Dari mana awal mula salah kaprah berbahasa dalam ujaran lisan maupun tulisan?
    
Dari mana-mana, tentu. Di tataran lisan, bisa dari pasar ikan tempat wong cilik bertransaksi, panggung Srimulat arena Asmuni dan Tarzan berkelakar, mimbar orasi para pakar mempertanggungjawabkan riset ilmiahnya, warung kopi ajang sopir angkot berdebat, atau ruang kelas profesor mendedahkan ilmu.

Dari sanalah kekeliruan lumrah dalam berkata-kata itu bermula. Di sana ada sang pemula yang menceploskan kata atau frasa, dengan makna yang tak sesuai dengan yang dikehendakinya.

Salah kaprah ihwal angka "nol" dipadankan dengan "kosong" boleh jadi, sekali lagi: mungkin saja, berawal dari siaran radio pertandingan bola di kala televisi hanya dimiliki sedikit keluarga kaya raya di ibu kota, pada dekade 60. Sang penyiar yang mewartakan laga yang berakhir dengan angka 0-0 itu mengucapkannya sebagai "kosong-kosong".

Naluri meniru massa membiakkan kekeliruan personal itu jadi kesalahan berjamaah yang kaprah. "Kosong" pun tak sekadar diucapkan untuk menyatakan "nol" dalam hasil pertandingan olahraga, tapi juga menyebut "nol" dalam gugusan nomor telepon.

Tak cuma itu, Wijati, seorang penyair kaliber kabupaten dari Tegal, yang menganggap tak penting penggelompokan angkatan dalam jagat sastra, berseloroh, "Saya angkatan kosong-kosong."  
   
Kosong di situ jelas merujuk pada angka karena sebelumnya publik sastra terbiasa dengan Angkatan 1928 yang direpresentasikan oleh sosok Pujangga Baru, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, Marah Rusli.

Angkatan 1945 yang dimotori Chairil Anwar, Idrus, Rivai Apin dan Asrul Sani. Lalu muncullah Angkatan 1966 yang antara lain termanifestasi dalam diri Taufiq Ismail.

Angkatan Kosong-Kosong boleh jadi merujuk pada tahun 2000 tapi dalam lontaran itu, Wijati lebih mengisyaratkan bahwa sebutan itu sebagai semacam parodi.      
   
Perkara salah kaprah "kosong" menggantikan "nol" dalam ujaran lisan agaknya bisa dimaklumi karena keduanya, bagi penutur kebanyakan, memiliki fitur makna yang berdekatan: kenihilan. Namun, bagi penutur yang paham betul konsep matematika, tak sudi lah memadankan "kosong" dengan "nol".

Salah kaprah di tataran tulisan, tentu sama dengan yang terjadi di ranah lisan. Keduanya dilakukan oleh para wong cilik, penulis belum berpengalaman maupun yang sudah berpengalaman. Bahkan media massa, baik kelas satu maupun dua, sama-sama mengukuhkan kesalahan lazim dalam kebahasaan itu.

Inilah contoh kasus paling sering terjadi. Salah kaprah dalam memaknai kata benda abstrak "pembelajaran" yang diartikan sebagai "tindakan atau aksi belajar atau mempelajari" yang sepadan dengan "learning" dalam bahasa Inggris terus bergulir.

Sejatinya, morfologi "pembelajaran" itu selaras dengan "pemberdayaan" dalam arti "tindakan membelajarkan" atau "membuat orang lain belajar", persis searti dengan "tindakan memberdayakan" atau "membuat orang lain berdaya".

Lalu apa nomina yang pas untuk memaknai "tidakan belajar atau mempelajari"? "Pemelajaran", sekali lagi "pemelajaran" lah yang semakna dengan "learning".

Karena salah kaprah yang satu ini begitu berulang dan dilakukan oleh para pakar yang menulis di media massa maupun jurnal ilmiah mengenai topik kepakaran mereka, muncullah semacam pemikiran untuk menerima kesalahan umum itu sebagai bukan kesalahan lagi. Artinya, "pembelajaran" harus diberi makna ganda: di samping bermakna "membuat orang lain belajar" juga mengandung makna kedua sebagai "tindakan belajar atau mempelajari".

Pilihan demikian tampaknya akan ditolak oleh kalangan ahli atau pemerhati linguistik preskriptif, yang berpatokan pada prinsip-prinsip seharusnya dalam bertutur bahasa yang baik dan benar.

Jika disimak dari mana kesalahkaprahan dalam kasus "pembelajaran" di atas, tampaknya hal itu lebih dikarenakan keengganan pengguna bahasa Indonesia untuk menggunakan kamus sebagai panduan dalam berbahasa tulis.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perkara kata turunan paradigmatis dari kata dasar "ajar" yang melahirkan kasus salah kaprah "pembelajaran" di atas sudah secara jelas terurai dengan gamblang.

Namun, KBBI tak seluruhnya melakukan koreksi salah kaprah berkaitan dengan ujaran lisan maupun tulisan. Beberapa lema dan penjelasannya di sana malah mengukuhkan salah kaprah berbahasa itu.

Contohnya: pada istilah "konsumerisme". Penjelasan pertama sudah tepat dalam mengartikan istilah itu, yakni: "gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual dan pengiklan."
    
Namun, justru di penjelasan nomor dua, KBBI malah mengukuhkan makna yang salah kaprah, yakni "paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan dsb; gaya hidup yang tidak hemat."
    
Mestinya, KBBI berhenti pada penjelasan pertama sedangkan makna kedua itu diberikan pada istilah seakar, namun memperoleh imbuhan yang berbeda, yakni "konsumtivisme". Inilah yang dilakukan oleh Oxford English Dictionary.

Jika dicari apa penyebab terjadinya salah kaprah itu, ada banyak faktor. Salah satunya adalah watak dari makna kata yang memang rapuh, yang selalu mengikuti kemauan mayoritas pengguna bahasa.

Para ahli bahasa, lembaga bahasa bukanlah penentu berterima atau tidaknya bahasa. Mayoritas pengguna bahasalah yang menentukan bahwa sah-sah saja menyamakan angka "nol" dengan "kosong".

Namun, tak terutup kemungkinan bahwa salah kaprah-salah kaprah dalam berujar di tataran lisan dan tulisan itu pada suatu saat kelak akan terkoreksi dan koreksi itu diterima secara umum oleh mayoritas pengguna bahasa bersangkutan.

Ingat kata-kata John Locke, filsuf Inggris pemikir kemerdekaan berpendapat itu. Katanya: satu kebenaran yang diterima umum saat tertentu bisa ditumbangkan oleh generasi berikutnya di saat yang lain. Itu menyangkut kebenaran, apalagi soal makna kata yang memang begitu rapuh dalam perjalanan sejarah manusia.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016