Jakarta (Antara Babel) - Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Setya Novanto pada awal Maret 2016 mengajukan permohonan uji materi atas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE.

UU itu mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.

Novanto bependapat bahwa ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam kasus Novanto, Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang diam-diam direkam oleh Maroef Sjamsoeddin.

Selain itu Novanto juga merasa dirugikan dengan frasa "pemufakatan jahat" yang terdapat dalam Pasal 88 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 15 UU UU Tipikor.

Frasa "pemufakatan jahat" dalam dua ketentuan tersebut dinilai oleh Novanto kabur dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi, karena dapat mengakibat penegakan hukum yang keliru.

Sejumlah ahli, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kemudian memberikan keterangan dalam persidangan uji materi yang diajukan oleh Novanto. Hingga pada Rabu (7/9) Mahkamah akhirnya memutuskan uji materi undang-undang tersebut.

Atas gugatan Novanto terkait dengan Pasal 15 UU Tipikor, Mahkamah memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan terkait pengujian materiil frasa "pemufakatan jahat" dalam ketentuan tersebut.

"Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta.

Mahkamah juga menyatakan bahwa frasa pemufakatan jahat dalam Pasal 15 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai dengan pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana.

Atas uji materi tersebut Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang diujikan oleh Novanto adalah rumusan yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara detil.

"Jika definisi pemufakatan jahat tidak diubah, akan berpotensi digunakan untuk menjerat siapapun yang berbincang untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu yang ditentukan undang-undang," ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar membacakan pendapat Mahkamah.

Mahkamah berpendapat bahwa kualitas yang disyaratkan dalam delik kualitatif adalah kualitas-kualitas yang secara hukum ditentukan dalam aturan pidana yang menyebabkan delik tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Kualitas-kualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu.

Patrialis juga menjelaskan pemaknaan dan penafsiran frasa pemufakatan jahat dalam ketentuan tersebut adalah untuk menguatkan dua hal.

Pertama adalah memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat tentang siapa saja yang menjadi subjek oleh norma hukum pidana.

Kedua adalah mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap masyarakat.

"Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka beralasan secara hukum  permohonan Pemohon untuk dikabulkan," ujar Patrialis.

        
Alat Bukti
    
Sementara terkait dengan ketentuan yang mengatur alat bukti, Mahkamah Konstitusi menjadikan rekaman penyadapan atas Setya Novanto oleh Maroef Sjamsoeddin menjadi ilegal dan tidak bisa dijadikan sebagai barang bukti di persidangan.

"Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul.

Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Manahan ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.

Mahkamah juga berpendapat bahwa penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus dilakukan secara sah, atau dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lainnya.

"Penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang," ujar Manahan.

Mahkamah juga berpendapat bahwa penyadapan adalah kegiatan yang dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945.

Begitu pula dalam konteks penegakan hukum, Mahkamah berpendapat bahwa kewenangan penyadapan juga seharusnya sangat dibatasi.

"Penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin UUD 1945 tidak dilanggar," ujar Manahan.

Berdasarkan hal itu maka Mahkamah menilai perlu memberi tafsir terhadap frasa "informasi elektronik dan atau dokumen elektronik" yang termuat dalam Pasal 5  ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.

Mahkamah perlu juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, uji materi terkait dengan UU ITE yang diajukan oleh Novanto dinyatakan oleh Mahkamah beralasan menurut hukum dan dikabulkan sebagian.

        
Berbeda Pendapat
    
Meskipun putusan Mahkamah mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Novanto, namun dua hakim memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Suhartoyo.

Palguna menilai seharusnya permohonan pemohon tidak dapat diterima karena kedudukan pemohon sebagai anggota DPR tidak memenuhi syarat.

Sementara Suhartoyo menilai permohonan pemohon seharusnya ditolak dengan alasan permohonan Novanto dipenuhi oleh UU ITE dan merupakan masalah implementasi norma, bukan mengenai konstitusionalitas norma.

"Seharusnya Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon dinyatakan ditolak, karena apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon sudah dipenuhi oleh UU ITE, khususnya Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang a quo," ujar Suhartoyo.

Sehingga Suhartoyo menilai tidak ada pertentangan norma antara Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor dengan UUD 1945.

Sementara terkait dengan frasa pemufakatan jahat, Suhartoyo berpendapat bahwa yang dilakukan oleh Penyelidik dengan memanggil Novanto mendasarkan pada ketentuan pada Pasal 15 UU Tipikor adalah merupakan persoalan implementasi norma, bukan inkonstitusionalnya Pasal 15 UU Tipikor.  
    
"Oleh karenanya  permohonan ini seharusnya dinyatakan ditolak," pungkas Suhartoyo.

Pewarta: Maria Rosari

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016