Di sudut kecil sebuah tenda pengungsi dengan dikelilingi oleh jemuran pakaian yang bergelantungan dan kantung-kantung berisi barang kebutuhan sehari-hari, seniman Palestina Basel al-Maqousi duduk di atas kasur tipisnya sambil menggambar di sebuah buku sketsa besar.
Dari satu halaman ke halaman berikutnya, tangannya dengan gesit melukis potret keluarga pengungsi yang berkumpul di bawah tenda penampungan mereka.
Goresannya tegas, meninggalkan kekontrasan hitam-putih nan tajam antara hamparan tenda suram di Kota Deir al-Balah di Gaza yang tercabik perang, dan wajah-wajah Palestina segar di depan "rimba" tenda itu.
Para protagonis tampak menunjukkan ekspresi yang tenang, bahkan tegas, sehingga orang luar tidak perlu mengulik makna di balik ekspresi mereka, seolah-olah mereka menolak untuk menyerahkan momen bersama yang khidmat tersebut pada serangan lain dari Israel, yang dapat menyobek tirai tipis kedamaian itu kapan saja.
Karya seni yang memikat ini tak hanya menangkap rasa "penangguhan hukuman mati" yang ditimbulkan oleh pertumpahan darah berlarut-larut yang dilakukan Israel terhadap jutaan warga Gaza, tetapi juga memberikan kenangan traumatis bagi al-Maqousi (45), yang juga seorang ayah dari lima anak.
Seniman itu mengatakan kepada Xinhua bahwa dia masih tak percaya Gaza City yang cantik di Gaza tengah itu telah hancur. Sama seperti warga Palestina lainnya di wilayah itu, al-Maqousi pun kehilangan rumah dan kehidupan normalnya.
"Selama sepuluh bulan berturut-turut, kami (warga Palestina) dipaksa berlomba dengan maut setiap saat karena serangan Israel yang terus berlanjut ... kami berkali-kali mengungsi hanya untuk mencari tempat yang aman. Namun, kami tidak menemukan apa-apa," tuturnya.
"Setiap kali kami dipaksa mengungsi," ujar seniman itu, "Saya kehilangan sebagian emosi manusiawi dan keyakinan saya bahwa suatu hari nanti kehidupan akan kembali seperti sediakala. Kepribadian saya berubah karena tekanan mental yang kami alami."
Sebelum perang, al-Maqousi gemar melukis keindahan alam di Gaza. Namun, perang membuatnya makin waspada dan gelisah, hingga terkadang dia tidak dapat mengendalikan reaksinya. Hal ini membuat orang-orang di sekelilingnya kesal.
Untuk mengendalikan diri dan meredakan tekanan batin, al-Maqousi beralih ke seni lukis. Kemarahan, ketakutan, keputusasaan, dan realitas mengerikan di Gaza kemudian dia tuangkan ke dalam karya seni.
Hari demi hari, al-Maqousi mulai melihat bahwa momen-momen indah masih dapat tercipta di tengah masa-masa sulit. Dia pun mencoba mengungkapkan kesan kehidupan normal dan harapan saat menggambar anak-anak yang sedang bermain di pantai dan anak-anak lain berkumpul untuk makan siang di atas pasir.
"Senyuman anak-anak telah mendorong saya untuk kembali berharap ... Setelah menggambar puluhan lukisan seperti ini, saya merasa mendapatkan kembali energi positif saya," kata al-Maqousi.
Dalam upaya untuk membantu sesama yang mengalami trauma akibat perang, al-Maqousi kemudian membuka lokakarya menggambar dari nol untuk anak-anak pengungsi. Dia pun berhasil mengatasi parahnya kelangkaan papan gambar, cat, dan bahkan tempat yang layak.
"Saya terkejut saat melihat anak-anak menggambar dengan indah. Ada yang menggambar rumah-rumah indah bersama keluarga mereka, ada yang menggambar panji-panji Palestina, dan kelompok ketiga lebih memilih untuk menggambar bendera nasional Palestina," ujar al-Maqousi sembari tersenyum.
"Saya merasa bahwa kami (warga Palestina) memiliki energi penuh untuk melanjutkan hidup kami meski saat ini kami kehilangan segalanya, dan kami akan membangun kembali kehidupan kami setelah perang ini berakhir," lanjutnya.
Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas agresi Hamas di perbatasan Israel bagian selatan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 lainnya.
Hingga Senin (15/7), jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlangsung di Gaza meningkat menjadi 38.664 orang, menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Dari satu halaman ke halaman berikutnya, tangannya dengan gesit melukis potret keluarga pengungsi yang berkumpul di bawah tenda penampungan mereka.
Goresannya tegas, meninggalkan kekontrasan hitam-putih nan tajam antara hamparan tenda suram di Kota Deir al-Balah di Gaza yang tercabik perang, dan wajah-wajah Palestina segar di depan "rimba" tenda itu.
Para protagonis tampak menunjukkan ekspresi yang tenang, bahkan tegas, sehingga orang luar tidak perlu mengulik makna di balik ekspresi mereka, seolah-olah mereka menolak untuk menyerahkan momen bersama yang khidmat tersebut pada serangan lain dari Israel, yang dapat menyobek tirai tipis kedamaian itu kapan saja.
Karya seni yang memikat ini tak hanya menangkap rasa "penangguhan hukuman mati" yang ditimbulkan oleh pertumpahan darah berlarut-larut yang dilakukan Israel terhadap jutaan warga Gaza, tetapi juga memberikan kenangan traumatis bagi al-Maqousi (45), yang juga seorang ayah dari lima anak.
Seniman itu mengatakan kepada Xinhua bahwa dia masih tak percaya Gaza City yang cantik di Gaza tengah itu telah hancur. Sama seperti warga Palestina lainnya di wilayah itu, al-Maqousi pun kehilangan rumah dan kehidupan normalnya.
"Selama sepuluh bulan berturut-turut, kami (warga Palestina) dipaksa berlomba dengan maut setiap saat karena serangan Israel yang terus berlanjut ... kami berkali-kali mengungsi hanya untuk mencari tempat yang aman. Namun, kami tidak menemukan apa-apa," tuturnya.
"Setiap kali kami dipaksa mengungsi," ujar seniman itu, "Saya kehilangan sebagian emosi manusiawi dan keyakinan saya bahwa suatu hari nanti kehidupan akan kembali seperti sediakala. Kepribadian saya berubah karena tekanan mental yang kami alami."
Sebelum perang, al-Maqousi gemar melukis keindahan alam di Gaza. Namun, perang membuatnya makin waspada dan gelisah, hingga terkadang dia tidak dapat mengendalikan reaksinya. Hal ini membuat orang-orang di sekelilingnya kesal.
Untuk mengendalikan diri dan meredakan tekanan batin, al-Maqousi beralih ke seni lukis. Kemarahan, ketakutan, keputusasaan, dan realitas mengerikan di Gaza kemudian dia tuangkan ke dalam karya seni.
Hari demi hari, al-Maqousi mulai melihat bahwa momen-momen indah masih dapat tercipta di tengah masa-masa sulit. Dia pun mencoba mengungkapkan kesan kehidupan normal dan harapan saat menggambar anak-anak yang sedang bermain di pantai dan anak-anak lain berkumpul untuk makan siang di atas pasir.
"Senyuman anak-anak telah mendorong saya untuk kembali berharap ... Setelah menggambar puluhan lukisan seperti ini, saya merasa mendapatkan kembali energi positif saya," kata al-Maqousi.
Dalam upaya untuk membantu sesama yang mengalami trauma akibat perang, al-Maqousi kemudian membuka lokakarya menggambar dari nol untuk anak-anak pengungsi. Dia pun berhasil mengatasi parahnya kelangkaan papan gambar, cat, dan bahkan tempat yang layak.
"Saya terkejut saat melihat anak-anak menggambar dengan indah. Ada yang menggambar rumah-rumah indah bersama keluarga mereka, ada yang menggambar panji-panji Palestina, dan kelompok ketiga lebih memilih untuk menggambar bendera nasional Palestina," ujar al-Maqousi sembari tersenyum.
"Saya merasa bahwa kami (warga Palestina) memiliki energi penuh untuk melanjutkan hidup kami meski saat ini kami kehilangan segalanya, dan kami akan membangun kembali kehidupan kami setelah perang ini berakhir," lanjutnya.
Israel melancarkan serangan besar-besaran terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas agresi Hamas di perbatasan Israel bagian selatan pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera lebih dari 200 lainnya.
Hingga Senin (15/7), jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlangsung di Gaza meningkat menjadi 38.664 orang, menurut otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024