Dewan Pakar BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Bidang Strategi Hubungan Internasional, Dr. Darmansjah Djumala, mengatakan salah satu tugas BPIP sesuai tupoksinya adalah mengkaji keselarasan kebijakan dengan nilai-nilai Pancasila, termasuk aturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan politik, ekonomi dan sosial-budaya masyarakat.

Hal ini diungkapkan Djumala dalam acara Bedah Buku “Pilpres 2024, Popular Vote di Indonesia dan Electoral College di Amerika Serikat”, di Sekolah Kajian Strategik dan Global, Universitas Indonesia (SKSG-UI), 21 Februari 2024,

Dalam keterangan tertulis yang diterima di Pangkalpinang, Kamis (29/2), Dr. Djumala mengatakan kaum akademisi bisa saja membuka wacana publik yang mengkaji keselarasan sistem pemilu, baik presiden dan legislatif, dengan Pancasila. 

Dalam acara bedah buku karya Prof. Dr. Marthen Napang dan Syaiful Rohman tersebut, Dr. Djumala yang bertindak sebagai keynote speaker, mewakili Kepala BPIP,  lebih jauh menjelaskan saat ini BPIP bekerjasama dengan berbagai universitas dan para ahli sedang mengidentifikasi aturan hukum dan perundang-undangan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

Dalam amatannya, ia mengungkapkan dewasa ini ada beberapa peraturan daerah (perda) yang tidak selaras dengan nilai Pancasila. Misalnya ada Pemda yang membuat perda yang bersifat diskriminatif berbasis SARA. Perda yang beraroma diskriminasi berbasis SARA ini jika tidak disikapi dengan bijak akan mengganggu harmoni sosial di masyarakat. 

Dalam paparannya Dr. Djumala, yang sebelumnya bertugas sebagai Kepala Sekretariat Presiden era Jokowi periode pertama, menggarisbawahi perlunya kajian akademik dan diskusi publik yang mengkaji keselarasan perda, regulasi, hukum dan perundang-undangan dengan Pancasila. Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) dengan melibatkan pengampu kepentingan (stakeholders) diharapkan dapat menghindari perda yang biased SARA, ekonomi, politik dan gender.

Ditunjukkan oleh Dr. Djumala contoh kebijakan publik yang biased gender: di hampir semua mall di Indonesia toilet wanita dan pria dibuat sama besar. Padahal wanita membutuhkan waktu yang lebih lama di toilet sehingga memaksa mereka harus antri lebih lama dari pria.

“Membiarkan wanita berlama-lama antri di toilet merupakan tindakan yang tidak selaras dengan Pancasila, tidak manusiawi, tidak sesuai dengan sila ke-2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Perlu dipikirkan, ada perda yang mengharuskan pengusaha mall untuk menyediakan toilet wanita lebih banyak dan lebih besar dari toilet pria”, tukas Dr. Djumala.

Dr. Djumala, yang juga pernah menjabat Duta Besar untuk Austria dan PBB di Wina, menyambut baik buku yang membandingkan sistem pemilihan presiden di AS  dengan sistem electoral college (sistem perwakilan) dan pilpres di Indonesia dengan sistem popular vote (pemilihan langsung dengan prinsip one man one vote).

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tentu elit politik sudah mempertimbangkan dengan matang sistem yang dipilih. Namun demikian, dirinya juga mendengar suara dan pandangan banyak pihak terhadap sistem pilpres saat ini yang menggunakan sistem popular vote. Hal yang menjadi pembicaraan adalah aspek “perwakilan” dalam sila ke-4 yang berintikan “permusyawaratan pewakilan”.

Dulu pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan oleh lembaga perwakilan, yaitu MPR yang terdiri dari 5 fraksi: 3 parpol, ABRI dan Utusan Daerah. Di era Reformasi setelah amandemen UUD 45 presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh lembaga perwakilan, tetapi langsung oleh rakyat. Dalam konteks inilah, dimensi ”permusyawaratan perwakilan” dalam sila ke-4 Pancasila tidak tercermin dalam pilpres.

”Jika ada aspirasi yang berkembang di masyarakat terkait sistem pilpres, bisa saja akademisi membuka wacana publik untuk mengevaluasi sistem itu agar benar-benar selaras dengan  sila ke-4 Pancasila”, tutup Dr. Djumala.
 

Pewarta: ANTARA Babel

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024