Pangkalpinang (ANTARA) - Pinjaman Online atau biasa disebut "Pinjol" baru-baru ini menjadi tren berkembang di masyarakat Indonesia. Namun masyarakat perlu berhati-hati dengan pinjol dikarenakan ada pinjol ilegal yang merupakan ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Dengan adanya bunga sangat tinggi serta biaya tambahan yang tidak transparan, pinjol ilegal dapat menjerat kalangan masyarakat dalam jerat utang yang sangat sulit untuk dilunasi.
“Teruntuk mereka yang telanjur menjadi korban, jangan membayar, jangan membayar!. Kalau karena tidak membayar lalu ada yang tidak terima, diteror, lapor ke kantor polisi terdekat. Polisi akan memberikan perlindungan” tegas Mahfud MD dikutip dari Kumparan Bisnis.
Beliau menekankan pentingnya masyarakat di Indonesia untuk berhati-hati serta waspada terhadap pinjol ilegal yang tidak memiliki izin usaha yang sah dan melakukan praktik keuangan yang tidak transparan. Hal ini diperkuat mengenai perjanjian utang piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata sebagai berikut ini :
“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama”.
Peminjam wajib mengembalikan semua uang yang telah dipinjamnya meskipun ia meminjam melalui pinjaman online ilegal. Namun, sekarang anda tidak perlu khawatir jika perjanjian yang dilakukan antara pemberi dan penerima pinjaman pada pinjaman online yang tidak terdaftar dan berizin OJK menjadi dapat dibatalkan. Oleh karena itu sehingga peminjam wajib mengembalikan semua uang yang telah dipinjami.
Lantas bagaimana hukum yang berlaku pada keterlibatan pihak ke ketiga dalam menagih utang kepada nasabah? Penagihan yang dilakukan oleh debt collector maupun perusahaan pinjol harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai peraturan OJK.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa proses penagihan yang dilakukan baik oleh debt collector maupun perusahaan pinjol harus mengikuti ketentuan yang berlaku dan sesuai peraturan OJK. Peraturan ini belum diatur oleh pihak OJK dalam proses penagihan utang dalam POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun, OJK sudah mempunyai panduan mengenai etika dan cara penagihan utang, yaitu:
1. Tidak menggunakan ancaman atau mempermalukan nasabah
2. Tidak menggunakan kekerasan fisik maupun verbal dalam penagihan
3. Dilarang menyebarkan data pribadi terkait proses penagihan utang
4. Tidak menagih ke pihak lain yang bukan berutang
Selanjutnya, Ketika menagih debitur, debt collector harus selalu membawa dokumen yang diperlukan. Diantara dokumen tersebut terdapat kartu identitas, sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh Lembaga resmi, surat tugas dari Perusahaan pembiayaan, serta bukti jaminan fidusia. Tidak cuma persiapan dilakukan oleh debt collector, perusahaan pembiayaan pinjol juga harus mengirimkan surat peringatan kepada debitur terkait kolektibilitas yang sudah macet, sebagai langkah pencegahan perselisihan.
Penagih utang/debt collector yang dioperasikan oleh lembaga pinjol tidak diperbolehkan tercantum dalam daftar hitam yang dirilis oleh OJK atau AFPI. Dengan tegas, OJK maupun AFPI melarang penagih utang melakukan tindakan kekerasan fisik atau psikologis terhadap debitur. Apabila seorang nasabah menghadapi metode penagihan yang tidak etis dan merasa dirugikan oleh pihak penagih utang, ia bisa mengajukan laporan kepada OJK atau Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Jika dalam melakukan penagihan, debt collector tetap melakukan dengan cara kekerasan atau ancaman, maka debt collector tersebut dapat dijerat oleh Pasal 365 ayat (1) KUHP yang berbunyi: diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB)
