Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang batas waktu pengajuan kompensasi dan bantuan bagi korban terorisme masa lalu dari tiga tahun menjadi sepuluh tahun.
“Kami sangat mengapresiasi keputusan ini karena akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi korban untuk mendapatkan hak-hak mereka," ujar Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.
Dia juga mengapresiasi para korban dan kuasa hukumnya atas upaya gigih mereka memperjuangkan hak konstitusional melalui proses uji materi di MK. LPSK berharap, putusan MK dapat menghadirkan keadilan yang lebih baik bagi para korban.
Susilaningtias mengatakan, LPSK akan menyiapkan serangkaian langkah untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut agar korban terorisme masa lalu dapat mengakses haknya secara optimal.
"Langkah-langkah tersebut mencakup penyesuaian prosedur, penyediaan informasi yang jelas dan transparan, sosialisasi, serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait, utamanya dengan BNPT dalam hal penerbitan surat keterangan korban. Tujuannya adalah agar setiap korban terorisme masa lalu tidak lagi terkendala dalam mengajukan permohonan bantuan, kompensasi, atau rehabilitasi yang menjadi hak mereka sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan," ujarnya.
Lebih lanjut, LPSK bertekad untuk terus mengupayakan agar seluruh korban terorisme masa lalu mendapatkan bantuan maupun kompensasi yang menjadi hak mereka, sesuai dengan putusan MK itu.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (29/8).
Demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menyatakan frasa “tiga tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sepuluh tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku”.
Artinya, MK memperpanjang batas waktu bagi korban terorisme masa lalu untuk mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan pilihan sepuluh tahun sejak undang-undang tersebut mulai berlaku ialah waktu yang adil.
Hal itu karena pada faktanya UU Nomor 5 Tahun 2018 diundangkan pada tanggal 22 Juni 2018, sementara terdapat keterlambatan dalam menerbitkan peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya serta adanya dampak pandemi COVID-19.
“Oleh karena itu, tenggang waktu sepuluh tahun terhitung sejak UU 5/2018 mulai berlaku sampai dengan tanggal 22 Juni 2028 harus dimanfaatkan secara optimal oleh lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk memulihkan hak konstitusional korban antara lain dengan memberikan kemudahan pelayanan bagi korban,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan Mahkamah.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Peria Ronald Pidu, korban Tindak Pidana Terorisme Bom di Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, serta Mulyani Taufik Hidayat dan Febri Bagus Kuncoro yang merupakan korban bom Beji, Depok, Jawa Barat.
Menurut para pemohon, Pasal 43L ayat (4) menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual karena keberlakuan pasal tersebut membuat mereka tidak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, maupun rehabilitasi psikososial dan psikologis untuk diajukan ke LPSK sebab telah melewati batas waktu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
“Kami sangat mengapresiasi keputusan ini karena akan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi korban untuk mendapatkan hak-hak mereka," ujar Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Jumat.
Dia juga mengapresiasi para korban dan kuasa hukumnya atas upaya gigih mereka memperjuangkan hak konstitusional melalui proses uji materi di MK. LPSK berharap, putusan MK dapat menghadirkan keadilan yang lebih baik bagi para korban.
Susilaningtias mengatakan, LPSK akan menyiapkan serangkaian langkah untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut agar korban terorisme masa lalu dapat mengakses haknya secara optimal.
"Langkah-langkah tersebut mencakup penyesuaian prosedur, penyediaan informasi yang jelas dan transparan, sosialisasi, serta peningkatan koordinasi dengan instansi terkait, utamanya dengan BNPT dalam hal penerbitan surat keterangan korban. Tujuannya adalah agar setiap korban terorisme masa lalu tidak lagi terkendala dalam mengajukan permohonan bantuan, kompensasi, atau rehabilitasi yang menjadi hak mereka sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan," ujarnya.
Lebih lanjut, LPSK bertekad untuk terus mengupayakan agar seluruh korban terorisme masa lalu mendapatkan bantuan maupun kompensasi yang menjadi hak mereka, sesuai dengan putusan MK itu.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (29/8).
Demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menyatakan frasa “tiga tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sepuluh tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku”.
Artinya, MK memperpanjang batas waktu bagi korban terorisme masa lalu untuk mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan pilihan sepuluh tahun sejak undang-undang tersebut mulai berlaku ialah waktu yang adil.
Hal itu karena pada faktanya UU Nomor 5 Tahun 2018 diundangkan pada tanggal 22 Juni 2018, sementara terdapat keterlambatan dalam menerbitkan peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya serta adanya dampak pandemi COVID-19.
“Oleh karena itu, tenggang waktu sepuluh tahun terhitung sejak UU 5/2018 mulai berlaku sampai dengan tanggal 22 Juni 2028 harus dimanfaatkan secara optimal oleh lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk memulihkan hak konstitusional korban antara lain dengan memberikan kemudahan pelayanan bagi korban,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan Mahkamah.
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Peria Ronald Pidu, korban Tindak Pidana Terorisme Bom di Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, serta Mulyani Taufik Hidayat dan Febri Bagus Kuncoro yang merupakan korban bom Beji, Depok, Jawa Barat.
Menurut para pemohon, Pasal 43L ayat (4) menimbulkan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual karena keberlakuan pasal tersebut membuat mereka tidak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, maupun rehabilitasi psikososial dan psikologis untuk diajukan ke LPSK sebab telah melewati batas waktu.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024