Indonesia Emas 2045 adalah visi Indonesia menjadi negara tangguh, mandiri, dan inklusif di 2045. Diharapkan pembangunan 20 tahun ke depan Indonesia mampu bertransformasi menuju peradaban masyarakat yang modern dan sejahtera.
Visi Indonesia Emas 2045 terdiri dari empat pilar utama, yaitu pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional.
Dalam RPJPN 2025-2045 target kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang serta daya saing kualitas sumber daya manusia meningkat sebagai dua dari lima sasaran utamanya. Untuk mewujudkan semua itu, Indonesia membutuhkan generasi muda yang berkualitas, tidak hanya memiliki kepintaran dalam pengetahuan tapi juga budi pekerti.
Tentu saja, tantangan di masa depan untuk membangun generasi muda tidak akan sama dengan tantangan saat ini. Banyak faktor yang akan menjadi tantangan di masa depan diantaranya teknologi informasi yang semakin maju, lingkungan yang berubah karena masifnya pembangunan, tingkat kerawanan sosial masyarakat yang semakin tinggi dan lain sebagainya.
Menurut Bank Dunia tahun 2020, skor Human Capital Index (HCI) Indonesia 0,54 poin, peringkat 69 dari 175 negara. Jangankan untuk bersaing di kawasan asia, untuk Asia Tenggara pun skornya jauh dibawah Singapura yang mendapat poin sebesar 0,88, dan Indonesia hanya berada diurutan keenam.
Oleh karena itu, untuk mencapai target skor HCI 0,73 di tahun 2045, maka kualitas sdm perlu ditingkatkan secara merata. Kondisi yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi.
Tentu saja peningkatan HCI tersebut dapat dicapai melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan, sikap dan etos kerja, penguasaan teknologi inovasi dan kreativitas serta kesehatan yang baik.
Namun, bagaimana kita dapat meningkatkan kualitas sdm disaat kualitas pendidikan di daerah belum merata khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Entah itu dikarenakan banyak fasilitas pendidikan yang tidak layak, jumlah guru yang masih kurang bial dibandingkan dengan kebutuhan, gaji guru honor yang jauh dari UMR, belum lagi korupsi anggarannya.
Bagaimana generasi muda kita mampu menguasai teknologi inovasi ketika uang kuliah tunggal (UKT) semakin mahal. Jangankan yang ekonomi lemah, orang tua yang ekonomi menengah pun dibuat pusing karenanya.
Anak-anak berprestasi namun ketidakmampuan ekonomi harus sadar diri untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, berharap beasiswa jika pun ada.
Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada pendidikan tinggi bagi masyarakat ekonomi lemah, jika melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu mahal dan suatu kemewahan, maka hanya mereka yang mampu saja yang akan mendapatkannya.
Padahal pendidikan yang berkeadilan adalah hak seluruh warga negara. Melalui pendidikan tinggi diharapkan tidak hanya mampu memperbaiki kualitas SDM Indonesia tetapi juga mampu meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat.
Dikutip dari Databoks angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia ini masih tertinggal dibanding sejumlah negara di asia tenggara.
Dilihat dari data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, bila dibandingkan dengan Singapura mencapai 91 persen, Thailand 49 persen, dan Malaysia 43 persen. Padahal APK suatu negara sangat penting guna bersaing di tengah globalisasi.
Selain kualitas SDM, kualitas pelayanan kesehatan pun masih perlu menjadi perhatian. Keiinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan merata masih sekedar harapan.
Ungkapan “Orang miskin dilarang sakit”, menjadi jamak terdengar di masyarakat, disaat layanan kesehatan terbaik hanya dapat diakses oleh kalangan mampu saja.
Padahal pemerintah bertanggung jawab dalam memperhatikan konsep pelayanan yang berkualitas diantaranya kesiapan infrastruktur, kualitas personel, proses pelayanan yang klinis, proses administrasi, keamanan, kepercayaan terhadap pelayanan kesahatan dan juga aksesnya.
Membentuk generasi yang berkualitas dimulai dari sejak lahir, maka sedari awal peran pelayanan kesehatan yang baik sangat dibutuhkan.
Generasi Z dan Masa Depan Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009, Pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan. Kualitas pemuda terutama dilihat dari capaian pendidikan dan kesehatannya.
Adapun yang dimaksud dengan generasi Z menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka adalah generasi yang lahir setelah Generasi Milenial (Generasi Y) dan sebelum Generasi Alpha.
Berdasarkan sensus penduduk 2020 generasi ini 27,94% dari populasi. Saat sekarang, generasi ini masih berada dalam usia muda hingga remaja awal. Menurut para ahli, generasi Z sering juga disebut sebagai Gen Z atau iGen, merupakan kelompok yang sangat dipengaruhi oleh teknologi, keberagaman, dan perubahan sosial serta ekonomi yang cepat.
Mereka menunjukkan sikap pragmatis, adaptif, dan proaktif dalam menghadapi tantangan dan peluang di dunia modern.
Generasi ini akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia untuk menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Pada saat itu mereka akan berada di usia produktif, generasi emas Indonesia dan bagian penting dari bonus demografi yang sedang kita nikmati saat ini. Jumlah tenaga kerja yang produktif dan diharapkan banyak pihak mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi bangsa.
Namun, perlu dicatat bonus demografi pun akan menjadi masalah ketika sumber daya yang berlebih tersebut tidak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah dan diserap oleh sektor usaha.
Namun, gambaran suram terkait masa depan generasi ini telah membayangi kita saat ini. Bayangkan menurut laporan BPS Periode Agustus 2023 di Indonesia ada sebanyak 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) menganggur tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET).
Mereka adalah generasi Z dimana usia 20-24 tahun paling banyak tergolong NEET dengan 6,46 juta orang, sementara usia 15-19 tahun berjumlah 3,44 juta orang.
Fenomena tingginya tingkat pengangguran ini menunjukkan bahwa keunggulan generasi Z hanya sebuah citra yang mengalami kesulitan ketika harus bersaing di dunia kerja.
Narasi baik yang tercipta dibanyak media hanya bagi mereka yang memiliki previlege dengani akses khusus dan fasilitas, tapi tidak bagi mereka kelas menengah bawah yang jumlah lebih besar.
Bila dikaji lebih dalam maka banyak faktor yang menjadi penyebab masuknya generasi pemuda ke kelompok ini antara lain; keterbatasan finasial menyebabkan kesulitan akses transportasi dan pendidikan, disabilitas, ketidaksesuaian pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, kesempatan yang terbatas karena tidak transparannya lowongan pekerjaan akibat nepotisme atau orang dalam (ordal), dan kewajiban rumah tangga.
Keberadaan generasi Z dan di atasnya harus benar-benar menjadi fokus perhatian pemerintah, terkhusus pembangunan kualitas SDM dan kesehatannya bila pemerintah ingin meningkatkan skor HCI sesuai target di 2045.
Persaingan akan semakin berat, tantangan akan berbeda tiap generasi. Keberadaan generasi Z tidak hanya diperhatikan demi kepentingan politik pragmatis semata. Mereka hanya diperhitungan dan dianggap penting demi mendulang suara saat pemilu atau pun pilkada semata.
Seperti telah banyak diingatkan para ahli, bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak, bila pemerintah tidak mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan maksimal.
Penulis: M.Denny Elyasa,S.E.,M.M
Analis Kebijakan Pemerintah Prov.Kep.Bangka Belitung
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Visi Indonesia Emas 2045 terdiri dari empat pilar utama, yaitu pembangunan manusia dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional.
Dalam RPJPN 2025-2045 target kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang serta daya saing kualitas sumber daya manusia meningkat sebagai dua dari lima sasaran utamanya. Untuk mewujudkan semua itu, Indonesia membutuhkan generasi muda yang berkualitas, tidak hanya memiliki kepintaran dalam pengetahuan tapi juga budi pekerti.
Tentu saja, tantangan di masa depan untuk membangun generasi muda tidak akan sama dengan tantangan saat ini. Banyak faktor yang akan menjadi tantangan di masa depan diantaranya teknologi informasi yang semakin maju, lingkungan yang berubah karena masifnya pembangunan, tingkat kerawanan sosial masyarakat yang semakin tinggi dan lain sebagainya.
Menurut Bank Dunia tahun 2020, skor Human Capital Index (HCI) Indonesia 0,54 poin, peringkat 69 dari 175 negara. Jangankan untuk bersaing di kawasan asia, untuk Asia Tenggara pun skornya jauh dibawah Singapura yang mendapat poin sebesar 0,88, dan Indonesia hanya berada diurutan keenam.
Oleh karena itu, untuk mencapai target skor HCI 0,73 di tahun 2045, maka kualitas sdm perlu ditingkatkan secara merata. Kondisi yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi.
Tentu saja peningkatan HCI tersebut dapat dicapai melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan, sikap dan etos kerja, penguasaan teknologi inovasi dan kreativitas serta kesehatan yang baik.
Namun, bagaimana kita dapat meningkatkan kualitas sdm disaat kualitas pendidikan di daerah belum merata khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
Entah itu dikarenakan banyak fasilitas pendidikan yang tidak layak, jumlah guru yang masih kurang bial dibandingkan dengan kebutuhan, gaji guru honor yang jauh dari UMR, belum lagi korupsi anggarannya.
Bagaimana generasi muda kita mampu menguasai teknologi inovasi ketika uang kuliah tunggal (UKT) semakin mahal. Jangankan yang ekonomi lemah, orang tua yang ekonomi menengah pun dibuat pusing karenanya.
Anak-anak berprestasi namun ketidakmampuan ekonomi harus sadar diri untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi, berharap beasiswa jika pun ada.
Kondisi ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah pada pendidikan tinggi bagi masyarakat ekonomi lemah, jika melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu mahal dan suatu kemewahan, maka hanya mereka yang mampu saja yang akan mendapatkannya.
Padahal pendidikan yang berkeadilan adalah hak seluruh warga negara. Melalui pendidikan tinggi diharapkan tidak hanya mampu memperbaiki kualitas SDM Indonesia tetapi juga mampu meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat.
Dikutip dari Databoks angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia ini masih tertinggal dibanding sejumlah negara di asia tenggara.
Dilihat dari data Bank Dunia tahun 2020, APK pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, bila dibandingkan dengan Singapura mencapai 91 persen, Thailand 49 persen, dan Malaysia 43 persen. Padahal APK suatu negara sangat penting guna bersaing di tengah globalisasi.
Selain kualitas SDM, kualitas pelayanan kesehatan pun masih perlu menjadi perhatian. Keiinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan merata masih sekedar harapan.
Ungkapan “Orang miskin dilarang sakit”, menjadi jamak terdengar di masyarakat, disaat layanan kesehatan terbaik hanya dapat diakses oleh kalangan mampu saja.
Padahal pemerintah bertanggung jawab dalam memperhatikan konsep pelayanan yang berkualitas diantaranya kesiapan infrastruktur, kualitas personel, proses pelayanan yang klinis, proses administrasi, keamanan, kepercayaan terhadap pelayanan kesahatan dan juga aksesnya.
Membentuk generasi yang berkualitas dimulai dari sejak lahir, maka sedari awal peran pelayanan kesehatan yang baik sangat dibutuhkan.
Generasi Z dan Masa Depan Indonesia
Menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009, Pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan. Kualitas pemuda terutama dilihat dari capaian pendidikan dan kesehatannya.
Adapun yang dimaksud dengan generasi Z menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka adalah generasi yang lahir setelah Generasi Milenial (Generasi Y) dan sebelum Generasi Alpha.
Berdasarkan sensus penduduk 2020 generasi ini 27,94% dari populasi. Saat sekarang, generasi ini masih berada dalam usia muda hingga remaja awal. Menurut para ahli, generasi Z sering juga disebut sebagai Gen Z atau iGen, merupakan kelompok yang sangat dipengaruhi oleh teknologi, keberagaman, dan perubahan sosial serta ekonomi yang cepat.
Mereka menunjukkan sikap pragmatis, adaptif, dan proaktif dalam menghadapi tantangan dan peluang di dunia modern.
Generasi ini akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia untuk menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Pada saat itu mereka akan berada di usia produktif, generasi emas Indonesia dan bagian penting dari bonus demografi yang sedang kita nikmati saat ini. Jumlah tenaga kerja yang produktif dan diharapkan banyak pihak mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi bangsa.
Namun, perlu dicatat bonus demografi pun akan menjadi masalah ketika sumber daya yang berlebih tersebut tidak mampu dikelola dengan baik oleh pemerintah dan diserap oleh sektor usaha.
Namun, gambaran suram terkait masa depan generasi ini telah membayangi kita saat ini. Bayangkan menurut laporan BPS Periode Agustus 2023 di Indonesia ada sebanyak 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) menganggur tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET).
Mereka adalah generasi Z dimana usia 20-24 tahun paling banyak tergolong NEET dengan 6,46 juta orang, sementara usia 15-19 tahun berjumlah 3,44 juta orang.
Fenomena tingginya tingkat pengangguran ini menunjukkan bahwa keunggulan generasi Z hanya sebuah citra yang mengalami kesulitan ketika harus bersaing di dunia kerja.
Narasi baik yang tercipta dibanyak media hanya bagi mereka yang memiliki previlege dengani akses khusus dan fasilitas, tapi tidak bagi mereka kelas menengah bawah yang jumlah lebih besar.
Bila dikaji lebih dalam maka banyak faktor yang menjadi penyebab masuknya generasi pemuda ke kelompok ini antara lain; keterbatasan finasial menyebabkan kesulitan akses transportasi dan pendidikan, disabilitas, ketidaksesuaian pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, kesempatan yang terbatas karena tidak transparannya lowongan pekerjaan akibat nepotisme atau orang dalam (ordal), dan kewajiban rumah tangga.
Keberadaan generasi Z dan di atasnya harus benar-benar menjadi fokus perhatian pemerintah, terkhusus pembangunan kualitas SDM dan kesehatannya bila pemerintah ingin meningkatkan skor HCI sesuai target di 2045.
Persaingan akan semakin berat, tantangan akan berbeda tiap generasi. Keberadaan generasi Z tidak hanya diperhatikan demi kepentingan politik pragmatis semata. Mereka hanya diperhitungan dan dianggap penting demi mendulang suara saat pemilu atau pun pilkada semata.
Seperti telah banyak diingatkan para ahli, bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak, bila pemerintah tidak mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan maksimal.
Penulis: M.Denny Elyasa,S.E.,M.M
Analis Kebijakan Pemerintah Prov.Kep.Bangka Belitung
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024