China tidak akan mengendurkan sedikit pun kebijakan nol kasus COVID-19 secara dinamis yang sudah berlangsung hampir tiga tahun terakhir.

Demikian seorang jurnalis China dalam salah satu obrolan dengan penulis di sela pergelaran ASEAN-China Fair di Beijing pada sore hari di pertengahan bulan Oktober 2022.

Sekali dilonggarkan, maka akan banyak warga China yang terinfeksi virus tersebut yang kini sudah makin berkelindan tak karuan dengan munculnya varian dan subvarian baru itu, tambahnya berupaya meyakinkan penulis.

Obrolan produktif bersama sahabat sesama jurnalis di tengah kerumunan para diplomat dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara tersebut cukup hangat dan sesekali diwarnai adu argumentasi.

Ia berupaya menyanggah pendapat penulis terkait motif politis di balik tingginya frekuensi penguncian wilayah (lockdown) yang diterapkan oleh otoritas China di berbagai kota, bahkan di kota-kota megapolitan penyangga ekonomi, seperti Shanghai, Beijing, dan Guangzhou.

Shanghai dan Beijing tidak pernah di-lockdown, setidaknya dalam kurun waktu 2,5 tahun terhitung sejak pertama kali COVID-19 ditemukan di Wuhan pada awal 2020.

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali Shanghai dan Beijing di-lockdown sepanjang 2022, meskipun dalam skala parsial.

Tahun 2022 merupakan tahun politik di China. Partai Komunis China (CPC) menginginkan stabilitas nasional terpelihara dengan baik karena Oktober 2022 mereka menggelar Kongres Nasional yang ke-20 di Beijing.

Xi Jinping sebagai pemimpin tertinggi partai penguasa tunggal di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu akhirnya berhasil melanjutkan kepemimpinannya pada periode ketiga (2022-2027). Sudah barang tentu hal itu bakal memperkokoh kedudukannya di Zhongnanhai karena telah berhasil mengamankan tiket Presiden China untuk periode ketiganya (2023-2028).

Namun pasca-kongres, kebijakan antipandemi China tidaklah berubah. Elite partai bentukan Xi yang didominasi wajah-wajah baru hasil Kongres Nasional ke-20 CPC mencoba mengotak-atik kebijakan nol COVID tersebut.

Sayangnya, kebijakan hasil permak tersebut sulit dipahami oleh satuan tugas antipandemi di lapangan sehingga banyak ditemukan peristiwa yang seharusnya tidak terjadi.

Dua bayi meninggal gara-gara terlambat mendapatkan penanganan medis dan seorang warga bunuh diri di kompleks perumahannya yang sedang di-lockdown terjadi secara beruntun sebagai akibat tidak langsung kebijakan baru nol COVID yang diputuskan bersama Komite Sentral CPC dan Dewan Pemerintahan selaku lembaga kabinet di bawah kepempimpinan Perdana Menteri Li Keqiang itu.

Puncaknya, saat terjadi peristiwa kebakaran kompleks hunian 21 lantai di Kota Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, pada 24 November 2022 yang menewaskan 10 orang warga.

Peristiwa maut tersebut memicu terjadinya berbagai unjuk rasa di Beijing, Shanghai, Nanjing, dan Hong Kong. Para demonstran dengan berbagai cara menyampaikan aspirasinya, termasuk aksi membentangkan kertas putih tanpa tulisan, menuding otoritas China telah bertindak sewenang-wenang dalam menerapkan kebijakan nol COVID hingga merenggut nyawa warga Urumqi.

Sebelumnya banyak beredar video dan foto di berbagai medsos di China yang memperlihatkan pemblokiran akses menuju apartemen yang terbakar di ibu kota Xinjiang itu sehingga menyulitkan petugas pemadam kebakaran.

Namun, otoritas Kota Urumqi cepat-cepat membantahnya dengan menyatakan bahwa foto-foto tersebut, termasuk gembok dan rantai yang mengikat rapat-rapat di gerbang utama apartemen 21 lantai itu, sebagai hasil olahan Photoshop.

Di Beijing kebijakan baru tersebut sempat dilaksanakan. Beberapa permukiman ada yang dipasangi blokade dari seng dan ada beberapa petugas keamanan yang menjaganya setelah ditemukan kasus positif COVID-19 di kalangan penghuninya.

Kebijakan tersebut tak berlangsung lama setelah kekecewaan warga terus memuncak karena lockdown dan bentuk-bentuk pembatasan yang berlangsung sejak 2020 membuat mereka tidak produktif hingga mengganggu hajat hidup.

Aspirasi tersebut didengar dan diakomodasi melalui pelonggaran kebijakan antipandemi secara bertahap yang dikeluarkan otoritas China per 7 Desember 2022.

Sejak saat itu tes PCR harian sudah tidak lagi diwajibkan, penggunaan aplikasi kode kesehatan perlahan diminimalkan bagi para pengakses kendaraan umum, area publik, tempat hiburan, objek wisata, perkantoran, dan fasilitas lainnya.

Pelaku perjalanan internasional tujuan China juga mendapatkan kemudahan-kemudahan, mulai dari permohonan visa, tes PCR yang cukup satu kali dalam tempo 48 jam sebelum keberangkatan, pemulihan jalur penerbangan internasional, hingga pemangkasan masa karantina wajib di bandara kedatangan.
Mengejar Bayangan
Pintu itu belum sepenuhnya terbuka, namun wabah kembali melanda. Tentu saja bingkisan kado dari pengurus baru partai berupa pelonggaran protokol kesehatan antipandemi belum bisa dinikmati bersama.

Mal dan pusat perbelanjaan lainnya, khususnya di Beijing, masih belum buka meskipun sudah mendapatkan izin beroperasi kembali. Transportasi umum, seperti kereta metro dan bus kota, melompong pada jam-jam sibuk. Demikian pula arus lalu-lintas masih sangat lengang.

Suasana kontras justru terjadi di rumah sakit. Lobi dan lorong rumah sakit penuh oleh pasien yang menunggu giliran pemeriksaan dokter hingga berjam-jam. Intensitas panggilan kegawatdaruratan kesehatan yang dilayani oleh ambulans meningkat hingga enam sampai sembilan kali lipat dibandingkan beberapa pekan sebelumnya.

Antrean di depan apotek dan toko obat-obatan mengular hingga puluhan meter. Sejumlah orang yang tidak tahan mengantre di bawah suhu udara rendah musim dingin memilih pulang daripada makin menderita di tengah ketidakpastian.

Layanan medis sangat kewalahan, sebuah pemandangan yang nyaris sama ketika detik-detik pertama munculnya pandemi di Wuhan menjelang berakhirnya tahun 2019.

Warga Ibu Kota lebih memilih bekerja dari rumah karena daya penularan COVID-19 yang dipicu oleh BF.7, subvarian baru Omicron, lebih cepat dan masif meskipun tidak begitu fatal jika dibandingkan dengan varian sebelumnya. Cepatnya penularan tersebut didukung oleh udara musim dingin yang merasuk hingga tulang.

Lalu apakah kebijakan terbaru yang lebih longgar itu akan dicabut, mengingat lonjakan COVID yang makin menggila, bahkan tujuh kasus kematian terjadi di Beijing dalam sepekan terakhir?

Pertanyaan tersebut mengemuka lantaran di tingkat akar bawah kembali gamang setelah melihat banyaknya korban berjatuhan meskipun tingkat fatalitasnya sangat rendah.

China di bawah rezim otoriter Komunis sangat cermat dan tegas dalam mengambil kebijakan, namun juga tidak ragu-ragu untuk mencabutnya kalau dirasakan sangat perlu.

Dalam kasus terakhir ini, tampaknya China tidak akan mengambil langkah mundur dengan menerapkan kembali kebijakan nol COVID-19 yang sudah telanjur dicabut secara bertahap.

Ada beberapa faktor yang mendorong China sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu terus melangkah maju dengan membuka pintu di tengah gelombang wabah Omicron yang makin tidak terkendali ini.

Pertama, pembangunan ekonomi. Faktor ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Serangkaian pembatasan ketat dan lockdown yang diterapkan sejak awal 2022 sudah menjadi pukulan telak terhadap perekonomian nasionalnya. Pertumbuhan ekonomi China pada 2022 diprediksi pada sekitar angka 3 persen. Sebuah kemunduran besar dibandingkan dengan pencapaian 2021 sebesar 8 persen, padahal targetnya pada saat itu hanya 6 persen.

Kedua, kondusivitas politik dalam negeri. Kongres Nasional ke-20 CPC telah berjalan mulus dan sukses mengantarkan Xi Jinping mempertahankan tampuk kekuasaannya hingga periode lima tahun ketiganya, meskipun diwarnai riak-riak kecil, seperti kabar ditendangnya sang mantan Hu Jintao dari jajaran elite CPC dan aksi coret-coret grafiti beberapa aktivis di Beijing. Justru yang perlu diwaspadai adalah makin membesarnya gejolak sosial jika pembatasan-pembatasan antipandemi tidak segera dicabut yang berpotensi terganggunya stabilitas dalam negeri.

Dan ketiga, karakteristik virus yang telah berubah. Implementasi kebijakan nol COVID-19 bagaikan mengejar bayangan. Artinya, sangat mustahil tidak ada satu pun kasus positif di negara berpenduduk terbanyak di dunia itu. Virus juga telah berevolusi. Tidak patut penanganan Omicron yang patogennya melemah dalam jangka waktu tujuh hingga sepuluh hari, dilakukan seperti cara penanganan varian Delta yang tingkat fatalitasnya sangat tinggi.

China sudah "membakar" banyak uang dan "membeli" banyak waktu demi terwujudnya impian nol COVID sehingga sudah waktunya bangun dari tidur dengan mengambil sikap yang lebih rasional lagi untuk mengejar pembangunan ekonomi agak tidak semakin tertinggal, apalagi perang dagang dan teknologi dengan Amerika Serikat masih belum menunjukkan tanda-tanda reda.

Jika masih berambisi mengejar AS sebagai negara ekonomi terbesar pertama di dunia, tidak ada pilihan lain bagi China untuk membuka pintu lebar-lebar kepada pihak luar tanpa ada sekat sedikit pun agar "soft power strategy" ala Xi Jinping membuahkan hasil.
 

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022