Jakarta (Antara Babel) - Sejumlah terpidana berbagai kasus terkait terorisme telah menjalani hukuman mati, hukuman seumur hidup, atau menjalani masa hukuman sesuai vonis hakim.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat dalam periode 1999-2016, Indonesia sudah 69 kali menerima serangan teror.

Target sasaran terorisme lebih banyak ke objek vital, tempat-tempat umum, layaknya terjadi di negeri Barat, ujar Deputi I BNPT Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir.

Aksi terorisme sebenarnya merupakan aksi yang berorientasi pada liputan pemberitaan yang sangat masif dengan sasaran di tempat umum. Itu juga tampak dari penargetan pusat keramaian dan objek vital publik lainnya agar dapat diliput dan disebarkan secara masif sehingga menimbulkan ketakutan yang meluas di masyarakat.

Dalam pemberantasan teroris, Polri selama kurun waktu 2015 hingga Juni 2016 telah menangkap 170 tersangka kasus terorisme, terdiri atas hasil kegiatan kepolisian sebanyak 120 tersangka, hasil Operasi Camar 27 tersangka, dan hasil operasi Tinombala sebanyak 23 tersangka. Tersangka teroris yang paling dicari, Santoso, telah ditembak mati pada 18 Juli 2016.

Terkait pembahasan "Rancangan UU Tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang" di DPR RI, soal ancaman hukuman bagi pelaku terorisme menjadi salah satu butir pembahasan krusial.

Setiap pelaku terorisme yang diancam hukuman, tidak hanya bagi setiap orang yang melakukan di dalam negeri, tetapi juga menyentuh setiap orang atau penduduk Indonesia yang melakukan kegiatan terorisme di luar negeri atau di negara asing.

RUU ini lebih komplet dalam menjerat orang-orang yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam tindak pidana terorisme. Orang yang melakukan permufakatan jahat pun terjerat ancaman hukuman.

Pelaku terorisme yang masih berusia anak-anak pun bisa terjerat hukuman.

Dalam pasal 6 RUU itu, disebutkan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; menimbulkan korban yang bersifat massal; merampas kemerdekaan; atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang  strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan/atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.

Tidak hanya jenis tindak pidana terorisme seperti itu yang terancam hukuman.

Pada pasal-pasal lain disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan bahan peledak dari Indonesia, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan  maksud terorisme, dipidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun.

Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai bahan peledak atau memperdagangkan komponen, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir
, atau radioaktif, dipidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh tahun. Bila memperdagangkan bahan-bahan itu terbukti digunakan dalam tindak pidana terorisme, dipidana penjara a  paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun.

Setiap orang yang mengadakan hubungan dengan setiap orang di dalam atau luar negeri untuk melakukan terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat  tiga tahun dan paling lama 12 tahun.

Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang dinyatakan sebagai korporasi terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh tahun.

Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan kegiatan korporasi terorisme, dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun.

    
Mempersiapkan tindak pidana
    
Setiap orang yang menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, di dalam atau luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, atau merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan, dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 15 tahun.

Setiap orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital bagi pelatihan terorisme, dipidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling  lama 12 tahun.

Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindakan kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang   merugikan individu atau kelompok tertentu dan atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana penjara
paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun.

Setiap orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.

Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.

Permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan, apabila ada niat atau kesengajaan itu telah ternyata dari adanya persiapan perbuatan.

Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak, pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai sistem peradilan pidana anak. Dalam hal pelaku tindak pidana terorisme  melibatkan  anak, pidana yang dijatuhkan ditambah setengah dari pidana yang diancamkan.

Menyusul serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari lalu, pemerintah bersama DPR memang melakukan revisi atas UU Nomor 15 Tahun 2003, dengan melakukan berbagai jeratan hukum bagi siapa saja yang dapat diindikasikan melakukan atau akan melakukan tindak pidana terorisme.

Pertemuan pimpinan lembaga negara dengan Presiden Jokowi di Istana yang khusus membahas soal terorisme, pada 20 Januari lalu, memang menemukan bahwa hukuman bagi pelaku teror yang selama ini tertuang dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), dinilai terlalu rendah sehingga perlu ditambah dan dimaksimalkan melalui revisi UU Terorisme.

Penindakan terhadap orang yang terlibat permufakatan jahat, pelatihan terorisme, seperti mau membuat bom, orang yang ikut kegiatan terorisme di luar negeri, yang sebelumnya belum diatur, kini telah diatur ancaman hukumannya, sebagaimana tertuang dalam RUU itu.

Hal menarik adalah apa yang disampaikan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahwa yang meneror orang itu hukumannya harus seberat-beratnya agar dia tidak melakukan teror lagi. Kalau melakukan lagi, hukumannya diberatkan lagi.

Hukuman memang dibuat supaya siapa saja yang terlibat itu kapok.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016