Bangka Barat, Babel (ANTARA) - 13 Juni 2025 dirayakan oleh penggiat literasi di Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan bangka Belitung sebagai hari peringatan 110 tahun Hamidah (1915-2025).
Rangkaian kegiatan mulai dari memasang plang nama jalan Hamidah di Kelurahan Tanjung, Gelar Wicara 110 Tahun Hamidah, pemutaran film pendek tentang perjalanan hidup Hamidah, pembacaan puisi, dan musikalisasi karya Hamidah.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Komunitas Peduli Hamidah dengan menggandeng beberapa pihak seperti Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bangka Barat, Kantor Bahasa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, komunitas rindudendam, Sekaban Pictures, dan beberapa penggiat literasi di Kabupaten Bangka Barat.
Gerakan ini berangkat dari kesadaran perlunya mengenal sosok, karya, dan sumbangsih seorang perempuan kelahiran Mentok pada 13 Juni 1915 yang dikenal sebagai penulis novel berjudul Kehilangan Mestika, menorehkan namanya sebagai salah satu sastrawan angkatan Pujangga Baru yang sarat dengan semangat pembaharuan.
Mengingat Hamidah sebagai tonggak mengenali kembali kekayaan intelektual Bangka, memantik perhatian, dan antusiasme atas dunia kesastraan di Pulau Bangka, menggagas lahirnya “Hamidah” baru dari Tanah Bangka, membangun ekosistem budaya yang kritis dan egaliter.
Novel Kehilangan Mestika terbit pertama kali tahun 1935, cetakan ke-2 tahun 1937, cetakan ke-3 tahun 1949, cetakan ke-4 tahun 1955, cetakan ke-5 tahun 1957, dan cetakan ke-6 tahun 1963, masing-masing 10.000 buku. Cetakan ke-4 habis dalam satu tahun saja, sedangkan cetakan ke-6 habis dalam waktu dua tahun. Pada masanya novel ini sangat digemari dan populer. Saat ini Novel Kehilangan Mestika yang bisa didapat merupakan cetakan kedelapan oleh PT Balai Pustaka pada tahun 2011 sebagai seri sastra nostalgia.
Kehilangan Mestika ditulis oleh Hamidah; nama samaran dari Fatimah Hasan Delais (suaminya bernama Hasan Delais). Ayahnya bernama H Mukti, seorang penghulu di Mentok. Fatimah adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Ketika berusia empat tahun ibunya meninggal dunia sehingga ia diasuh oleh kakak perempuannya bernama Aisyah. Semasa hidupnya ia bekerja sebagai guru sesudah lepas menempuh pendidikan Meisjes Normaalschool (Sekolah Normal Putri) di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Selain menulis novel, ia juga menulis puisi yang dimuat dalam Pandji Pustaka dan Pudjangga Baroe. Ia dikelompokkan sebagai Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Sebagai sastrawati namanya terkadang juga disebut Hamidah Hasan Delais. Fatimah Hasan Delais meninggal pada tanggal 8 Mei 1953 di RS Charitas Palembang dalam usia 38 tahun dan dimakamkan di kota tersebut.
Selain menulis novel, Hamidah juga menulis puisi, antara lain puisi Berpisah (Poedjangga Baroe Nomor 10 tahun.2, 1935), puisi ini dengan judul yang sama juga dimuat dalam Pandji Poestaka No. 44 Th.13, 1935, pusi Kekalkah? (Pujangga Baru, No. 12 Th.2 1935). Kumpulan puisi bersama yang memuat puisi-puisi karya Hamidah, antara lain, adalah Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (H.B. Jassin, 1963), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979), Tonggak 1 (Linus Suryadi AG, 1987), dan Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan).
Penggunaan nama Hamidah sebagai nama samaran ternyata lebih populer ketimbang nama aslinya. Beberapa pendapat menduga nama samaran ini digunakan untuk menyembunyikan identitas penulis aslinya dari publik.
Penulisan novel Kehilangan Mestika menggunakan alur maju, menceritakan kisah secara bertahap dari awal ke akhir. Fatimah Hasan Delais hidup pada paruh awal abad 20 dimana perubahan akibat politik etis (pendidikan bagi bumiputra) mulai dirasakan oleh banyak orang di nusantara. Masa dimana kelompok intelektual muda Indonesia mulai bermunculan dan bercita-cita merubah keadaan. Potret hidup inilah yang kemudian menjadi latarbelakang penulisannya. Mengungkapkan situasi, kondisi lingkungan, keadaan sosial, serta pertentangan-pertentangan di masa itu yang ia hadapi.
Sebuah rekaman baik yang menjadi referensi atas kondisi Mentok di masa itu. Mewakili situasi dan lingkungan sosial pada masanya, Hamidah mengungkapkan banyak hal tentang Mentok sebagai latarbelakang cerita yang sekaligus adalah kampung halaman penulis.
Tema tentang kemalangan dan kesedihan sang tokoh dalam novel ini yang berlatarbelakang tentang keadaan Mentok di saat itu beririsan dengan upaya Hamidah menegakkan pendidikan bagi perempuan, merubah keadaan, mendobrak paradigma tradisional yang dipandang kurang relevan bagi kemajuan dunia saat itu.
Fatimah Hasan Delais menyampaikan itu kepada pembaca dan mampu diterima sebagai “amanat” intrinsik sebuah karya sastra di zamannya. Bahwa potret yang diungkap penulis dalam karyanya itu dekat dengan kondisi yang dikenali oleh perempuan lain di Indonesia pada waktu itu.
Waktu berjalan, dunia berubah. Potret dalam “Kehilangan Mestika” mungkin tak lagi ditemukan pada kondisi saat ini. Tapi apakah potret kemalangan-kemalangan atas perempuan akibat ketidakadilan jender, situasi politik, sosial dan budaya tidak terjadi?
Apakah akan ada Hamidah-Hamidah baru dari Bangka yang meneruskan merekam potret yang terjadi saat ini menjadi karya yang mampu diterima lalu mampu merubah persepsi kita semua untuk menentukan sikap atau memperbaiki kondisi? Kita sadar, sebuah bacaan yang baik berdampak sangat luas bagi kemajuan. Beberapa karya sastra sudah menempatkan diri di posisi itu dan tak terbantahkan. Contoh baik yang paling dekat adalah Andrea Hirata dari Belitung dengan “Laskar Pelangi” yang secara dahsyat mencuri perhatian dan memperkenalkan Pulau Belitung seperti sekarang ini. Bagaimana dengan Bangka?
Peringatan 110 Tahun Hamidah adalah langkah kecil mengingat kembali jejak kesusastraan penulis perempuan dari Mentok-Bangka bernama Fatimah Hasan Delais.
Mari menghimpun kebaikan yang ada di Pulau Bangka ini untuk bisa digenerasikan sebagai kekayaan kepada generasi selanjutnya. Sesederhana mengenalkan sosok Fatimah Hasan Delais dan Kehilangan Mestika sebagai warisan. Kekayaan intelektual bernilai yang bisa kita banggakan. Mengenangnya sebagai sosok yang telah berbuat baik untuk Pulau Bangka.
Mari berterima kasih dan berdoa untuk Hamidah, juga untuk upaya pemajuan kebudayaan di Pulau Bangka.
Semoga kebaikan akan kembali kepada kita dalam bentuk kebaikan lain yang indah. Salam budaya.
*) Bambang Haryo Suseno adalah Pemerhati sejarah dan budaya di Mentok, Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat.