Dalam dinamika sosial masyarakat, hubungan hutang-piutang sering kali berawal dari keadaan sederhana. Seseorang datang meminta pertolongan karena kebutuhan mendesak, sementara orang lain bersedia membantu atas dasar empati dan pertemanan.

Kesepakatan itu tidak selalu lahir dalam bentuk tertulis, melainkan cukup melalui percakapan langsung atau pesan singkat. Namun, justru dalam kesederhanaan inilah persoalan sering bermula ketika janji pengembalian tidak dipenuhi.

Salah satu contoh yang banyak terjadi adalah ketika seseorang meminjam uang dengan komitmen mengembalikan pada tanggal tertentu, seperti kasus fiktif antara Yoga dan Raihan. Perjanjian yang tampak sederhana tersebut pada hakikatnya telah memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata, yakni adanya kesepakatan dan kecakapan para pihak. Namun, ketika waktu pengembalian tiba dan debitur justru menghilang tanpa kabar, maka hal itu menjadi indikasi jelas dari kelalaian yang menuju pada wanprestasi.

Dalam perspektif hukum perdata, wanprestasi tidak hanya ditafsirkan sebagai kegagalan memenuhi kewajiban, tetapi juga mencakup sikap abai, menunda tanpa alasan yang sah, atau menunjukkan ketidaksungguhan meski telah diberikan kesempatan. Ketidakhadiran itikad baik menjadi faktor yang memperburuk hubungan hukum antara debitur dan kreditur.

Masih banyak anggapan di masyarakat bahwa perjanjian harus dibuat secara formal dan tertulis agar sah. Padahal KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa kesepakatan merupakan unsur utama lahirnya perjanjian.

Artinya, janji lewat pesan digital selama memuat jumlah pinjaman dan waktu pengembalian telah cukup untuk menimbulkan hubungan hukum yang mengikat. Prinsip pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Dengan kata lain, setiap janji adalah kewajiban yang harus dipenuhi.

Dalam perkembangan teknologi informasi, bukti digital seperti chat, tangkapan layar, riwayat transfer, hingga rekaman suara, telah diakui sebagai alat bukti sah berdasarkan Pasal 5–6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Jejak digital menjadi bukti objektif yang mampu menguatkan posisi kreditur ketika terjadi sengketa. Ironisnya, banyak pihak yang berutang merasa aman, padahal rekam jejak percakapan mereka justru dapat menjadi dasar pembuktian di pengadilan.

Ketika itikad baik tidak hadir, hukum memberikan mekanisme penyelesaian. Kreditur dapat menuntut pemenuhan prestasi, meminta ganti rugi, atau menuntut bunga keterlambatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 dan 1267 KUH Perdata. Dalam kasus tertentu, bahkan penyitaan harta dapat dilakukan melalui putusan pengadilan sebagai upaya menjamin kepastian hukum.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan betapa pentingnya rasa tanggung jawab dalam setiap hubungan perikatan. Kepercayaan merupakan modal sosial yang mahal, dan ketika kepercayaan itu dilanggar, hukum hadir bukan untuk menghukum secara berlebihan, tetapi untuk memulihkan keseimbangan dan memberikan keadilan bagi pihak yang dirugikan.

Pada akhirnya, hilangnya itikad baik adalah inti dari banyak sengketa hutang-piutang. Hukum perdata tidak hanya mengatur hak dan kewajiban, tetapi juga menekankan perlunya kesungguhan dan kejujuran dalam memenuhi janji. Tanpa itu, setiap perjanjian berpotensi menjadi sumber konflik yang merugikan kedua belah pihak.

* Penulis adalah Mahasiswa Hukum Semester 3, Universitas Bangka Belitung

 

Pewarta: Ariel Apriansah *)

Editor : Bima Agustian


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2025