Jakarta (Antara Babel) - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan pernyataan menarik soal melawan terorisme, saat meresmikan Gedung Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bengkulu di Bengkulu, Kamis (21/1) lalu.

Ia menegaskan bahwa paham radikal dan terorisme merupakan musuh bersama pemerintah dan rakyat karena mengancam keutuhan bangsa.

"Kita harus bisa menentukan sikap, siapa lawan dan siapa kawan," kata dia.

"Tidak ada kata netral dalam menyikapi ancaman paham radikal dan terorisme. Kita juga jangan memberikan toleransi terhadap terorisme. Kita harus lawan. Kalau netral masuk neraka jahanam," kata politisi PDI Perjuangan itu.

Mendagri mengingatkan jangan sampai pelaku radikal dan teror mengacau di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena bisa berakibat fatal bagi bangsa dan menanamkan rasa takut di tengah rakyat.

"Jangan sudah ada bom meledak baru bergerak. Perlu bekerja sama dan terorismen menjadi musuh bersama," ujarnya, menegaskan.

Pernyataan Mendagri itu merupakan penegasan dari keseriusan pemerintah dalam melawan dan memberantas terorisme di Tanah Air, dan mengajak rakyat untuk menumbuhkan kesadaran serta kepedulian bersama dalam mengantisipasi dan menghadapi terorisme.

Setelah serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta pada Kamis pagi 14 Januari 2016, pemerintah, aparat keamanan, dan rakyat terasa berada dalam satu barisan melawan terorisme.

Bagi pemerintah, peristiwa yang mengundang perhatian dunia internasional apalagi kelompok radikal ISIS juga menyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas insiden itu, mengundang kesadaran baru dan sikap proaktif untuk mengambil langkah-langkah strategis termasuk menyempurnakan perangkat hukum dalam memerangi terorisme.

Pemerintah bergerak cepat sesuai masing-masing bidang di kementerian setelah peristiwa bom Jalan Thamrin. Kementerian Kominfo, misalnya, memblokir 11 situs berkonten radikal.

Menko Polhukam Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah tengah membahas perbaikan payung hukum penanganan prepemtif menghadapi gerakan radikal. Tindakan preemptif merupakan pencegahan dengan berbagai langkah.

Luhut juga mengatakan rancangan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan diselesaikan pada 26 Januari untuk kemudian diserahkan kepadad DPR RI. Materinya bisa berbentuk revisi atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Revisi undang-undang tersebut untuk memperkuat peran Polri dalam menangani terorisme. Pembahasan revisi dari pemerintah itu dilakukan bersama-sama dengan Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso, Kepala Polri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Komjen Pol Saud Usman, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung M Prasetyo, dan pengamat hukum tata negara Jimly Asshiddiqie.

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan prajurit TNI membantu kepolisian dalam mengamankan objek-objek vital dan sentra-sentra ekonomi. "Sekarang kita sudah melakukan penebalan pasukan di lokasi sentra ekonomi, PLN dan objek vital lainnya," tutur Panglima.

Semua pimpinan lembaga negara sepakat bahwa memang harus ada upaya pencegahan aksi radikal.

Serangan teroris yang meledakkan bom dan baku tembak dengan polisi di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin itu menunjukkan bahwa terorisme masih menghantui Indonesia dan memperpanjang berbagai peristiwa sejenis yang terjadi pada setiap pemerintahan negeri ini.

Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno bahkan menjadi sasaran teroris yang melemparkan sejumlah bom granat di sekolah Perguruan Cikini di Jalan Cikini, Jakarta Pusat 30 November 1957. Ketika itu Soekarno menghadiri acara ulang tahun sekolah tersebut.

Era Orde Baru, meskipun pemerintahan Presiden Soeharto berjalan militeristik dan sentralistik, serangan teroris terjadi beberapa kali seperti pembajakan pesawat Garuda DC-9 pada 28 Maret 1981, peledakan bom di Bank BCA di Pecenongan, Jakarta, 4 Oktober 1984, peledakan bom di Candi Borobudur pada 21 Januari 1985 dan pada tahun yang sama sebuah bus malam diledakkan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Hingga pada era reformasi dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998-1999), Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan kini Presiden Joko Widodo, serangan teroris masih terjadi.

Pada era Habibie, setidaknya dua kali terjadi ledakan bom yakni pada 19 April 1999 di Masjid Istiqlal dan pada 20 Oktober 1999 di bundaran HI dan depan Balai Sidang Senayan.

Belasan peledakan bom berlangsung pada era Presiden Abdurrahman Wahid antara lain terjadi di Gereja Kristen Protestan Indonesia pada 28 Mei 2000, di Kedubes Filipina (1 Agustus 2000), Kedubes Malaysia (27 Agustus 2000), dan bom malam Natal 24 Desember 2000 di berbagai daerah di Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Mojokerto, Mataram, Pematangsiantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru.

Pada era Presiden Megawati Sukarnoputri juga terjadi sejumlah ledakan bom, bahkan yang paling dahsyat yakni bom Bali pada 12 Oktober 2002 di dua tempat hiburan malam di kawasan Pantai Kuta yang menewaskan ratusan orang, sebagian warga negara asing. Lalu pada 5 Agustus 2003 ledakan bom juga terjadi di Hotel JW Marriot, Jakarta.

Beberapa kali peristiwa ledakan bom juga terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti pada 1 Oktober 2005 di beberapa tempat di Bali, bahkan ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, dan bom bunuh diri di gereja di Solo pada 25 September 2011.

                                                                          Penangkalan
Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat penting karena peraturan itu memiliki kelemahan, tidak bisa menjangkau orang-orang yang sedang mempersiapkan aksi teror sehingga mereka belum bisa dipidanakan.

Badrodin mengatakan perlu undang-undang yang lebih tegas dan kuat untuk menanggulangi tindak pidana terorisme. Dengan begitu, bila ada seseorang yang mengikuti pelatihan militer atau menyatakan berbaiat dengan kelompok radikal tertentu, sudah bisa diantisipasi.

Menurut Badrodin, serangan teroris di Jalan Thamrin dan wacana revisi Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Terorisme harus menjadi momentum untuk menyadarkan masyarakat bahwa ancaman terorisme bukan hanya isapan jempol tetapi sudah merupakan ancaman yang nyata.

Kapolri meminta Ditjen Imigrasi mengeluarkan surat penangkalan WNI di Suriah yang terbukti terlibat kelompok bersenjata ISIS agar tidak bisa kembali ke Indonesia.

"Sudah kami sampaikan ke Ditjen Imigrasi agar bisa dilakukan penangkalan. Dengan penangkalan tersebut, kami mengantisipasi potensi gangguan kamtibmas di Indonesia," ucap Kapolri.

Dari data kepolisian, tutur Badrodin, ada sebanyak 308 WNI yang kini tengah berada di Suriah. Kendati demikian, tidak semua WNI tersebut tergabung dalam organisasi radikal ISIS.

"Tidak semuanya (terlibat ISIS). Ada juga yang cuma tinggal sementara di Suriah," imbuhnya.

Terduga pelaku teror Jalan Thamrin yang bernama Afif alias Sunakim merupakan anggota kelompok Jamaah Anshor Khilafah Nusantara (JAKN) yang berafiliasi dengan ISIS.

"Pelaku bukan aktor baru," kata Kapolri. Lima pelaku teror dalam insiden serangan teroris di Jalan Thamrin tersebut tewas. Dua orang pelaku tewas akibat bom bunuh diri dan tiga orang tewas setelah ditembak polisi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta masyarakat untuk terus waspada dan segera melaporkan jika menemukan kegiatan mencurigakan di sekitar mereka.

"Yang pasti, tentu kita harus berhati-hati, menjaga dan melaporkan kalau ada yang mencurigakan," tambah Wapres.

Sebagaimana seruan Presiden Jokowi, pemerintah dan rakyat memang tidak boleh kalah dan takut untuk melawan teror.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016