Pangkalpinang (ANTARA) - Sengketa tanah kembali menjadi perhatian publik di Bangka Belitung, mempertegas bahwa konflik agraria masih menjadi masalah laten yang belum terselesaikan.
Kasus terbaru terjadi di Belitung, tepatnya di Desa Air Saga. Seorang pemilik lahan melaporkan dugaan penyerobotan atas tanah miliknya. Kuasa hukumnya menyatakan terdapat indikasi penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di atas lahan yang sebelumnya telah bersertifikat atau memiliki bukti kepemilikan sah atas nama kliennya. Selain itu, penerbitan SKT tersebut diduga dilakukan tidak sesuai prosedur oleh oknum aparat desa.
Kasus ini bukanlah peristiwa pertama, dan tampaknya tidak akan menjadi yang terakhir. Meskipun tampak sederhana sebagai persoalan administratif, sengketa tanah akibat SKT sesungguhnya menggambarkan lemahnya kepastian hukum agraria di daerah.
Ketika satu bidang tanah bisa memiliki lebih dari satu SKT, dan aparat administratif memberikan legalitas ganda, masyarakat menjadi pihak yang paling rentan secara hukum perdata.
Permasalahan yang timbul bukan lagi sekadar soal siapa yang lebih kuat, tetapi mengapa sistem yang seharusnya menjamin kepastian justru memunculkan konflik baru.
Di banyak daerah, termasuk Bangka Belitung, masyarakat masih sangat mengandalkan SKT karena prosesnya relatif mudah, cepat, dan murah. Namun kemudahan itu pula yang membuka celah permasalahan.
Dalam hukum agraria Indonesia, SKT hanya merupakan bukti awal penguasaan tanah, bukan bukti kepemilikan final. SKT tidak memiliki kekuatan pembuktian setara dengan sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Celah inilah yang memungkinkan satu bidang tanah diterbitkan SKT lebih dari sekali, sehingga menimbulkan sengketa yang sulit diselesaikan.
Dalam konteks hukum perdata, sengketa semacam ini masuk kategori sengketa hak atas tanah, di mana setiap pihak wajib membuktikan dasar kepemilikannya.
Persoalan menjadi semakin kompleks ketika satu pihak memegang sertifikat, sementara pihak lain hanya memiliki SKT. Secara hukum, sertifikat memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Penerbitan SKT yang tidak melalui prosedur yang benar juga dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Masyarakat yang dirugikan dapat mengajukan gugatan terhadap aparat atau pihak tertentu jika dokumen yang diterbitkan menimbulkan kerugian.
Gugatan tersebut dapat berupa permohonan pembatalan SKT bermasalah, ganti rugi, atau gugatan kepastian hak. Dengan demikian, ketika SKT diterbitkan tanpa prosedur jelas, masyarakat memiliki landasan hukum untuk menuntut perlindungan.
Persoalan ini semakin relevan menjelang diberlakukannya kebijakan nasional pada 2026. Pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN menegaskan bahwa mulai 2026, SKT, sporadik, girik, dan dokumen tanah non-sertifikat lainnya tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan yang kuat. Dokumen tersebut hanya akan dianggap sebagai bukti awal, bukan bukti hak. Kebijakan ini lahir karena SKT sering menjadi sumber tumpang tindih lahan dan alat manipulasi dalam berbagai sengketa.
Proses penerbitan yang mudah dan kurang verifikasi lapangan membuat SKT rentan disalahgunakan. Oleh karena itu, pemerintah kini mendorong percepatan sertifikasi melalui program PTSL.
Sengketa yang terjadi saat ini dapat menjadi peringatan bagi Bangka Belitung untuk mempercepat peralihan menuju sertifikat BPN sebagai satu-satunya dokumen hak yang sah. Ketika dua dokumen saling bertentangan, hukum menempatkan sertifikat sebagai bukti yang lebih kuat daripada SKT.
Kasus di Belitung ini menunjukkan bahwa persoalan agraria tidak hanya berkutat pada dokumen, tetapi juga menyangkut keadilan, perlindungan hak, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ketika masyarakat kecil paling sering dirugikan, dapat dipastikan masih ada celah administratif yang memberi ruang bagi ketidakpastian hukum.
Tahun 2026 seharusnya menjadi momentum penting bagi pemerintah daerah untuk membenahi administrasi pertanahan secara menyeluruh. Peralihan dari SKT ke sertifikat BPN bukan hanya perubahan regulasi, tetapi juga perubahan budaya hukum. Banyak masyarakat beranggapan bahwa SKT sudah cukup sebagai bukti kepemilikan, padahal secara hukum dokumen ini sangat rentan dipermasalahkan.
Kepastian hukum agraria adalah fondasi rasa aman dalam menguasai tanah. Tidak ada gunanya memiliki lahan secara turun-temurun apabila bukti haknya tidak pernah ditingkatkan.
Pada akhirnya, kepastian hak atas tanah merupakan hak mendasar warga negara. Pemerintah berkewajiban memastikan hak tersebut tidak terganggu oleh tumpang tindih dokumen, praktik oknum, atau lemahnya administrasi.
Sementara itu, masyarakat perlu mengurus dokumen kepemilikan sesuai prosedur untuk menghindari risiko di masa mendatang. Jika Bangka Belitung ingin melangkah maju, meninggalkan ketergantungan pada SKT adalah pilihan strategis.
Sertifikat tanah adalah bentuk perlindungan hukum tertinggi yang diberikan negara. Ketika negara mampu memberikan kepastian hukum, kepercayaan masyarakat meningkat dan menjadi fondasi penting dalam menjaga ketertiban serta mendukung pembangunan daerah.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Bangka Belitung
