Pangkalpinang (ANTARA) - Dalam transformasi ekonomi nasional yang digagas pemerintah untuk periode 2025–2029, koperasi kembali menjadi pusat perhatian. Tidak lagi sebagai pelengkap, melainkan sebagai instrumen utama pemerataan ekonomi dan penguatan ketahanan sosial masyarakat.
Salah satu kebijakan yang menegaskan peran ini adalah pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang digagas sebagai bagian integral dari agenda pembangunan nasional berbasis kemandirian lokal. Kebijakan ini tidak hanya sekadar inisiatif ekonomi, tetapi juga langkah politik yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat kecil.
Dengan dasar hukum yang kuat melalui Inpres No. 9 Tahun 2025 dan Keppres No. 9 Tahun 2025, pemerintah menargetkan pembentukan koperasi di seluruh desa dan kelurahan yang bertujuan mendorong pertumbuhan inklusif, meningkatkan produktivitas masyarakat, dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional dari tingkat paling bawah yakni desa.
Misi Ekonomi Kerakyatan yang Diperkuat Regulasi
Koperasi Merah Putih memiliki pijakan kuat dari sisi regulasi. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta RPJMN 2025–2029 menjadi pilar hukum dan kebijakan dalam pelaksanaannya. Ditambah lagi, semangatnya sejalan dengan Asta Cita Presiden, khususnya cita ke-4 dan cita ke-6 yang menekankan pembangunan dari pinggiran dan peningkatan daya saing rakyat. Inpres No. 9 Tahun 2025 menginstruksikan kementerian/lembaga untuk mendukung percepatan pembentukan koperasi, sementara Keppres No. 9 Tahun 2025 membentuk Satuan Tugas Nasional Koperasi Merah Putih sebagai motor koordinasi lintas sektor.
Potensi Transformasi Ekonomi Lokal
Dengan populasi desa yang mencakup lebih dari 40% penduduk Indonesia, koperasi memiliki peluang besar untuk menjadi kekuatan ekonomi baru. Melalui koperasi, desa dapat mengelola potensi lokal seperti pertanian, perikanan, kerajinan, dan pariwisata secara kolektif dan terorganisir. Koperasi juga dapat menjadi saluran distribusi dan logistik, memperpendek rantai pasok, serta meningkatkan nilai tambah produk desa. Tak hanya itu, koperasi berpotensi menjadi kendaraan digitalisasi ekonomi desa.
Di era transformasi digital, koperasi dapat menjalankan layanan e-commerce lokal, pembayaran digital, dan sistem inventori berbasis aplikasi. Dengan dukungan regulasi dan teknologi, koperasi bisa menjadi ujung tombak digitalisasi UMKM.
Tantangan Serius di Lapangan
Namun jalan menuju penguatan koperasi desa tidak mulus. Tantangan utama dari rendahnya kapasitas manajerial dan SDM koperasi. Banyak koperasi yang tidak aktif atau dikelola tidak profesional. Di sisi lain, resistensi dari elite lokal dan tumpang tindih kewenangan antar kelembagaan seperti BUMDes, kelompok tani, dan koperasi lama, seringkali menimbulkan konflik dan kebingungan di tingkat lapangan.
Masalah klasik lainnya adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Koperasi yang dikelola dengan sistem kekeluargaan sering luput dari pengawasan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik. Oleh karena itu, aspek tata kelola menjadi krusial.
Pemerintah perlu memastikan bahwa koperasi tidak menjadi proyek politik jangka pendek, tetapi lembaga ekonomi jangka panjang yang independen dan profesional. Model bisnis proses dan ekosistem usahanya harus diciptakan untuk saling menguatkan dan sinergi antar lembaga ekonomi yang sudah ada seperti Bumdes dan lembaga ekonomi lainnya. Harus dihindarkan dari persaingan yang tidak sehat atau saling melemahkan, jika hal ini terjadi, dampaknya tidak hanya pada bisnis usaha yang dijalankan oleh koperasi, tetapi akan berimplikasi juga pada masalah sosial, mengingat di desa hubungan kekerabatan yang masih kental serta tradisi dan budaya yang masih melekat.
Konflik pengelolaan lembaga ekonomi, bisa jadi terbawa pada hubungan sosial masyarakat desa. Belum lagi soal keterbatasan SDM di Desa yang kebanyakan aktor-aktor di desa orang-orangnya relative sama. Satu orang bisa lebih dari satu peran di desa. Maka pendampingan dan kaderisasi pelaku dan pengelola koperasi dan lembaga ekonomi lainnya sangat diperlukan.
Peran Strategis Pemerintah Daerah dan Desa
Koperasi Merah Putih hanya akan berhasil jika diiringi komitmen kuat dari pemerintah daerah dan desa. Pemerintah daerah memiliki peran dalam menyusun regulasi turunan, mengalokasikan anggaran pendampingan, serta mengintegrasikan koperasi dalam RPJMD. Pelatihan manajemen, dukungan legalitas, dan integrasi sistem informasi koperasi menjadi tanggung jawab penting pemda bersama pemerintah pusat.
Pemerintah desa, di sisi lain, merupakan garda terdepan. Pemerintah desa harus memfasilitasi pembentukan koperasi, menyediakan modal awal dan mengkonsolidasikan keanggotaan koperasi desa secara transparan, serta memastikan partisipasi aktif warga. Kolaborasi antara koperasi dengan BUMDes juga perlu ditekankan agar tidak terjadi duplikasi fungsi atau konflik kewenangan.
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dibentuk pada dasarnya mengacu pada UU Nomor 25 tahun 1992, dimana prinsip koperasi adalah dari, oleh dan untuk anggota. Namun semangat dibentuknya koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih adalah keanggotaan dari seluruh warga desa. Tidak mudah mengkonsolidasikan seluruh warga desa, dimana sebagai anggota koperasi ada kewajiban simpanan pokok, simpanan wajib dan sukarela yang harus dipenuhi anggota. Maka pendampingan dan advokasi bagi pengelola koperasi sangat diperlukan, agar tidak mengulang sejarah kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD) di masa orde baru.
Sinergi dengan RPJMN, Asta Cita dan RPJMD
RPJMN 2025–2029 secara eksplisit menggarisbawahi pentingnya transformasi ekonomi melalui penguatan ekonomi lokal, UMKM, dan koperasi. Koperasi Merah Putih dapat menjadi pelaksana konkret dari visi ini. Dengan fokus pada peningkatan produktivitas, koperasi bisa menjawab tantangan stagnasi ekonomi desa dan urbanisasi berlebih.
Asta Cita sebagai landasan visi pemerintahan juga memberikan kerangka naratif yang kuat. Asta Cita ke-4 yang menekankan pembangunan dari pinggiran sangat relevan dengan esensi koperasi desa. Sedangkan Asta Cita ke-6 yang mendorong daya saing rakyat dapat dicapai melalui peningkatan kapasitas koperasi sebagai entitas bisnis modern yang berdaya saing tinggi. Tentu hal ini juga perlu disinergikan dengan kebijakan Kepala Daerah hasil pilkada serentak yang saat ini sedang menyusun RPJMD untuk 5 tahun yang akan datang.
Respon Publik dan Harapan Masa Depan
Sejauh ini, respon publik terhadap koperasi Merah Putih cukup beragam, ada yang menyambut positif meski disertai harapan besar agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Namun juga ada yang gamang karena pengalaman masa lalu, terkesan kebijakan tiba-tiba, bahkan membandingkan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya yang mendorong BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa sebagaimana dimandatkan oleh UU Desa. Kebijakan Bumdes saja yang sudah berjalan 10 tahun, perkembangannya sangat variatif (tidak semuanya berkembang baik), apalagi Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ini ditargetkan terbentuk 80.000 sebelum tanggal 12 Juli2025 nanti.
Oleh karena itu dalam pengelolaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ini, transparansi, profesionalisme, dan hasil nyata menjadi tuntutan utama masyarakat. Untuk itu, perlu pembentukan sistem evaluasi berkala, audit publik, dan pemanfaatan teknologi untuk pengawasan kinerja koperasi.
Koperasi Merah Putih bukan hanya tentang badan usaha. Ia adalah simbol kebangkitan ekonomi rakyat yang digerakkan dari bawah yang berwatak gotongroyong ciri khas Bangsa Indonesia. Jika dikelola dengan benar, koperasi ini dapat menjadi warisan pembangunan nasional yang menciptakan ekonomi yang adil, berdaulat, dan inklusif. Sudah saatnya koperasi tidak lagi dipandang sebagai pelengkap pembangunan, tetapi sebagai fondasi utama ekonomi Indonesia masa depan.
*) Sugito adalah mahasiswa program Doktoral Ilmu Pemerintahan -IPDN dan Pj Gubernur Bangka Belitung 2024-2025.