Jakarta (ANTARA) - Dunia mode gemar memuja tubuh kurus, sementara negeri ini rajin menimbang warganya seperti memantau masa depan bangsa.
Di layar kaca, kurus tampil sebagai estetika global; di dasbor pemerintah RI, kurus menyalakan radar potensi gizi buruk. Dua dunia yang berjalan sejajar, tapi jaraknya seperti Paris ke Posyandu RT 05.
Di satu sisi, selebritas menghaluskan pipi dan merampingkan pinggang demi sorotan kamera. Di sisi lain, alat timbang Puskesmas bisa berdenging panik karena seseorang kebetulan lahir di negara yang memiliki perhatian pada statistik kesehatan.
Mari menertawakan absurditas ini, sebelum kita sadar bahwa standar tubuh sebetulnya adalah labirin sosial yang kita bangun bersama: rumit, repot, dan sering kali tidak manusiawi. Apalagi ketika kurus menjadi persimpangan antara editorial look standar tubuh yang lahir dari budaya visual majalah mode dan indikator gizi buruk.
Di jagat selebritas global, kurus adalah estetika. Ia bagian dari ritus glamor: tulang selangka yang timbul samar dianggap dramaturgi tubuh, wajah tirus dibaca sebagai efek pencahayaan alami, dan kaki panjang dipuja seperti fondasi katedral mode.
Profesor studi film dan media di Birkbeck, Universitas London, Laura Mulvey, menggambarkan tubuh kurus sebagai properti kamera. Dalam dunia Mulvey, kamera itu ibarat makhluk yang selalu lapar. Ia memangsa tubuh perempuan, lalu menyajikannya sebagai objek yang mudah ditelan pandangan publik. Menurut teori tatapan Mulvey, standar kurus hari ini lahir dari kamera yang gemar mengiris tubuh perempuan seperti koki obsesif yang membentuk sashimi.
Bella Hadid hanyalah satu contoh dari begitu banyaknya selebritas yang tubuhnya dibentuk ulang oleh tuntutan visual industri. Karier Bella pernah digoreng oleh kamera sampai matang betul. Ia berkali-kali mengaku tekanan dari industri fesyen membuatnya terperangkap dalam standar tubuh tertentu. Banyak editorial memoles bentuk tubuhnya agar sesuai selera kamera. Ini sejalan pandangan Mulvey: tubuh yang direkonstruksi demi tatapan publik.
Dunia fesyen membungkus kelangsingan sebagai kemenangan, seolah tubuh adalah kanvas yang harus diratakan dulu sebelum dihias.
Namun, begitu tubuh-tubuh selebritas ini mendarat di Indonesia, maknanya terbalik seketika. Yang di runway Paris disebut editorial look, di dasbor Kemenkes bisa terbaca sebagai suspek gizi buruk. Dua dunia yang jaraknya cuma satu rute penerbangan, tapi tafsir tubuhnya terpaut sejauh galaksi.
Di sini, kurus adalah kode. Begitu angka di timbangan melewati batas tertentu, alat Puskesmas bisa memekik tit tit tit seolah menegur nasib. Ada BLT Gizi Kurang yang siap digelontorkan, ada bansos beras yang bisa didapat, ada kader Posyandu yang siap mengetuk pintu tiap Selasa Legi sambil membawa tabel IMT (Indeks Massa Tubuh).
Bayangkan seorang Victorias Secret Angel berdiri manis dalam antrean pengambilan PMT (Pemberian Makanan Tambahan) di kelurahan, menenteng kupon dua butir telur ayam mingguan. Surreal, tapi secara birokrasi sepenuhnya mungkin.
Masyarakat kita pun sigap membaca tubuh. Ibu-ibu kampung, dengan radar kasih sayang yang tak pernah salah arah, bisa langsung menjatuhkan rasa kasihan pada orang berperawakan kurus. Mereka tak peduli label fesyen; yang mereka pegang adalah logika sederhana: badan harus kuat, berisi.
Paradoks ini menunjukkan bahwa definisi kurus bukan angka netral. Ia dibentuk oleh budaya, kelas sosial, algoritma estetika, dan regulasi negara.
Padahal Badan Kesehatan Dunia (WHO) memandang kurus ekstrem sebagai kondisi yang membuka pintu risiko: anemia, tulang yang rapuh, hingga imunitas yang merosot. Di dalam negeri, Kemenkes mengkategorikan berat badan sangat rendah pada perempuan usia subur sebagai KEK atau Kekurangan Energi Kronis, sebuah status gizi yang menandakan tubuh bekerja dalam mode hemat darurat.
Tubuh menjadi medan tarik-menarik antara prestise dan potensi masalah kesehatan. Dan di persimpangan itulah, kita mulai melihat bahwa kurus bisa menjadi pujian yang berkilau atau alarm yang menyala agresifbergantung di negara mana kamu menimbang diri.
Kurus diurus negara
Begitu tubuh kurus editorial mendarat di tanah air, ia bukan lagi urusan estetika pribadi. Negara akan turun tangan dengan segala perangkat berikut program bantuan sosial.
Di Indonesia, tubuh kurus otomatis mengaktifkan jalur administratif pemerintah, bisa dari jalur Kemenkes atau Kemensos. Ada BLT gizi kurang atau bansos beras 10 kilogram. Ada pelatihan peningkatan nafsu makan yang diselenggarakan ibu-ibu PKK. Semua ini lahir dari niat baik negara untuk menolong sebagai intervensi nutrisi.
Bayangkan adegan ini: Bella Hadid berdiri patuh di Puskesmas, menunggu giliran timbang. Kader posyandu menegur lembut, Mbak, sepatunya dilepas dulu biar akurat. Lalu dokter berkata, Enggak apa-apa, Mbak. Banyak kok yang begini. Yang penting rutin makan nasi. Atau imbauan klasik: minum susu kental manis tiga kali sehari. Sebuah gagasan yang pernah dipromosikan sebagai sumber gizi, walaupun akhirnya direvisi karena produk dimaksud ternyata tidak mengandung susu. Dengan sketsa imajiner ini, tubuh selebritas dunia langsung tumbang di hadapan logika kesehatan ala Nusantara.
Masyarakat ikut berperan. Ibu-ibu kampung menawarkan sayur sop, tetangga menyodorkan perkedel kentang, dan para bapak merasa wajib memberi ceramah singkat tentang pentingnya sarapan. Tubuh kurus diperlakukan seperti tamu negara yang harus segera disuguhi nutrisi, bukan biosfer estetika yang ingin dipertahankan pemiliknya.
Di perkampungan, anak-anak kurus menjadi aib bagi orang tua karena takut dikira tidak diberi makan yang cukup. Bila yang memiliki badan kurus adalah seorang wanita berstatus menikah, maka sang suami akan menjadi tersangka yang dianggap tidak mampu menyejahterakan istri.
Di tengah hiruk-pikuk ini, lahir satu kesimpulan lucu: tubuh kurus menjadi simbol sosial yang terlalu bernilai untuk dibiarkan netral. Ia bisa menjadi kebanggaan kelas menengah urban yang terpapar estetika global, namun dalam konteks lokal langsung berubah menjadi indikator rawan pangan. Maka muncullah istilah karangan kita: Kurnut (kurang nutrisi) Globalkelas menengah yang kurus bukan karena diet estetika, tapi karena tafsir budaya bertabrakan dengan standar gizi nasional.
Indonesia, dengan segala kehangatan dan keruwetan administratifnya, akhirnya menjadikan tubuh kurus sebagai ruang negosiasi identitas. Antara ingin tampil stylish dan dianggap sehat oleh negara, tubuh harus memilih: tampil seperti sampul majalah, atau lolos dari radar Kemenkes.
Standar sehat
Dunia yang ribut soal tubuh kurus sering lupa bahwa manusia bukan papan iklan. Kita punya darah, letih, dan kebutuhan makan tiga kali sehari yang tidak bisa digantikan filter aesthetic apapun.
Di Barat, kurus dianggap seni; di kampung-kampung Indonesia, ia dianggap alarm darurat. Dan dua tafsir ini sering membuat orang terombang-ambing di tengah pusaran komentar.
Sampai kapan tubuh harus menjadi arena kompetisi tafsir? Ketika selebritas dipuja karena kurus, dan masyarakat lokal panik karena kurus, keduanya sesungguhnya sama-sama kehilangan fokus.
Tubuh tidak sedang meminta dinilai. Tubuh hanya ingin diberi makan yang benar, istirahat yang cukup, dan diperlakukan sebagai rumah yang layak.
Sebab dalam kenyataan sehari-hari, banyak orang yang kurus bukan karena program diet mahal, melainkan stres kerja, jam tidur berantakan, atau ekonomi yang membuat dapur rapuh.
Di titik ini lelucon berhenti sebentar, menyisakan kenyataan sosial yang tidak lucu-lucu amat. Kita tertawa karena absurditasnya, tapi kita paham: tubuh sering menanggung hal-hal yang tidak bisa diucapkan.
Dan di ujungnya, ada pengingat sunyi yang sering tenggelam oleh hiruk-pikuk standar: tubuh adalah amanah. Ia bukan hadiah hiburan, bukan properti publik, dan bukan juga alat branding diri.
Merawatnya adalah bentuk syukur paling sederhana kepada Sang Pencipta yang menitipkan raga ini. Bukan soal kurus atau gemuk, bukan soal editorial look atau standar Kemenkes. Yang penting: tubuh bekerja sebagaimana mestinya, hati tidak sesak, dan kepala tetap jernih menjalani hidup.
Mungkin itu inti dari semua kekacauan definisi kurus: kita sedang belajar menyudahi obsesi atas tampilan, lalu kembali menata hubungan dengan tubuh sendiri. Agar suatu hari kita bisa berkata tanpa beban: Aku merawat tubuhku bukan untuk tampil hebat, tapi karena aku bersyukur masih hidup di dalamnya.
