Mahasiswa KKN IAIN Syaikh Abdurahman Siddiq Bangka Belitung Kelompok 11 Desa Renggiang, Kecamatan Simpang Renggiang, Kabupaten Belitung Timur pada Jumat, 28 Juni 2024 di perlihatkan bagaimana prosesi Perceraian Mati di rumah saudara Kades Renggiang, sesudah yasinan mengenang 100 hari kematian saudaranya.
Tepat pada pukul 19.57 WIB, prosesi Perceraian Mati di laksanakan dengan menghadirkan salah seorang suami/istri yang di tinggal dan pihak keluarga yang di tinggalkan serta "Lebai" (Istilah Penghulu yang di percayai untuk mewakili berbagai prosesi pernikahan, perceraian baik sebelum meninggal atau pasca meninggal, dan memproses kematian) yang melakukan proses Perceraian Mati beserta dengan saksi yang menyaksikan langsung prosesi Perceraian Mati itu berlangsung.
Perceraian Mati dilakukan pasca 100 hari kepulangan (meninggal) salah seorang suami/istri dan belum menikah lagi yang di percayai bahwa hal ini sudah sah secara keagamaan dan telah di anjurkan.
Kepala Desa Renggiang, Siskori Aries Nugraha menjelaskan, perceraian mati dilakukan salah satunya untuk terus menjaga hubungan erat antara kedua belah pihak keluarga agar tetap merawat hubungan kekeluargaan.
"Cerai mati ini lah ade jauh sebelum provinsi Bangka Belitung ini ade pas taon 2000, atau bise di bilang sejak awal kakek moyang menginjakkan kaki die di tanah Belitung ini lah," ujarnya.
Proses perceraian mati ini bermula dengan menghadirkan kedua belah Pihak keluarga dan suami/istri yang di tinggalkan secara berhadapan, di dampingi oleh "Lebai" dan di saksikan oleh beberapa masyarakat setempat sebagai saksi sah bawa Perceraian Mati tersebut telah dilaksanakan.
Kemudian "Lebai" memimpin proses pelaksanaan Perceraian Mati hingga doa-doa di panjatkan lalu di akhiri dengan jabatan tangan antar perwakilan keluarga yang di tinggalkan dan suami/istri yang di tinggalkan.
Berbanding terbalik dengan aturan hukum yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 38 UU No. 1 tahun 1974. Dalam artian, Perceraian Mati ini tidak memerlukan berkas administrasi seperti pada lembaga pengadilan karena Perceraian Mati secara kelembagaan dan Perceraian Mati secara adat adalah dua hal yang berbeda, namun tetap harus di lakukan keduanya oleh masyarakat desa Renggiang.
Hal ini menjadi salah satu bagian dari beragam budaya, adat turun temurun di negeri ini, khususnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, suatu hal baik yang tetap harus kita rawat dan kita jaga bersama serta kita lestarikan kepada anak cucu di kemudian hari nanti.
Karena, kalau bukan dengan merawat budaya ini, adat istiadat ini, dengan cara apa lagi kita bisa merawat dan menjaga republik yang kian menua ini.
Semoga generasi muda, khususnya gen-z hari ini tidak melupakan dan meninggalkan adat budaya negeri ini di tengah guncangan degradasi yang kian merambat di kalangan Remaja.
*) Muhammad Yusuf adalah mahasiswa KKN IAIN SAS Babel
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Tepat pada pukul 19.57 WIB, prosesi Perceraian Mati di laksanakan dengan menghadirkan salah seorang suami/istri yang di tinggal dan pihak keluarga yang di tinggalkan serta "Lebai" (Istilah Penghulu yang di percayai untuk mewakili berbagai prosesi pernikahan, perceraian baik sebelum meninggal atau pasca meninggal, dan memproses kematian) yang melakukan proses Perceraian Mati beserta dengan saksi yang menyaksikan langsung prosesi Perceraian Mati itu berlangsung.
Perceraian Mati dilakukan pasca 100 hari kepulangan (meninggal) salah seorang suami/istri dan belum menikah lagi yang di percayai bahwa hal ini sudah sah secara keagamaan dan telah di anjurkan.
Kepala Desa Renggiang, Siskori Aries Nugraha menjelaskan, perceraian mati dilakukan salah satunya untuk terus menjaga hubungan erat antara kedua belah pihak keluarga agar tetap merawat hubungan kekeluargaan.
"Cerai mati ini lah ade jauh sebelum provinsi Bangka Belitung ini ade pas taon 2000, atau bise di bilang sejak awal kakek moyang menginjakkan kaki die di tanah Belitung ini lah," ujarnya.
Proses perceraian mati ini bermula dengan menghadirkan kedua belah Pihak keluarga dan suami/istri yang di tinggalkan secara berhadapan, di dampingi oleh "Lebai" dan di saksikan oleh beberapa masyarakat setempat sebagai saksi sah bawa Perceraian Mati tersebut telah dilaksanakan.
Kemudian "Lebai" memimpin proses pelaksanaan Perceraian Mati hingga doa-doa di panjatkan lalu di akhiri dengan jabatan tangan antar perwakilan keluarga yang di tinggalkan dan suami/istri yang di tinggalkan.
Berbanding terbalik dengan aturan hukum yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 38 UU No. 1 tahun 1974. Dalam artian, Perceraian Mati ini tidak memerlukan berkas administrasi seperti pada lembaga pengadilan karena Perceraian Mati secara kelembagaan dan Perceraian Mati secara adat adalah dua hal yang berbeda, namun tetap harus di lakukan keduanya oleh masyarakat desa Renggiang.
Hal ini menjadi salah satu bagian dari beragam budaya, adat turun temurun di negeri ini, khususnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, suatu hal baik yang tetap harus kita rawat dan kita jaga bersama serta kita lestarikan kepada anak cucu di kemudian hari nanti.
Karena, kalau bukan dengan merawat budaya ini, adat istiadat ini, dengan cara apa lagi kita bisa merawat dan menjaga republik yang kian menua ini.
Semoga generasi muda, khususnya gen-z hari ini tidak melupakan dan meninggalkan adat budaya negeri ini di tengah guncangan degradasi yang kian merambat di kalangan Remaja.
*) Muhammad Yusuf adalah mahasiswa KKN IAIN SAS Babel
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024