Mentok, Babel (ANTARA) - Puluhan siswa sekolah dasar di Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengikuti lomba menggambar dengan tema delapan tokoh Republik yang diasingkan Belanda di Mentok era 1948-1949.
"Kegiatan ini kami gelar untuk mengenalkan delapan tokoh pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia kepada generasi muda agar mereka memahami sejarah yang ada di daerahnya," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat, Bambang Haryo Suseno di Mentok, Kamis.
Menurut dia, mengenalkan sejarah melalui lomba menggambar dinilai efektif karena para peserta dituntut memahami objek yang digambar sekaligus peristiwa yang dilakukan tokoh tersebut.
"Kami berharap pola ini bisa menumbuhkembangkan keinginan generasi muda untuk belajar sejarah, yang dimulai dari sejarah yang ada di sekitarnya," katanya.
Lomba menggambar khusus siswa sekolah dasar yang digelar di komplek Museum Timah Indonesia Mentok tersebut juga sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kecintaan terhadap daerah dan tambahan wawasan kebangsaan.
"Kegiatan ini merupakan upaya kami dalam pelestarian nilai sejarah," ujarnya.
Lomba merupakan salah satu rangkaian kegiatan napak tilas kebangsaan yang digelar pemkab setempat untuk mengenang kebersamaan delapan tokoh Republik dengan masyarakat Mentok.
Delapan tokoh Republik diasingkan Belanda di Mentok dalam tiga gelombang kedatangan, yaitu pertama pada 22 Desember 1948, Belanda membawa empat tokoh yaitu Mohamad Hatta, Soerjadarma, Asa’at, dan A.G. Pringgodigo, disusul pada 31 Desember 1948 adalah Mohamad Roem dan Ali Sastroamidjojo dan kedatangan ketiga pada 6 Februari 1949 adalah Soekarno dan Agus Salim.
Penempatan para tokoh di Pulau Bangka merupakan bagian strategi Belanda untuk menjauhkan pengaruh Soekarno dan kawan-kawan dari rakyat pendukung kemerdekaan sekaligus untuk memadamkan semangat para pejuang kemerdekaan di Pulau Jawa.
Belanda memilih Bangka sebagai lokasi pengasingan karena merupakan salah satu negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah pengawasan "Bijeenkomst voor Federaal Overleg" (BFO) sehingga dinilai cukup aman karena dianggap rakyat Pulau Bangka tidak akan mendukung dan memberikan simpati kepada para tokoh yang diasingkan.
Namun ternyata anggapan itu keliru karena selama para tokoh itu diasingkan, rakyat Bangka menyambut mereka dan selalu memekikkan kata merdeka sebagai salam dan bukti kesetiaan mereka terhadap Republik.