Jakarta (Antara Babel) - Banyak pakar kelautan telah menyatakan bahwa masa depan sektor perikanan bukan lagi dengan menangkap ikan yang tersebar di alam liar, tetapi membudidayakannya secara baik dan tepat untuk hasil yang produktif.
Untuk itu, tidak salah pula bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkolaborasi dengan sejumlah pihak, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk fokus mengembangkan teknologi budi daya dalam rangka meningkatkan produktivitas sejumlah komoditas sektor perikanan.
"Sektor perikanan diprediksi akan menjadi barometer utama dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Di sisi lain, orientasi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari konsumsi daging merah ke daging putih akan semakin memicu ketergantungan masyarakat pada sumber protein ikan," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.
Menurut Slamet, satu-satunya jalan guna memenuhi kebutuhan pangan nasional adalah dengan mendorong peningkatan produksi nasional berbasis komoditas unggulan melalui pengembangan inovasi teknologi yang efektif, efisien, dan mampu diadopsi secara massal oleh masyarakat.
Sebagai salah satu lembaga pengkajian dan penerapan teknologi yang ada di Indonesia, lanjutnya, BPPT memiliki peran strategis terutama dalam menciptakan inovasi teknologi perikanan budi daya, sehingga kerja sama dengan KKP penting dalam memberikan solusi bagi optimalisasi sumber daya perikanan budi daya.
Slamet menggarisbawahi bahwa inovasi teknologi yang berbasis mitigasi dan konservasi, pemilihan komoditas atau spesies yang memiliki kinerja lebih baik khususnya yang adaptif terhadap kondisi lingkungan sejak dini harus menjadi fokus pengembangan.
"Fokus kerja sama KKP dengan BPPT ke depan, saya rasa perlu lebih difokuskan pada upaya-upaya bagaimana mendorong produktivitas tinggi di tengah tantangan perubahan iklim dan lingkungan global saat ini," kata Dirjen Perikanan Budi Daya KKP.
Pada subsektor perikanan budi daya, kerja sama KKP-BPPT setidaknya akan diarahkan pada lima bidang yaitu pengembangan spesies ikan yang adaptif, teknologi di bidang genetika, pengembangan hormone rekombinan, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, dan pengembangan teknologi nutrisi (pakan).
Berdasarkan data KKP, hingga tahun 2019 tingkat konsumsi ikan per kapita Indonesia diproyeksikan akan mencapai lebih dari 50 kg per kapita. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan pasokan setidaknya sebanyak 14,6 juta ton ikan konsumsi per tahun.
Keamanan pangan
Selain produktivitas, hal lain yang disinergikan oleh KKP antara lain adalah terkait aspek keamanan pangan, di mana Slamet menyatakan, pihaknya mempelajari ilmu penanganan vaksinasi dan penyakit perikanan di Jepang untuk pengembangan sektor kelautan di Tanah Air.
Menurut dia, pihaknya juga sudah menjajaki kerja sama dengan lembaga riset kelautan dan perikanan Jepang, yaitu National Research Institute of Aquaculture.
Slamet berpendapat, Indonesia dapat mempelajari kandungan nutrisi dan pembuatan pakan ikan laut dari lembaga tersebut, setelah keberhasilan mereka membuat pakan ikan "red sea bream".
Selain pembuatan pakan ikan, Slamet juga mempelajari peluang pengembangan benih sidat dan penanganan penyakit ikan laut.
Sinergi lainnya yang dilakukan KKP adalah dalam menata infrastruktur lahan tambak tradisional yang ada di berbagai daerah.
"Penting bagi KKP menjalin kerja sama dengan pihak terkait dalam mendorong penataan kawasan perikanan budi daya yaitu melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang secara langsung berdampak pada peningkatan produktivitas budidaya," kata Slamet Soebjakto.
Menurut Slamet, tantangan terbesar pengembangan budi daya udang dan ikan khususnya di kawasan tambak adalah penuruan kualitas lingkungan yang memicu hama dan penyakit ikan.
Kejadian itu, ujar dia, salah satunya karena dipicu oleh kondisi infrastruktur tambak yang buruk, sehingga penting perencanaan dalam rangka penataan kawasan budidaya yang terintegrasi.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa potensi indikatif lahan budi daya air payau di Indonesia mencapai 2,9 juta ha dengan total pemanfaatan hingga tahun 2015 baru 715.846 ha atau sekitar 24,14 persen.
Dari data luas lahan yang dimanfaatkan tersebut, tambak tradisional masih mendominasi dengan tingkat pemanfaatan lebih dari 60 persen dari total lahan termanfaatkan.
"Tambak-tambak tradisional inilah yang butuh penataan karena cenderung memiliki infrastruktur buruk dan tata letak yang tidak beraturan. Melalui penataan kawasan budi daya yang berbasis klaster, akan memungkinkan pengelolaan dan penerapan biosecurity dengan mudah," ujarnya.
Berbasis ekosistem
Selain itu, KKP bersama-sama dengan WWF juga telah merancang pedoman pengelolaan perikanan budidaya berbasis ekosistem.
"Langkah ini sebagai upaya mengimplementasikan pola pengelolaan budidaya yang bertanggung jawab sebagaimana mandat dalam Kode Etik Perikanan Berkelanjutan FAO," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP.
Menurut Slamet, hal tersebut penting mengingat isu lingkungan saat ini telah menjadi perhatian masyarakat global. Fenomena penurunan daya dukung lingkungan hidup akibat pengelolaan yang tidak terkendali juga mengancam eksistensi sumber daya alam.
Untuk itu, ujar dia, aspek lingkungan menjadi pertimbangan utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk dalam subsektor perikanan budi daya.
Pedoman tersebut, memberikan acuan bagi para pelaku usaha bagaimana melakukan pengelolaan usaha budi daya yang mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
"Kegiatan usaha budidaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, ke depan aktivitas usaha budidaya harus dilakukan dengan tetap menjamin kelestarian ekosistem melalui penerapan prinsip eko-efisiensi," katanya.
Dirjen Perikanan Budidaya menjelaskan, prinsip eko-efisiensi yaitu mendorong produktivitas dengan tetap menjaga kualitas lingkungan yang ada.
Selain itu, tambah Slamet, pedoman itu juga menuntut pengelolaan kawasan budi daya secara terpadu, khususnya dalam mengatasi tantangan yang terkait di dalam permasalahan yang terjadi di perairan umum, di mana kawasan budidaya pada wilayah tersebut kerap bersifat "open access", dan melibatkan multisektor atau banyak pihak.
Sementara itu, Direktur CTI-WWF Indonesia Wawan Ridwan menyatakan, pedoman itu merupakan bentuk perhatian bersama dalam menjamin keberlanjutan SDA dan lingkungan hidup.
Menurut Wawan Ridwan, perikanan budi daya tidak bisa dilepaskan dari daya dukung kapasitas ekosistem secara keseluruhan.
Untuk itu, ujar dia, pengelolaan budidaya yang tidak mengindahkan daya dukung dan peran ekosistem sama saja "bunuh diri" dalam investasi usaha.
Wawan menambahkan, sub sektor perikanan budidaya memiliki peran sentral dalam mencukupi kebutuhan pangan global, oleh karena itu penting bagaimana menjamin keberlanjutan aktivitas perikanan budidaya termasuk jaminan ketelurusan produk.
Percepat perizinan
Sebelumnya, KKP juga mempercepat proses tata kelola perizinan dalam rangka membantu pelaku usaha serta mengembangkan produktivitas sektor kelautan dan perikanan.
"Lama proses mengurus perizinan yang dulunya 20 hari akan kami dorong menjadi lima hari," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja dalam konferensi pers di Gedung Mina Bahari II, KKP, Jakarta, Rabu (12/4).
Apalagi, menurut Sjarief Widjaja, proses perizinan yang diurus di KKP hanyalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), buku kapal, dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sedangkan yang lainnya di institusi lainnya seperti Kemenhub.
Dia memaparkan, konsep reformasi perizinan adalah dalam rangka menargetkan peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi, sehingga kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) meningkat, yang dinilai bakal berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelaku usaha termasuk nelayan.
Sementara itu, pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menjabarkan, KKP perlu lebih mendorong kepastian berusaha dalam pengembangan sektor perikanan dibandingkan mengerjakan proyek yang kurang bermanfaat secara meluas bagi masyarakat pesisir.
"Pelaku usaha perikanan memerlukan kepastian usaha ketimbang pembangunan fisik yang tak jelas manfaatnya," kata Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan.
Menurut Abdul Halim, kepastian usaha bidang perikanan itu meliputi perizinan yang transparan, pelayanan pelabuhan yang prima, dan jaminan keterhubungan hulu dan hilir sektor kelautan.
Dia berpendapat, tanpa menghadirkan kepastian usaha, anggaran negara dinilai juga akan terbuang percuma dan tidak bermanfaat bagi masyarakat kelautan dan perikanan nasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Untuk itu, tidak salah pula bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berkolaborasi dengan sejumlah pihak, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk fokus mengembangkan teknologi budi daya dalam rangka meningkatkan produktivitas sejumlah komoditas sektor perikanan.
"Sektor perikanan diprediksi akan menjadi barometer utama dalam mencukupi kebutuhan pangan nasional, seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang terus meningkat. Di sisi lain, orientasi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari konsumsi daging merah ke daging putih akan semakin memicu ketergantungan masyarakat pada sumber protein ikan," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.
Menurut Slamet, satu-satunya jalan guna memenuhi kebutuhan pangan nasional adalah dengan mendorong peningkatan produksi nasional berbasis komoditas unggulan melalui pengembangan inovasi teknologi yang efektif, efisien, dan mampu diadopsi secara massal oleh masyarakat.
Sebagai salah satu lembaga pengkajian dan penerapan teknologi yang ada di Indonesia, lanjutnya, BPPT memiliki peran strategis terutama dalam menciptakan inovasi teknologi perikanan budi daya, sehingga kerja sama dengan KKP penting dalam memberikan solusi bagi optimalisasi sumber daya perikanan budi daya.
Slamet menggarisbawahi bahwa inovasi teknologi yang berbasis mitigasi dan konservasi, pemilihan komoditas atau spesies yang memiliki kinerja lebih baik khususnya yang adaptif terhadap kondisi lingkungan sejak dini harus menjadi fokus pengembangan.
"Fokus kerja sama KKP dengan BPPT ke depan, saya rasa perlu lebih difokuskan pada upaya-upaya bagaimana mendorong produktivitas tinggi di tengah tantangan perubahan iklim dan lingkungan global saat ini," kata Dirjen Perikanan Budi Daya KKP.
Pada subsektor perikanan budi daya, kerja sama KKP-BPPT setidaknya akan diarahkan pada lima bidang yaitu pengembangan spesies ikan yang adaptif, teknologi di bidang genetika, pengembangan hormone rekombinan, pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan, dan pengembangan teknologi nutrisi (pakan).
Berdasarkan data KKP, hingga tahun 2019 tingkat konsumsi ikan per kapita Indonesia diproyeksikan akan mencapai lebih dari 50 kg per kapita. Dengan demikian untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan pasokan setidaknya sebanyak 14,6 juta ton ikan konsumsi per tahun.
Keamanan pangan
Selain produktivitas, hal lain yang disinergikan oleh KKP antara lain adalah terkait aspek keamanan pangan, di mana Slamet menyatakan, pihaknya mempelajari ilmu penanganan vaksinasi dan penyakit perikanan di Jepang untuk pengembangan sektor kelautan di Tanah Air.
Menurut dia, pihaknya juga sudah menjajaki kerja sama dengan lembaga riset kelautan dan perikanan Jepang, yaitu National Research Institute of Aquaculture.
Slamet berpendapat, Indonesia dapat mempelajari kandungan nutrisi dan pembuatan pakan ikan laut dari lembaga tersebut, setelah keberhasilan mereka membuat pakan ikan "red sea bream".
Selain pembuatan pakan ikan, Slamet juga mempelajari peluang pengembangan benih sidat dan penanganan penyakit ikan laut.
Sinergi lainnya yang dilakukan KKP adalah dalam menata infrastruktur lahan tambak tradisional yang ada di berbagai daerah.
"Penting bagi KKP menjalin kerja sama dengan pihak terkait dalam mendorong penataan kawasan perikanan budi daya yaitu melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang secara langsung berdampak pada peningkatan produktivitas budidaya," kata Slamet Soebjakto.
Menurut Slamet, tantangan terbesar pengembangan budi daya udang dan ikan khususnya di kawasan tambak adalah penuruan kualitas lingkungan yang memicu hama dan penyakit ikan.
Kejadian itu, ujar dia, salah satunya karena dipicu oleh kondisi infrastruktur tambak yang buruk, sehingga penting perencanaan dalam rangka penataan kawasan budidaya yang terintegrasi.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa potensi indikatif lahan budi daya air payau di Indonesia mencapai 2,9 juta ha dengan total pemanfaatan hingga tahun 2015 baru 715.846 ha atau sekitar 24,14 persen.
Dari data luas lahan yang dimanfaatkan tersebut, tambak tradisional masih mendominasi dengan tingkat pemanfaatan lebih dari 60 persen dari total lahan termanfaatkan.
"Tambak-tambak tradisional inilah yang butuh penataan karena cenderung memiliki infrastruktur buruk dan tata letak yang tidak beraturan. Melalui penataan kawasan budi daya yang berbasis klaster, akan memungkinkan pengelolaan dan penerapan biosecurity dengan mudah," ujarnya.
Berbasis ekosistem
Selain itu, KKP bersama-sama dengan WWF juga telah merancang pedoman pengelolaan perikanan budidaya berbasis ekosistem.
"Langkah ini sebagai upaya mengimplementasikan pola pengelolaan budidaya yang bertanggung jawab sebagaimana mandat dalam Kode Etik Perikanan Berkelanjutan FAO," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP.
Menurut Slamet, hal tersebut penting mengingat isu lingkungan saat ini telah menjadi perhatian masyarakat global. Fenomena penurunan daya dukung lingkungan hidup akibat pengelolaan yang tidak terkendali juga mengancam eksistensi sumber daya alam.
Untuk itu, ujar dia, aspek lingkungan menjadi pertimbangan utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk dalam subsektor perikanan budi daya.
Pedoman tersebut, memberikan acuan bagi para pelaku usaha bagaimana melakukan pengelolaan usaha budi daya yang mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
"Kegiatan usaha budidaya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, ke depan aktivitas usaha budidaya harus dilakukan dengan tetap menjamin kelestarian ekosistem melalui penerapan prinsip eko-efisiensi," katanya.
Dirjen Perikanan Budidaya menjelaskan, prinsip eko-efisiensi yaitu mendorong produktivitas dengan tetap menjaga kualitas lingkungan yang ada.
Selain itu, tambah Slamet, pedoman itu juga menuntut pengelolaan kawasan budi daya secara terpadu, khususnya dalam mengatasi tantangan yang terkait di dalam permasalahan yang terjadi di perairan umum, di mana kawasan budidaya pada wilayah tersebut kerap bersifat "open access", dan melibatkan multisektor atau banyak pihak.
Sementara itu, Direktur CTI-WWF Indonesia Wawan Ridwan menyatakan, pedoman itu merupakan bentuk perhatian bersama dalam menjamin keberlanjutan SDA dan lingkungan hidup.
Menurut Wawan Ridwan, perikanan budi daya tidak bisa dilepaskan dari daya dukung kapasitas ekosistem secara keseluruhan.
Untuk itu, ujar dia, pengelolaan budidaya yang tidak mengindahkan daya dukung dan peran ekosistem sama saja "bunuh diri" dalam investasi usaha.
Wawan menambahkan, sub sektor perikanan budidaya memiliki peran sentral dalam mencukupi kebutuhan pangan global, oleh karena itu penting bagaimana menjamin keberlanjutan aktivitas perikanan budidaya termasuk jaminan ketelurusan produk.
Percepat perizinan
Sebelumnya, KKP juga mempercepat proses tata kelola perizinan dalam rangka membantu pelaku usaha serta mengembangkan produktivitas sektor kelautan dan perikanan.
"Lama proses mengurus perizinan yang dulunya 20 hari akan kami dorong menjadi lima hari," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja dalam konferensi pers di Gedung Mina Bahari II, KKP, Jakarta, Rabu (12/4).
Apalagi, menurut Sjarief Widjaja, proses perizinan yang diurus di KKP hanyalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), buku kapal, dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)/Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sedangkan yang lainnya di institusi lainnya seperti Kemenhub.
Dia memaparkan, konsep reformasi perizinan adalah dalam rangka menargetkan peningkatan produktivitas dan nilai ekonomi, sehingga kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) meningkat, yang dinilai bakal berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelaku usaha termasuk nelayan.
Sementara itu, pengamat sektor kelautan dan perikanan Abdul Halim menjabarkan, KKP perlu lebih mendorong kepastian berusaha dalam pengembangan sektor perikanan dibandingkan mengerjakan proyek yang kurang bermanfaat secara meluas bagi masyarakat pesisir.
"Pelaku usaha perikanan memerlukan kepastian usaha ketimbang pembangunan fisik yang tak jelas manfaatnya," kata Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan.
Menurut Abdul Halim, kepastian usaha bidang perikanan itu meliputi perizinan yang transparan, pelayanan pelabuhan yang prima, dan jaminan keterhubungan hulu dan hilir sektor kelautan.
Dia berpendapat, tanpa menghadirkan kepastian usaha, anggaran negara dinilai juga akan terbuang percuma dan tidak bermanfaat bagi masyarakat kelautan dan perikanan nasional.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017