Jakarta (Antara Babel) - Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap kasus dugaan suap melibatkan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Arieswan Widjaja, akhir Maret lalu, isu reklamasi semakin mencuat dan mencuri perhatian masyarakat.

Dalam kasus ini, Sanusi diduga menerima suap sebesar Rp2 miliar dari Ariesman terkait pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) tentang reklamasi di pantai utara Jakarta.

Pelaksanaan raperda sendiri didorong oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mendapatkan dasar hukum pelaksanaan reklamasi, setelah beberapa pasal dalam dasar hukum sebelumnya yakni Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995, dibatalkan dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008.

Sementara pembahasan raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 serta Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta masih berjalan, Pemprov DKI masih mengacu pada Keppres 54/2008 dalam melaksanakan proyek reklamasi.

Pasal 4 Keppres 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta berbunyi "wewenang dan tanggung jawab Reklamasi Pantura berada pada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta", sehingga Pemprov DKI merasa memiliki hak mengeluarkan izin reklamasi.

Sedangkan pasal-pasal dalam Perpres 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur dianggap hanya mengatur tentang aspek tata ruang.

Padahal, pasal 63 perpres tersebut mengkategorikan Jabodetabekpunjur sebagai kawasan strategis nasional yang koordinasi teknis penataan ruangnya dilakukan oleh menteri.

"Perpres itu dalam satu klausul menganulir keppres terkait aspek tata ruang, nah reklamasi dianggap pemerintah pusat sebagai salah satu aspek tata ruang, padahal bukan. Reklamasi dan tata ruang itu berbeda," ujar Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Muadzin Mungkasa.

Di sisi lain, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menyebut adanya manipulasi aturan dalam penerbitan izin reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.

Menurut dia, yang berwenang memberikan izin pelaksanaan reklamasi sesuai Perpres 54/2008 adalah pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Jadi tidak usah bingung ini kewenangan siapa. Sudah jelas ada perbedaan kewenangan antara kawasan strategis nasional dan yang tidak," ungkapnya.

Prijanto juga menduga pelaksaan reklamasi sangat berkaitan dengan kepentingan eksekutif, legislatif, dan pengembang, mengingat betapa besarnya keinginan Pemprov DKI meloloskan dua perda terkait reklamasi.

Seperti diketahui, proyek reklamasi di beberapa pulau sudah berjalan padahal payung hukum yang mengatur tentang reklamasi masih dibahas oleh pemprov dan DPRD DKI.

"Ada suatu payung hukum yang belum dipenuhi tapi izin (reklamasi) sudah dikeluarkan, seharusnya kan ada perda zonasi dulu sebelum pelaksanaan proyek. Polemik antara eksekutif dan legislatif ini membuat gubernur memaksakan perda (reklamasi) dimasukkan dalam raperda tata ruang," tutur Prijanto.

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) juga menyebut proyek reklamasi 17 pulau di pantai utara Jakarta merupakan praktik yang cacat hukum dan sosial, karena banyak menabrak peraturan perundang-undangan.

"Kalau dicermati di dalam keppres itu, untuk reklamasi diperlukan satu badan pelaksana yang terdiri dari gubernur dan jajarannya serta satu tim pengarah yang terdiri dari kementerian terkait. Ini kan tidak ada," ungkap Ketua Dewan Pembina KNTI Chalid Muhammad.

Selain itu, dalam keppres juga disebutkan bahwa hak kelola pulau reklamasi berada di tangan pemda, bukan di pihak pengembang seperti yang terjadi saat ini.

Chalid pun menduga telah terjadi penyelundupan hukum dari sisi analisis dampak lingkungan (amdal) karena Pemprov DKI Jakarta diduga memecah amdal dari amdal kawasan yang otorisasinya ada di pemerintah pusat, ke amdal parsial yang kemudian menjadi kewenangan pemda.

"Amdal kawasan reklamasi dulu ditolak oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka pemda mengakalinya dengan memecah amdal pulau per pulau. Padahal kan laut tidak ada batas administratif, jadi kalau dipecah begitu jadi tidak rasional," paparnya.

Dalam sebuah dialog yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, Menteri KKP Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa menurut Perpres 54/2008, Jakarta termasuk wilayah strategis nasional sehingga penerbitan izin pelaksanaan reklamasi harus berdasarkan rekomendasi KKP.

"Saat diajukan izin pelaksanaan kami akan berikan rekomendasi. Tanpa rekomendasi itu izin pelaksanaan tidak bisa dijalankan," ucapnya.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu (UNIB) Juanda menilai masalah reklamasi yang kini mencuat menjadi kasus korupsi diakibatkan kekacauan norma hukum dalam beberapa undang-undang yang mengatur tentang zonasi dan penataan kawasan pantai utara Jakarta.

"Saya tidak menyalahkan Pemprov DKI, saya melihat ini ada salah penafsiran tentang kewenangan yang diberikan perundangan kita," ujarnya.

"Kekacauan hukum ini harus segera diselesaikan dengan mencabut baik keppres dan perpres yang bermasalah tersebut, kemudian membuat peraturan baru disesuaikan dengan kondisi saat ini," ungkap Juanda.

    
Kontroversi
   
Mengacu pada Keppres 52/1995, Pemprov DKI Jakarta merasa mengemban amanat pemerintah pusat untuk mengembangkan Jakarta sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi, melalui kegiatan penimbunan dan pengeringan wilayah perairan atau reklamasi.

"Jakarta adalah salah satu pusat pertumbuhan yang mau dikembangkan, sehingga kita perlu mengembangkan lahan atau lokasi baru dengan cara reklamasi," tutur Oswar Muadzin.

Untuk meluluskan proyek tersebut, pemprov mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 yang antara lain menjelaskan bahwa kawasan strategis pantai utara Jakarta merupakan kawasan penting yang harus dikembangkan mulai dari tepi pantai sampai kedalaman delapan meter di bawah permukaan laut.

"Nah di dalam area itu kita lakukan reklamasi. Reklamasi dalam hal ini pengurukan, belum sampai pada pendirian bangunan," ungkap Oswar.

Ia pun meyakinkan bahwa pemberian izin pelaksanaan reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta telah memenuhi berbagai syarat termasuk analisis dampak lingkungan (amdal).

Melalui reklamasi, menurut dia, Jakarta akan diuntungkan dengan tambahan 5.100 hektare lahan pulau-pulau baru.

"Ada potensi ekonomi, pertambahan tenaga kerja, dan pertambahan kegiatan ekonomi yang semuanya bermuara pada pertumbuhan ekonomi," katanya.

Ia mengatakan bahwa semua tanah hasil reklamasi adalah milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemprov DKI, meskipun dalam pembangunannya melibatkan pengembang swasta, BUMN, dan BUMD.

Sesuai perjanjian awal, kata Oswar, pengembang diwajibkan menyediakan sekitar 50 persen dari luas lahan pulau reklamasi antara lain 25 persen untuk ruang terbuka hijau (RTH), lima persen untuk ruang terbuka biru (RTB), 15 persen untuk fasilitas umum dan sosial, serta lima persen untuk Pemprov DKI.

"Lima persen lahan milik pemprov ini nantinya digunakan untuk fasilitas masyarakat misalnya untuk membangun apartemen bagi buruh atau pegawai rendahan yang bekerja di pulau-pulau tersebut," ucapnya.

Untuk memastikan bahwa pembangunan dan kegiatan ekonomi tidak hanya menguntungkan masyarakat yang menghuni pulau reklamasi, pemprov mengajukan tambahan kontribusi sebesar 15 persen dikali Nilai Jual Wajib Pajak (NJOP) dikali lahan yang bisa dijual (saleable area).

Dengan perhitungan NJOP minimal Rp10 juta untuk 14 pulau dan Rp30 juta untuk tiga pulau lainnya, pemerintah dapat memperoleh tambahan kontribusi sebesar Rp48 triliun.

"Dana itu nanti digunakan untuk subsidi silang, termasuk untuk membangun lima pusat perikanan di pesisir, pelabuhan, tempat tambatan kapal, dan rumah susun bagi nelayan," tutur Oswar.

Di sisi lain, proyek reklamasi membawa dampak negatif bagi lingkungan seperti peningkatan sedimentasi (pengendapan material) sehingga berpotensi banjir, penurunan kualitas air akibat logam berat dan bahan organik yang berdampak pada kematian ikan dan penurunan kecepatan arus sehingga proses sirkulasi air tidak berjalan dengan lancar.

"Kematian ikan karena pengaruh logam berat dan bahan organik, terjadi penurunan arus sehingga material yang masuk dari sungai cenderung tertahan di situ (teluk)," tutur pakar Oseanografi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan.

Selain itu, Alan juga menggarisbawahi dampak reklamasi secara sosial yakni ribuan nelayan dan anak buah kapal yang harus direlokasi serta potensi timbulnya konflik.

"Kalau nelayan mau ke Pulau Seribu nanti ada konflik dengan masyarakat lokal. Sedangkan jika direlokasi ke 17 pulau reklamasi nanti ada kesenjangan karena pulau itu kan ditujukan untuk daerah elite," imbuhnya.

Ketua DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Robi Nurhadi menyatakan proyek reklamasi telah mengakibatkan penurunan penghasilan nelayan hingga 80 persen.

        "Dulu rata-rata penghasilan nelayan Muara Angke bisa sampai Rp1 juta per hari, sekarang hanya menyentuh angka Rp200 ribu," ujarnya.

    
Dihentikan
   
Menyadari isu reklamasi yang kian berkembang disertai berbagai penolakan dari organisasi masyarakat, Komisi IV DPR RI dan KKP sepakat untuk menghentikan proses pembangunan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

DPR juga meminta Menteri KKP Susi Pudjiastuti berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta sampai memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Susi menegaskan bahwa persoalan reklamasi di sini adalah KKP tidak bisa melakukan penindakan hukum karena bukan menjadi wewenang dari kementerian yang dipimpinnya.

"Semua rekomendasi (terkait reklamasi) sudah saya sampaikan dalam rapat kabinet dan saya telah sampaikan kepada Presiden (Joko Widodo)," katanya.

Sebelumnya, KNTI mengapresiasi langkah DPRD DKI Jakarta yang memberhentikan pembahasan dua raperda terkait reklamasi.

"(Pemberhentian pembahasan Raperda Zonasi) adalah hal yang positif dalam rangka memastikan apa yang keliru selama ini jangan sampai lebih dibelokkan," kata Ketua Umum KNTI M Riza Damanik di Jakarta.

Menurut Riza, pemberhentian tersebut akan memberikan kemudahan serta kelonggaran bagi pihak eksekutif untuk melakukan evaluasi terkait rencana reklamasi di Jakarta.

Ketum KNTI berpendapat, pemberhentian pembahasan raperda itu bakal memberikan kejelasan terkait dengan pelanggaran-pelanggaran konstitusional yang ada sehubungan dengan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta.

"Kami sedang berkonsentrasi dalam persidangan di PTUN untuk membatalkan perizinan proyek reklamasi," tukasnya.

Dia menyatakan bahwa aktivitas reklamasi yang ada di sejumlah daerah di Indonesia lebih kepada komersialisasi dibandingkan untuk kepentingan publik.

Riza percaya dan meyakini mengenai apa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menelaah kasus dugaan suap terkait pembahasan raperda.

Sebaliknya, Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Muadzin Mungkasa menegaskan pembangunan 17 pulau reklamasi baru bisa dihentikan jika Keppres 52/1995 yang menjadi dasar hukum proyek tersebut dicabut.

"Selama presiden tidak mencabut Keppres itu ya kami berkewajiban melakukan (reklamasi) seperti yang tercantum di dalamnya," tuturnya.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama juga menilai harus ada undang-undang baru sekaligus persetujuan dari Presiden Joko Widodo untuk menghentikan reklamasi.

Gubernur yang kerap disapa Ahok itu menekankan keputusannya untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi.

Menurut dia, jika reklamasi dibatalkan akan merugikan Pemprov DKI sekaligus para pengembang yang telah bekerja sama untuk memicu pertumbuhan ekonomi melalui bisnis properti di sejumlah pulau buatan tersebut.

"Karena dalam satu industri mengikuti yang lain. Misalnya, industri keramik, pasir dan buruh. Dari yang enggak sekolah sampai yang sekolah. Dan ini juga sewa menyewakan juga (berkaitan dengan) pajak," kata Ahok.

Pewarta: Yashinta Difa

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016