas desa.
"Saya mendapat informasi bahwa yang memungut fee tersebut adalah Ketua LPM, Roni Fahrizal dengan alasan untuk pembangunan tempat ibadah," ujarnya.
Ia menyatakan, pengambilan fee yang dilakukan Fahrizal merupakan inisiatif sendiri tanpa mendapat persetujuan dari pihak desa.
"Saya sudah tanya kepada Fahrizal dan mendapat keterangan dasar memungut fee adalah proposal dari pengurus masjid," ujarnya.
Pantauan lapangan, puluhan unit ponton apung tersebut beroperasi tepat di samping kolam bekas budidaya ikan (Fish Farm) milik PT Koba Tin dan diketahui sudah beroperasi tiga pekan terakhir.
Mesin pengeruk bijih timah tersebut juga beroperasi tidak jauh dari badan jalan utama yang menghubungi Desa Nibung dengan desa lainnya sehingga dikhawatirkan rawan putus.
Informasi yang diperoleh di lapangan, bahwa masyarakat menambang bijih timah dengan pola berkelompok dan satu kelompok mengelola minimal sebanyak 10 ponton apung.
Hingga sekarang belum ada upaya dari penegak hukum untuk menghentikan aktivitas ilegal tersebut, sehingga para penambang dengan bebas menurunkan mesin dan bahkan mendirikan pondok pemukiman.
Sejumlah warung yang menjual kebutuhan harian juga menjamur berjejer di lokasi penambangan bijih timah tersebut. Situasi tergambar seperti perkampungan baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
Kepala Desa Nibung, Hartono di Koba, Kamis, mengatakan tambang inkonvensional (TI) itu sudah beroperasi selama tiga minggu.
"Kami baru mengetahuinya setelah puluhan ponton turun di lahan bekas tambang milik PT Koba Tin itu dan pihak desa sama sekali tidak pernah menyetujui dan menerima fee dari hasil penambangan bijih timah yang dilakukan warga," ujarnya.
Ia membantah adanya kesepakatan bahwa pihak desa menyetujui aktivitas penambangan bijih timah tersebut jika pihak penambang menyetujui memberikan fee produksi.
"Tidak ada fee yang mengalir ke kas desa, jika desa menerima fee maka sama saja artinya pemerintah desa melegalkan aktivitas penambangan bijih timah," ujarnya.
Ia menegaskan, jika ada pihak yang mengambil fee bijih timah atas nama desa maka itu bisa dikatakan pungutan liar karena sampai sekarang tidak ada uang timah yang masuk ke kas desa.
"Saya mendapat informasi bahwa yang memungut fee tersebut adalah Ketua LPM, Roni Fahrizal dengan alasan untuk pembangunan tempat ibadah," ujarnya.
Ia menyatakan, pengambilan fee yang dilakukan Fahrizal merupakan inisiatif sendiri tanpa mendapat persetujuan dari pihak desa.
"Saya sudah tanya kepada Fahrizal dan mendapat keterangan dasar memungut fee adalah proposal dari pengurus masjid," ujarnya.
Pantauan lapangan, puluhan unit ponton apung tersebut beroperasi tepat di samping kolam bekas budidaya ikan (Fish Farm) milik PT Koba Tin dan diketahui sudah beroperasi tiga pekan terakhir.
Mesin pengeruk bijih timah tersebut juga beroperasi tidak jauh dari badan jalan utama yang menghubungi Desa Nibung dengan desa lainnya sehingga dikhawatirkan rawan putus.
Informasi yang diperoleh di lapangan, bahwa masyarakat menambang bijih timah dengan pola berkelompok dan satu kelompok mengelola minimal sebanyak 10 ponton apung.
Hingga sekarang belum ada upaya dari penegak hukum untuk menghentikan aktivitas ilegal tersebut, sehingga para penambang dengan bebas menurunkan mesin dan bahkan mendirikan pondok pemukiman.
Sejumlah warung yang menjual kebutuhan harian juga menjamur berjejer di lokasi penambangan bijih timah tersebut. Situasi tergambar seperti perkampungan baru.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016