Jakarta (ANTARA) - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima permohonan pelindungan untuk 86 anak korban ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta, Kelapa Gading, yang diajukan oleh Polda Metro Jaya pada 17 November 2025.
LPSK menegaskan pemulihan korban anak adalah prioritas utama. Bagi LPSK, penanganan korban ledakan itu bukan sekadar memberikan pelindungan dan pemulihan fisik, melainkan juga memulihkan rasa aman, kesehatan mental, dan keberlangsungan masa depan anak.
Yang paling utama adalah memastikan anak-anak tidak menanggung trauma ini sendirian. Negara wajib hadir memberikan pelindungan menyeluruh, ujar Wakil Ketua Susilaningtias dalam keterangan diterima di Jakarta, Kamis.
Permohonan pelindungan tersebut berkaitan dengan tindak pidana dengan sengaja menimbulkan ledakan dan/atau keadaan yang membahayakan nyawa orang lain, sebagaimana diatur Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
Susi menjelaskan, peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta masuk dalam kategori tindak pidana lain yang mengancam keselamatan jiwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang pelindungan Saksi dan Korban.
Artinya, kata dia, meskipun kasus ini tidak termasuk dalam kelompok tindak pidana khusus seperti terorisme, ancaman terhadap nyawa korban menjadi dasar hukum kuat bagi korban untuk mendapatkan pelindungan LPSK.
Selain itu, karena mayoritas korban adalah anak, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak turut diberlakukan.
Di dalam undang-undang tersebut, anak korban berhak atas pelindungan dan restitusi, yaitu ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku atas kerugian yang dialami anak. Oleh karena itu, LPSK menegaskan, seluruh korban anak dalam kasus ini berhak diproses permintaannya untuk restitusi sesuai kerugian yang timbul.
Adapun bentuk pelindungan yang diajukan oleh Polda Metro Jaya, yakni perhitungan restitusi dan melakukan pelindungan dalam bentuk pendampingan korban dalam menjalani proses hukum.
Terkait hal itu, Susi mengatakan pihaknya akan menghitung restitusi masing-masing korban yang dibebankan kepada pelaku, sesuai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Restitusi adalah hak anak sebagai korban. Nilainya akan dihitung berdasarkan kerugian nyata yang dialami, termasuk biaya medis, psikologis, serta penderitaan yang dialami oleh korban, katanya.
Dalam perkara pelaku anak, restitusi dapat dibayarkan oleh pihak ketiga sesuai ketentuan hukum. Fokus LPSK adalah memastikan hak itu diterima oleh setiap anak korban, imbuh dia.
Susi juga menekankan bahwa kesaksian anak akan menjadi fokus dalam proses pelindungan. LPSK memastikan akan mendengarkan langsung apa yang disampaikan anak-anak, bukan hanya melalui orang tua atau pendamping.
Dalam pemberian pelindungan dan restitusi, LPSK akan berbicara secara intens kepada anak korban terkait dengan kebutuhan mereka, pemenuhan hak mereka, termasuk informasi-informasi penting yang mereka punya untuk membantu mengungkap kasus ini.
Anak-anak ini sudah berada pada usia remaja dan punya pandangan serta kebutuhan yang harus dihormati. Karena itu, kami akan berbicara langsung dengan mereka, selain keterangan dari orang tua atau pendamping. Pemulihan yang adil bagi anak hanya bisa tercapai kalau suara mereka benar-benar didengar, ujarnya.
Sebelumnya, LPSK telah melakukan langkah proaktif pada 8 November 2025, satu hari setelah ledakan terjadi. LPSK mendatangi sekolah, mengidentifikasi kebutuhan korban, serta menyosialisasikan hak untuk pelindungan negara kepada anak-anak.
Selain itu, LPSK mendatangi korban yang dirawat di RS Islam Cempaka Putih dan RS Yarsi.
Terkait status anak yang diduga sebagai pelaku, Susi menegaskan bahwa hingga saat ini LPSK belum memiliki mandat untuk memberikan pelindungan kepada anak pelaku tindak pidana.
Ia mengatakan mandat pelindungan LPSK berdasarkan undang-undang hanya diberikan kepada saksi, korban, ahli, pelapor, dan saksi pelaku. Dengan demikian, selama anak tersebut diidentifikasi sebagai pelaku murni, LPSK belum memiliki kewenangan untuk masuk memberikan pelindungan.
