Setiap tanggal 21 April Bangsa Indonesia memperingati kelahiran Raden Ajeng (RA) Kartini.
Kisah kehidupan dan kiprah perempuan asal Jepara itu ternyata multidimensi. Pantas Kartini dikagumi banyak pihak, dari berbagai kalangan.

Ia tak hanya memperjuangkan hak kaum wanita, seperti yang telah lama dikenal, tetapi juga perintis persatuan dan kesatuan bangsa. Kartini, bahkan disebut sebagai santriwati Kiai Soleh Darat, yang populer di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).

Perjuangan Kartini, bahkan menjadi kajian di universitas-universitas Islam yang tersebar hampir di seluruh Indonesia.

Kini Kartini juga dianggap sebagai salah satu representasi tokoh Islam yang memperjuangkan pendidikan, seperti banyak dikaji di skripsi-skripsi Universitas Islam Negeri.

Namun, banyak yang tak menyadari bahwa Kartini juga pejuang kuliner lokal dan pangan lokal.

Kartini sebagai putri bupati, tentu berjumpa dengan beragam produk kuliner dan bahan pangan papan atas di zamannya.

Di sela-sela kehidupannya yang pendek, Kartini masih sempat merekam resep masakan yang dihidangkan untuk keluarga bangsawan di lingkungan Kadipaten Jepara.

Tentu, resep masakan yang dihidangkan untuk keluarga priyayi berasal dari tangan dingin perempuan bangsawan dan dayang terbaik di zamannya. Kartini menulis resep makanan tersebut dalam aksara Jawa dengan rinci.

Kelak, oleh keturunan Kartini ternyata diketahui bukan hanya Kartini yang menulis resep masakan tersebut. Saudari Kartini yang lain juga menulis.

Rekaman tulisan mereka kemudian ditransliterasi dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia modern oleh sang cicit, Suryatini N. Ganis.

Buku itu diterbitkan dengan judul "Kisah & Kumpulan Resep PUTRI JEPARA Rahasia Kuliner R.A Kartini, R.A Kardinah dan R.A Roekmini", 19 tahun silam.

Suryatini menyebut menu ayam besengek, nasi liwet ayam, selat usar, dan sup pangsit Jepara sebagai menu favorit sang pahlawan nasional itu.

Kartini juga tidak hanya menulis masakan lokal yang dihidangkan keluarga bangsawan, tetapi juga resep masakan keluarga-keluarga kolonial Belanda yang sempat berjumpa dengannya.

Selat usar memadukan nuansa lokal dengan Belanda. Sementara sup pangsit memadukan bumbu lokal dengan China.

Karena itu, menu yang ditulis Kartini sudah teruji rasanya. Sang cicit memodifikasi alat ukur tradisional di zaman abad 20, seperti kati, elo, dan cangkir, dengan alat ukur modern.

Dengan demikian menu tersebut dapat dipraktikkan perempuan masa kini dengan kondisi dapur dan bahan-bahan makanan saat ini.

Di buku tersebut terdapat 200 resep dengan koleksi hidangan Jawa masa lalu yang juga banyak dipengaruhi kuliner Belanda, China, Arab.

Belakangan resep ala putri Jepara itu dimodifikasi dalam bentuk video youtube oleh praktisi-praktisi kuliner di Tanah Air.

Dengan kiprahnya itu dapat dikatakan Kartini adalah penulis resep masakan pertama di Indonesia dari masa lalu yang berhasil diterbitkan.


Kuliner lokal

Upaya yang dilakukan Kartini beserta keluarganya, sepintas terlihat sederhana, tetapi tidak semua orang mampu melakukannya.

Di masa modern dengan akses mesin pencari di internet atau kecanggihan AI yang serba cepat saja tidak semua orang dapat merekam resep masakan di keluarga masing-masing.

Jasanya itu tidak dapat dipandang remeh, karena penting di tengah upaya pemerintah membangkitkan kembali diversifikasi pangan menuju kedaulatan pangan bangsa.

Menurut Fransisca Callista, inisiator Pasar Papringan di Temanggung, kuliner lokal dan bahan pangan lokal di desa-desa yang dimiliki nenek moyang Bangsa Indonesia nasibnya seperti bahasa lokal yang bisa punah karena ditinggalkan penggunanya.

Upaya menjaga kuliner lokal dan bahan pangan lokal menjadi perjuangan berat di tengah gempuran kuliner modern yang serba instan.

Fransisca, alumnus Chiba University, Jepang, pernah merasakan susah payah membangkitkan kuliner dan pangan lokal di Temanggung.

Banyak gadis-gadis muda, bahkan ibu-ibu muda, yang tidak lagi mengenal kuliner lokal. Dia harus mengumpulkan ibu-ibu yang lebih sepuh untuk membuat kuliner tradisional di masa lalu.

Persoalannya adalah rasa dari kuliner lokal yang dibuat ibu-ibu sepuh sangat beragam dari yang belum enak, biasa-biasa saja, hingga lezat.

Sebagai orang luar Jawa Tengah, dia tidak dapat menentukan produk makanan yang terbaik, sehingga harus mengundang nenek dan kakek di desa setempat.

Nenek dan kakek itu diminta mencicipi jenis kuliner lokal dan mengajak mereka mengingat rasa yang paling mendekati dengan rasa yang pernah dicicipi saat masih muda.

Tentu di masa muda makanan tersebut dibuat oleh orang tua dari nenek dan kakek yang mencicipi saat ini. Kuliner yang dianggap rasa dan penampilan terbaik, lalu dijajakan di Pasar Papringan pada hari-hari yang ditentukan.

Pada konteks itu, upaya Kartini merekam resep-resep makanan di masanya menjadi penting. Generasi muda Indonesia dapat mengetahui dan membuat resep tersebut menjadi hidangan di atas meja di rumah masing-masing.

Bahkan, sudah banyak kuliner yang ditulis Kartini menjadi menu andalan restoran dan rumah makan di Jepara.

Berkat jasa Kartini para pedagang itu hidup melestarikan kuliner lokal dan mewujudkan keragaman pangan Indonesia.

Dengan demikian Kartini bukan sekadar pahlawan emansipasi wanita. Dia juga pahlawan pendidikan, pahlawan santriwati, serta pahlawan pangan Indonesia.

Selain memperingati kelahiran Kartini, alangkah baiknya upaya Kartini merawat dan mengembangkan kuliner dan pangan lokal yang terbuka pada menu mancanegara menjadi teladan bagi generasi masa kini.

Selamat Hari Kartini para perempuan Indonesia.

*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc  adalah peneliti di Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, BRIN
 

Pewarta: Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc*)

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024