Sekelompok anak muda Aceh tak kuasa menahan tawa tatkala mendengar Antara menyampaikan maksudnya mengunjungi Danau Aneuk Laot untuk melakukan napak tilas jejak Laksamana Cheng Ho yang menurut catatan Museum Sabang pernah berlabuh di Pulau Weh pada Abad XV.
"Siapa itu Cheng Ho? Saya tak pernah dengar nama itu," kata salah seorang dari empat anak muda yang ditemui di sebuah bengkel sepeda motor di pinggir jalan yang tak jauh dari pertigaan menuju Danau Aneuk Laot tersebut.
Namun, ketika disinggung nama daerah "Lueng Cina", mereka spontan menyebut keberadaan parit hasil galian yang diduga berhubungan erat dengan jejak kedatangan laksamana yang bernama asli Ma Sanbao (Hanyu Pinyin) atau Haji Mahmud Shams (Arab) ini.
Mereka tampaknya tak habis pikir karena ada pelancong dari luar Provinsi Aceh yang tergerak mengunjungi tepian danau itu bukan untuk sekadar melihat pesona alam tetapi karena penasaran dengan kisah Cheng Ho.
Pada Sabtu (11/3) sekitar pukul 17.30 WIB itu, berbekal informasi dari seorang kurator Museum Sabang, penulis pun memacu sepeda motornya dari kawasan Sumur Tiga ke arah danau berwarna biru yang berada di kaki sebuah bukit berhutan lebat Kota Sabang tersebut.
Menurut Kurator Museum Sabang T.Mahliyuni, persinggahan Cheng Ho dan armadanya di Teluk Sabang itu konon dimaksudkan untuk mendapatkan persediaan air dalam pelayaran mereka menuju Afrika.
"Persediaan air tersebut diambil dari Danau Aneuk Laot, danau yang hingga kini merupakan sumber air minum utama masyarakat Sabang," katanya saat ditemui di gedung museum yang terletak di Jalan O.Surapati pada Kamis (9/3) dan Jumat (10/3).
Menurut buku "Profil Museum Sabang" (2017), penjelajah China yang mengarungi perairan Kepulauan Indonesia selama tujuh kali dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah itu menyinggahi Pulau Weh pada 1413-1415.
Mengutip catatan Ma Huan, salah seorang penerjemah sang laksamana, Cheng Ho menyebut Pulau Weh sebagai "daratan dengan gunung menjulang" atau "Gunung Mao".
Berdasarkan cerita yang dikisahkan dari generasi ke generasi, parit yang hingga kini dapat ditemui di daerah Lueng Cina itu digali untuk menyalurkan air danau yang tawar itu ke kapal-kapal armada Cheng Ho.
Hanya saja, proses penggalian parit untuk memenuhi stok air armada Cheng Ho tersebut terhenti akibat salah seorang pekerja saat itu secara tak sengaja menebas seekor ular besar hingga putus.
Kecelakaan tersebut berujung pada penghentian penggalian parit karena dalam tradisi dan budaya masyarakat China pada masa itu, ular dianggap sebagai makhluk yang dihormati, katanya.
Kendati sudah berusia ratusan tahun, bukti keberadaan parit tersebut masih ada sekali pun tidak sedikit warga Sabang, terutama kalangan muda, yang tidak lagi mengetahui sejarah kunjungan Laksamana Cheng Ho yang legendaris itu.
Mahliyuni mengatakan kisah berlabuhnya kapal-kapal armada Cheng Ho di Teluk Sabang itu tidak melulu dikaitkan dengan kebutuhan mereka akan air tawar Danau Aneuk Laot dan pelayarannya untuk membangun persahabatan dengan raja Aceh saat itu.
Laksamana yang hidup pada masa Dinasti Ming itu juga mengembangkan dakwah Islam, serta dikabarkan sempat belajar strategi perang, merakit senjata, dan belajar mengaji dari tokoh Islam di Sabang pada masa itu, katanya.
Rekam jejaknya tidak hanya dapat ditelusuri dari keberadaan parit di Lueng Cina tetapi juga dari apa yang disebut "makam dai 12" di Pantai Pasir Putih, Gampong (Desa) Paya Kenekai, katanya.
Makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir 12 pengikut Laksamana Cheng Ho yang wafat semasa mereka berada di Sabang karena sakit, kata Mahliyuni.
Bagi wisatawan yang tertarik pada keterkaitan Kota Sabang dengan keberadaan Laksamana Cheng Ho, mereka dapat menggali informasi awal dari beberapa koleksi potret lukisan Laksamana Cheng Ho yang dimiliki Museum Sabang.
Dari situ, informasi tentang kunjungan armada terbesar dalam sejarah dunia yang dipimpin laksamana China beragama Islam di Kerajaan Samudera Pasai dan Pulau Weh tersebut dapat dilengkapi dari keterangan pegawai museum seperti T.Mahliyuni.
Bagi wisatawan yang ingin melakukan napak tilas jejak Cheng Ho, berkunjung ke Danau Aneuk Laot agaknya merupakan pilihan yang paling realistis karena lokasinya yang hanya sekitar dua kilometer dari pusat kota.
Dengan bekal sepeda motor yang disewa dari warga setempat seharga Rp80.000-Rp100.000 per 24 jam pemakaian, kunjungan ke destinasi-destinasi wisata yang ada di Kota Sabang dan sekitarnya, termasuk Danau Aneuk Laot, menjadi lebih leluasa dilakukan.
Untuk mencapai tepi Danau Aneuk Laot itu, wisatawan dapat memacu sepeda motornya ke arah tugu "I love Sabang". Dari situ, ada persimpangan dengan papan penunjuk arah ke destinasi danau.
Dari papan penunjuk arah tersebut, medan jalan menuju tepi Danau Aneuk Laot tersebut berkelok dan naik-turun.
Di sisi kanan bahu jalan tampak mulut bunker pertahanan Jepang yang menyatu dengan bukit sedangkan di sisi kirinya tampak jurang dengan latar belakang rumah-rumah penduduk dan biru air danau dari kejauhan.
Setibanya di sebuah persimpangan, lurus saja mengikuti jalan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sekolah berhalaman luas. Beberapa ratus meter dari sekolah tersebut, tampak plang nama bertuliskan "Poetra Hijoe" di sisi kanan bahu jalan.
Papan nama tersebut merupakan penanda akses jalan tanah yang mengarah ke tepian danau. Di dekatnya ada sebuah restoran dan kolam pemancingan ikan serta rumah kayu beratap seng yang dilengkapi dermaga darurat tempat mereka menambat perahu.
Menurut catatan Museum Sabang mengutip buku Ying Yai Sheng Lan yang kemudian diterjemahkan menjadi "The Overall Survey of The Ocean's Shores", Ma Huan menceritakan bahwa Pulau Weh sudah menjadi salah satu tempat persinggahan para pedagang mancanegara.
Dalam misi diplomatik dan persahabatannya ke perairan Nusantara dan sempat menyinggahi Teluk Sabang dan Kerajaan Samudera Pasai itu, Laksamana Cheng Ho didukung oleh armada dengan jumlah personel yang besar.
Kunjungannya itu melibatkan 62 kapal besar dan 225 kapal kecil dengan puluhan ribu personel mulai dari perwira militer, logistik, prajurit, astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa dan ahli geografi hingga tabib, juru tulis dan intelektual agama.
Dari segi ukuran kapal, armada Cheng Ho ini melibatkan kapal-kapal yang ukurannya lima kali lebih besar dari kapal Colombus.
Seperti disebutkan informasi tertulis Museum Sabang, perahu besar Cheng Ho yang disebut "Kapal Pusaka" ini memiliki panjang mencapai 44,4 zhang (138 meter) dan lebar 18 zhang (56 meter).
Sebagai bukti dari misi damai dan persahabatannya itu, Laksamana Cheng Ho menghadiahkan sebuah lonceng besar yang dikenal dengan nama "Cakra Donya" kepada penguasa Kerajaan Samudera Pasai.
Lonceng besar yang kini menjadi bagian dari koleksi Museum Aceh di Banda Aceh itu menandakan sejarah panjang hubungan persahabatan kerajaan yang pernah ada di Tanah Rencong dengan Kekaisaran China.
Di Pulau Weh ini, jejak pertalian sejarah panjang itu pun terpatri di Danau Aneuk Laot dan keberadaan parit di Lueng Cina berkat persinggahan armada maritim Laksamana Cheng Ho di Teluk Sabang lebih dari 600 tahun silam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
"Siapa itu Cheng Ho? Saya tak pernah dengar nama itu," kata salah seorang dari empat anak muda yang ditemui di sebuah bengkel sepeda motor di pinggir jalan yang tak jauh dari pertigaan menuju Danau Aneuk Laot tersebut.
Namun, ketika disinggung nama daerah "Lueng Cina", mereka spontan menyebut keberadaan parit hasil galian yang diduga berhubungan erat dengan jejak kedatangan laksamana yang bernama asli Ma Sanbao (Hanyu Pinyin) atau Haji Mahmud Shams (Arab) ini.
Mereka tampaknya tak habis pikir karena ada pelancong dari luar Provinsi Aceh yang tergerak mengunjungi tepian danau itu bukan untuk sekadar melihat pesona alam tetapi karena penasaran dengan kisah Cheng Ho.
Pada Sabtu (11/3) sekitar pukul 17.30 WIB itu, berbekal informasi dari seorang kurator Museum Sabang, penulis pun memacu sepeda motornya dari kawasan Sumur Tiga ke arah danau berwarna biru yang berada di kaki sebuah bukit berhutan lebat Kota Sabang tersebut.
Menurut Kurator Museum Sabang T.Mahliyuni, persinggahan Cheng Ho dan armadanya di Teluk Sabang itu konon dimaksudkan untuk mendapatkan persediaan air dalam pelayaran mereka menuju Afrika.
"Persediaan air tersebut diambil dari Danau Aneuk Laot, danau yang hingga kini merupakan sumber air minum utama masyarakat Sabang," katanya saat ditemui di gedung museum yang terletak di Jalan O.Surapati pada Kamis (9/3) dan Jumat (10/3).
Menurut buku "Profil Museum Sabang" (2017), penjelajah China yang mengarungi perairan Kepulauan Indonesia selama tujuh kali dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah itu menyinggahi Pulau Weh pada 1413-1415.
Mengutip catatan Ma Huan, salah seorang penerjemah sang laksamana, Cheng Ho menyebut Pulau Weh sebagai "daratan dengan gunung menjulang" atau "Gunung Mao".
Berdasarkan cerita yang dikisahkan dari generasi ke generasi, parit yang hingga kini dapat ditemui di daerah Lueng Cina itu digali untuk menyalurkan air danau yang tawar itu ke kapal-kapal armada Cheng Ho.
Hanya saja, proses penggalian parit untuk memenuhi stok air armada Cheng Ho tersebut terhenti akibat salah seorang pekerja saat itu secara tak sengaja menebas seekor ular besar hingga putus.
Kecelakaan tersebut berujung pada penghentian penggalian parit karena dalam tradisi dan budaya masyarakat China pada masa itu, ular dianggap sebagai makhluk yang dihormati, katanya.
Kendati sudah berusia ratusan tahun, bukti keberadaan parit tersebut masih ada sekali pun tidak sedikit warga Sabang, terutama kalangan muda, yang tidak lagi mengetahui sejarah kunjungan Laksamana Cheng Ho yang legendaris itu.
Mahliyuni mengatakan kisah berlabuhnya kapal-kapal armada Cheng Ho di Teluk Sabang itu tidak melulu dikaitkan dengan kebutuhan mereka akan air tawar Danau Aneuk Laot dan pelayarannya untuk membangun persahabatan dengan raja Aceh saat itu.
Laksamana yang hidup pada masa Dinasti Ming itu juga mengembangkan dakwah Islam, serta dikabarkan sempat belajar strategi perang, merakit senjata, dan belajar mengaji dari tokoh Islam di Sabang pada masa itu, katanya.
Rekam jejaknya tidak hanya dapat ditelusuri dari keberadaan parit di Lueng Cina tetapi juga dari apa yang disebut "makam dai 12" di Pantai Pasir Putih, Gampong (Desa) Paya Kenekai, katanya.
Makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir 12 pengikut Laksamana Cheng Ho yang wafat semasa mereka berada di Sabang karena sakit, kata Mahliyuni.
Bagi wisatawan yang tertarik pada keterkaitan Kota Sabang dengan keberadaan Laksamana Cheng Ho, mereka dapat menggali informasi awal dari beberapa koleksi potret lukisan Laksamana Cheng Ho yang dimiliki Museum Sabang.
Dari situ, informasi tentang kunjungan armada terbesar dalam sejarah dunia yang dipimpin laksamana China beragama Islam di Kerajaan Samudera Pasai dan Pulau Weh tersebut dapat dilengkapi dari keterangan pegawai museum seperti T.Mahliyuni.
Bagi wisatawan yang ingin melakukan napak tilas jejak Cheng Ho, berkunjung ke Danau Aneuk Laot agaknya merupakan pilihan yang paling realistis karena lokasinya yang hanya sekitar dua kilometer dari pusat kota.
Dengan bekal sepeda motor yang disewa dari warga setempat seharga Rp80.000-Rp100.000 per 24 jam pemakaian, kunjungan ke destinasi-destinasi wisata yang ada di Kota Sabang dan sekitarnya, termasuk Danau Aneuk Laot, menjadi lebih leluasa dilakukan.
Untuk mencapai tepi Danau Aneuk Laot itu, wisatawan dapat memacu sepeda motornya ke arah tugu "I love Sabang". Dari situ, ada persimpangan dengan papan penunjuk arah ke destinasi danau.
Dari papan penunjuk arah tersebut, medan jalan menuju tepi Danau Aneuk Laot tersebut berkelok dan naik-turun.
Di sisi kanan bahu jalan tampak mulut bunker pertahanan Jepang yang menyatu dengan bukit sedangkan di sisi kirinya tampak jurang dengan latar belakang rumah-rumah penduduk dan biru air danau dari kejauhan.
Setibanya di sebuah persimpangan, lurus saja mengikuti jalan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sekolah berhalaman luas. Beberapa ratus meter dari sekolah tersebut, tampak plang nama bertuliskan "Poetra Hijoe" di sisi kanan bahu jalan.
Papan nama tersebut merupakan penanda akses jalan tanah yang mengarah ke tepian danau. Di dekatnya ada sebuah restoran dan kolam pemancingan ikan serta rumah kayu beratap seng yang dilengkapi dermaga darurat tempat mereka menambat perahu.
Menurut catatan Museum Sabang mengutip buku Ying Yai Sheng Lan yang kemudian diterjemahkan menjadi "The Overall Survey of The Ocean's Shores", Ma Huan menceritakan bahwa Pulau Weh sudah menjadi salah satu tempat persinggahan para pedagang mancanegara.
Dalam misi diplomatik dan persahabatannya ke perairan Nusantara dan sempat menyinggahi Teluk Sabang dan Kerajaan Samudera Pasai itu, Laksamana Cheng Ho didukung oleh armada dengan jumlah personel yang besar.
Kunjungannya itu melibatkan 62 kapal besar dan 225 kapal kecil dengan puluhan ribu personel mulai dari perwira militer, logistik, prajurit, astronomi, politikus, pembuat peta, ahli bahasa dan ahli geografi hingga tabib, juru tulis dan intelektual agama.
Dari segi ukuran kapal, armada Cheng Ho ini melibatkan kapal-kapal yang ukurannya lima kali lebih besar dari kapal Colombus.
Seperti disebutkan informasi tertulis Museum Sabang, perahu besar Cheng Ho yang disebut "Kapal Pusaka" ini memiliki panjang mencapai 44,4 zhang (138 meter) dan lebar 18 zhang (56 meter).
Sebagai bukti dari misi damai dan persahabatannya itu, Laksamana Cheng Ho menghadiahkan sebuah lonceng besar yang dikenal dengan nama "Cakra Donya" kepada penguasa Kerajaan Samudera Pasai.
Lonceng besar yang kini menjadi bagian dari koleksi Museum Aceh di Banda Aceh itu menandakan sejarah panjang hubungan persahabatan kerajaan yang pernah ada di Tanah Rencong dengan Kekaisaran China.
Di Pulau Weh ini, jejak pertalian sejarah panjang itu pun terpatri di Danau Aneuk Laot dan keberadaan parit di Lueng Cina berkat persinggahan armada maritim Laksamana Cheng Ho di Teluk Sabang lebih dari 600 tahun silam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017