Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan antara penjamin (debitur) dan penerima jaminan (kreditur) terkait pemberian jaminan atas suatu utang. Menurut J Satrio, hukum jaminan adalah aturan hukum yang mengatur jaminan piutang kreditur kepada debitur. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, KUHPerdata memuat aturan yang mengatur jaminan secara umum. Hal ini dinyatakan dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata yang berbunyi “segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Hukum jaminan dibagi menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan adalah hak kreditur atas benda tertentu milik debitur sebagai jaminan pelunasan utang. Sedangkan jaminan perorangan adalah pernyataan kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur jika debitur cidera janji.
Jaminan kebendaan dibagi menjadi dua yaitu, benda bergerak meliputi gadai dan fidusia dan benda tidak bergerak meliputi hak tanggungan. Di sisi lain, jaminan perorangan meliputi Borgtocht/Personal Guarantee (penanggungan), garansi bank/perjanjian garansi, dan tanggung menanggung (tanggung renteng).
Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita melihat kasus seorang ibu yang dijadikan sebagai penjamin oleh anaknya tanpa diketahui oleh ibunya atau orang tua yang tidak bisa membaca dan menulis namun diminta untuk menandatangi akta perjanjian penanggungan.
Berdasarkan kasus-kasus ini, muncul pertanyaan "apakah jaminan perorangan seperti ini adalah jaminan yang sah?"
Kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu borgtocht. Borgtocht adalah suatu perjanjian di mana pihak ketiga (penjamin) mengikatkan dirinya kepada kreditur untuk memenuhi kewajiban debitur, jika debitur tidak mampu membayarnya. Jaminan ini diatur di Pasal 1820 hingga Pasal 1850 KUH Perdata.
Kembali ke kasus yang disebutkan diawal, borgtocht merupakan sebuah perjanjian sehingga ia harus tunduk terhadap syarat-syarat sah perjanjian.
Menurut pasal 1320 KUHPerdata, syarat sah perjanjian dibagi menjadi empat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Jika, orang tua atau pihak manapun dijadikan sebagai penjamin tanpa diketahui oleh penjaminnya, maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi, diantaranya:
1. Tanda tangan pada Akta borgtocht atau pejanjian kredit dipalsukan
Dalam jaminan perorangan, harus ada akta untuk membuktikan jaminan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali orang memalsukan akta untuk mendapatkan pinjaman. Contohnya, anak yang memalsukan tanda tangan orang tua dalam kredit motor.
2. Kurangnya pemahaman tentang akta borgtocht sehingga hanya asal tanda tangan
Penjamin tidak selalu memiliki kapabilitas untuk memahami isi dalam akta, bisa jadi karena masih awam dalam hal hukum. Selain itu, masih banyak kalangan Masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis, dalam kalangan ini ada oknum-oknum yang memanfaatkan kekurangan ini supaya akta borgtocht bisa diasal tanda tangani.
Dampak yang ditimbulkan sangatlah buruk karena para korban ditagih pertanggungjawaban padahal korban tidak tahu apapun. Dalam kasus ini, para peminjam biasanya sudah kabur sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sehingga penjamin mau tidak mau membayar utang tersebut.
3. Perjanjian sepihak tanpa tanda tangan
Di jaman yang semakin canggih ini, marak sekali kasus pinjol (pinjaman online) yang syarat penjaminnya hanya nomor kontak. Perjanjian sepihak tanpa melibatkan penjamin merupakan perjanjian yang sangat destruktif karena membuat pihak yang tidak tahu menahu akan ikut diterror dimintai pertanggungjawaban padahal secara hukum perjanjian tersebut tidaklah sah.
Tidak hanya pinjol, bahkan bank terkadang menggunakan praktik yang sama dimana terjadi perjanjian namun hanya dengan pihak yang meminjam tanpa melibatkan penjamin.
Berdasarkan kasus-kasus diatas, akta borgtocht hasil penipuan atau akta yang dibuat tanpa sepengetahuan penjamin merupakan akta yang tidak sah karena tidak memenuhi unsur sepakat dalam pasal 1320 KUHPer yang menjadi persyaratan perjanjian dianggap sah.
Selain itu, kasus dimana akta borgtocht tersebut dipalsukan sudah jelas tidak sah karena menyalahi pasal 1321 KUHPer yang berbunyi tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Sehingga jika ada kasus dimana anak menipu orang tuanya untuk menandatangani akta penanggungan, maka akta tersebut dinilai tidak sah. Apalagi dalam kasus pinjaman online, dimana orang terdekat yang menjadi penjamin tanpa sepengetahuan mereka. Secara subjektif syarat yang tidak terpenuhi adalah syarat sepakat, sadar dan sukarela dalam mengikatkan diri.
Dalam pasal 1820 KUHPer dijelaskan dengan detail bahwa Borgtocht adalah suatu perjanjian Dimana seorang pihak ketiga, untuk kepentingan si berutang, mengikatkan dirinya kepada si berpiutang guna memenuhi perikatan si berutang manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.
Dari pasal itu saja bisa kita simpulkan bahwa penjamin (borg) wajib mengikatkan dirinya secara sadar dan sukarela. Sehingga tidaklah sah jika para penjamin tidak sadar dan tidak sukarela dalam perjanjian tersebut. Terakhir, jika perjanjian tersebut tidak dibuat secara tertulis maka pembuktiannya sangatlah lemah dan jika para korban ingin mengajukan gugatan maka mereka akan sangat bisa menang.
Namun, pada akhirnya akta tersebut sudah ditanda tangani, bukankah akta tersebut sudah sah?
Secara formil, akta tersebut dinilai sah karena tanda tangan atas akta membuktikan adanya kesepakatan dan terpenuhinya syarat perjanjian. Namun jika korban mampu untuk menunjukkan adanya ketidaksukarelaan atau ketidaktahuan dalam penandatangan tersebut dipengadilan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena cacat hukum.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
Editor : Bima Agustian
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2025