Pangkalpinang (ANTARA) - Dalam praktik pinjam-meminjam konvensional, jaminan selalu diasosiasikan dengan barang berwujud mulai dari sertifikat rumah, BPKB kendaraan, hingga surat berharga. Namun, di era digital yang dibanjiri pinjaman online (pinjol), konsep jaminan telah bergeser secara radikal. Saat ini, bukan lagi rumah atau motor yang dijadikan jaminan, melainkan data pribadi.
Ya, data pribadi kita mulai dari nomor kontak, daftar teman, lokasi GPS, hingga akses ke kamera dan mikrofon telah menjelma menjadi jaminan tak kasat mata yang diam-diam dikendalikan oleh penyedia layanan pinjol, terutama yang ilegal. Dan ironisnya, sebagian besar dari kita memberikan jaminan itu secara sukarela karena buru-buru butuh uang.
Pada Juli 2024 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan oleh 19 warga negara terhadap pemerintah dalam perkara pinjaman online. Putusan ini menyatakan bahwa negara telah melakukan perbuatan melawan hukum karena gagal melindungi warga dari bahaya pinjol, terutama pinjol ilegal. Dalam putusan bernomor 1206 K/PDT/2024, MA bahkan memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki regulasi fintech lending secara menyeluruh, serta memperkuat pengawasan distribusi aplikasi digital pinjaman.
Putusan ini menjadi tamparan keras bagi negara. Dalam perkara ini, tidak hanya pinjol ilegal yang dipersoalkan, tetapi juga kelalaian pemerintah dalam melindungi data pribadi yang dijadikan sandera oleh pelaku usaha pinjol. Artinya, bukan hanya si peminjam yang bersalah karena gagal bayar, tapi juga negara yang lalai karena membiarkan praktik intimidasi digital terus terjadi.
Data pribadi: Kolateral digital yang diabaikan hukum
Di banyak aplikasi pinjol ilegal, akses terhadap data pribadi pengguna diminta sejak awal. Tanpa ragu, pengguna memberi izin agar aplikasi mengakses daftar kontak, lokasi, bahkan file dan kamera. Yang lebih parah, dalam kasus gagal bayar, data tersebut dipakai untuk:
• Menghubungi seluruh daftar kontak pengguna untuk mempermalukan peminjam.
• Mengirim ancaman atau pesan intimidatif ke keluarga, teman, bahkan rekan kerja.
• Menyebarkan informasi pribadi atau rekayasa digital (deepfake) untuk menekan peminjam.
Faktanya, data pribadi telah berubah fungsi menjadi semacam jaminan moral jika peminjam gagal bayar, maka rasa malu, tekanan sosial, dan ancaman reputasi akan menagih utangnya.
Namun, berbeda dari jaminan fidusia atau gadai yang diatur ketat dalam UU, data pribadi tidak diakui sebagai objek jaminan resmi. Tidak ada mekanisme pengawasan, tidak ada ketentuan eksekusi, dan tentu saja tidak ada perlindungan ketika data kita disalahgunakan. Inilah celah hukum yang sangat berbahaya.
Ketika hukum tak cukup kuat untuk menolong korban
Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Tapi implementasinya? Masih jauh dari harapan. Sanksi administratif atau pidana terhadap penyalahgunaan data pribadi belum banyak ditegakkan, apalagi dalam lingkup pinjol ilegal yang seringkali beroperasi dari luar negeri, menggunakan nama palsu, dan mudah berganti platform.
Dalam teori hukum jaminan, objek jaminan harus memiliki nilai ekonomis dan dapat dieksekusi jika terjadi wanprestasi. Tapi bagaimana mungkin kita mengeksekusi jaminan berupa akses daftar kontak? Apakah bisa kita tarik kembali data yang sudah disalin dan digunakan untuk intimidasi? Tentu tidak.
Celakanya, kebanyakan korban pinjol ilegal tidak memiliki literasi hukum yang cukup untuk memahami bahwa mereka sebenarnya adalah korban. Banyak dari mereka justru menyalahkan diri sendiri, menanggung malu, dan pada akhirnya melunasi utang dengan bunga mencekik demi “membebaskan” data mereka dari ancaman penyebaran.
Putusan MA atas gugatan warga negara ini bukan sekadar kemenangan hukum, tapi juga pengakuan institusional bahwa praktik pinjol ilegal telah mengorbankan data pribadi rakyat kecil. MA secara tegas meminta:
1. Pemerintah memperbaiki regulasi pinjaman online.
2. Pengawasan terhadap distribusi aplikasi dilakukan bersama penyedia platform digital.
3. Perlindungan data pribadi menjadi bagian integral dari ekosistem pinjaman digital.
Ini adalah titik balik penting. Jika pemerintah serius menindaklanjuti putusan ini, maka bisa jadi Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengklasifikasikan data pribadi sebagai objek jaminan yang harus dilindungi dalam transaksi digital.
Lantas, apa yang bisa dilakukan agar data pribadi tak lagi jadi "jaminan bodong"?
Pertama, perlu ada pengakuan legal bahwa data pribadi adalah aset hukum. Bukan hanya dilindungi, tapi juga dilarang untuk dijadikan alat pemerasan dalam bentuk apapun, termasuk oleh pinjol.
Kedua, semua aplikasi pinjaman baik legal maupun ilegal harus dibatasi aksesnya hanya pada data yang relevan secara fungsional. Tidak ada alasan bagi aplikasi pinjol untuk mengakses galeri foto, daftar kontak, atau mikrofon pengguna.
Ketiga, perlu dibuat mekanisme penghapusan data otomatis jika utang telah lunas atau ketika pengguna mencabut izin. Karena saat ini, banyak pinjol ilegal tetap menyimpan dan bahkan menyalahgunakan data meski utang sudah dibayar.
Keempat, perlu ada jalur hukum cepat bagi korban pinjol. Layanan pengaduan online, bantuan hukum gratis, dan penegakan hukum yang responsif akan mendorong korban berani melapor.
Jangan biarkan data jadi neraka kedua
Pinjaman online adalah kemajuan tapi juga kutukan, jika tidak dibarengi dengan perlindungan yang kuat. Kita hidup di era di mana nomor telepon bisa lebih berbahaya daripada sertifikat rumah, jika jatuh ke tangan yang salah.
Data pribadi bukan sekadar barisan angka dan nama ia adalah potret kehidupan, hubungan, dan reputasi seseorang. Ketika data ini disalahgunakan oleh pinjol ilegal, maka itu sama saja dengan menyandera manusia secara sosial dan psikologis.
Hukum jaminan kita harus berbenah, karena jaminan zaman sekarang tidak selalu berbentuk benda. Di dunia digital, yang tidak terlihat justru sering jadi yang paling berbahaya. Dan saat itulah, negara harus hadir. Bukan hanya dengan undang-undang, tapi dengan keberpihakan nyata kepada rakyat yang datanya telah dijadikan jaminan tanpa perlindungan.
