Ternyata upaya untuk menegakkan demokrasi serta membuat pencitraan" yang "mantap" bagi lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR tidaklah mudah, karena untuk membiayai kegiatan Panitia Angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang hanya bekerja sekitar dua bulan diperlukan uang rakyat Rp3,2 miliar.
Selain uang rakyat yang pasti seharusnya bisa digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan demi masyarakat terutama yang berada di kalangan bawah ternyata upaya membahas lembaga antirasuah itu juga tidak didukung oleh semua fraksi di lembaga perwakilan rakyat itu.
Kenapa hal itu bisa sampai terjadi?
Sedikitnya tujuh fraksi telah bersepakat untuk "menguliti" lembaga antirasuah itu, terutama karena KPK menolak untuk membongkar pengakuan wakil rakyat Miryam Haryani dari Fraksi Hanura tentang pengakuannya mengenai penerimaan uang "fee" atau kasarnya sogokan yang diterima oleh segelintir wakil rakyat dari beberapa pengusaha dalam proyek pembuatan kartu tanda penduduk (KTP-elektronik) yang nilainya sangat aduhai sekitar Rp5,9 triliun yang sekitar Rp3 triliun di antaranya "lenyap' dikorupsi.
Ketua Panitia Angket Agun Gunandjar dan Wakil Ketuaa Masinton Pasaribu pada dasarnya mengakui dasar pemikiran pembentukan Panitia Angket ini didasarkan kekecewaan segelintir wakil rakyat terhadap KPK untuk membeberkan pengakuan Miryam tentang nama- nama anggota DPR yang diduga keras ikut menikmati uang proyek KTP-Elektronik itu.
Para anggota Panitia Angket mengemukakan "1001" alasan untuk mempertanyakan kinerja lembaga pembongkar kasus-kasus korupsi tersebut yang hingga detik ini masih sangat dihormati oleh mayoritas warga negara Indonesia dengan dalih utama mempertanyakan alasan KPK untuk terus menutupi rahasia yang diakui Miryam yang kemudian ternyata telah mencabut kembali keterangannya di depan para penyidik KPK mengenai kasus ini.
Karena itu, seharusya para anggota Pansus merenungkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meninjau ruang wartawan di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (13/6) mengenai kasus ini.
Jokowi dengan tegas menyatakan jika KPK memang perlu melakukan perbaikan maka hal itu dilakukan dengan landasan untuk membuat pemberantasan korupsi. Karena itu Kepala Negara mengingatkan sejumlah pihak untuk tidak berusaha melemahkan KPK.
Ditegaskan pula bahwa upaya untuk menangani korupsi sama sekali tidak boleh mengendur sedikitpun .
"Kita masih memerlukan upaya yang luar biasa dalam hal pemberantasan korupsi," demikian penegasan mantan wali kota Solo dan juga mantan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu.
Dengan memikirkan serta merenungkan pernyataan Joko Widodo itu, maka masih perlukah upaya untuk melemahkan "daya tempur" KPK yang diduga keras dilakukan segelintir penghuni gedung Senayan itu ?
DPR memang merupakan sebuah lembaga politik sehingga para wakil rakyat berhak berbicara apa pun juga yang sesuai dengan selera partai politik yang diwakilinya dan juga pikiran pribadi para anggota DPR itu.
Namun mereka juga perlu berpikir bahwa mereka bisa duduk di Senayan hanya karena rakyat atau para pemilih mencoblos nama atau atau gambar mereka pada pemilihan umum .
Gara-gara gambar mereka dicoblos oleh jutaan rakyat maka mereka bisa menduduki kursi empuk di Senayan dengan gaji puluhan juta rupiah tiap bulannya.
Selain itu, mereka menikmati pula setumpuk fasilitas yang bisa menitikkan air liur para pemilihnya mulai rumah dinas selama lima tahun, mobil yang disubsidi pemerintah atas nama rakyat sekitar Rp140 juta per per orang serta berbagai kemudahan lainnya.
Kasus
Pengakuan Miryam di depan penyidik-penyidik KPK tentang penyelewengan dana pembuatan KPT elektronik mengungkapkan begitu banyak wakil rakyat yang ikut menikmati uang "haram" itu mulai dari anggota biasa, pimpinan fraksi hingga yang sekarang duduk sebagai pemimpin di Senayan. Juga ada pengusaha baik dari badan usaha milik negara alias BUMN hingga pengusaha swasta.
Kasus ini memang terjadi masa pemerintahan yang lalu. Tapi juga rakyat pasti ingat atau tak mungkin melupakan bahwa saat ini juga ada wakil rakyat yang terlibat dalam proyek-proyek dari pemerintah nilainya miliaran, ratusan miliar rupiah hingga triliunan rupiah.
Pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik seperti di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sedikit banyaknya ikut melibatkan wakil rakyat.
Sementara itu pada masa lalu saja, ada anggota DPR yang tega- teganya melibatkan diri atau terlibat dalam korupsi proyek pembuatan kitab suci Al Quran. Belum lagi misalnya pembangunan sarana olah raga di Hambalang, Bogor.
Nama-nama anggota DPR mulai dari Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum baru merupakan segelintir nama yang merusak citra Senayan. Belum lagi di tingkat DPRD-DPRD.
Sementara itu secara bergantian para wakil yang duduk di Senayan secara bergantian mengajak "dirinya sendiri" untuk ke luar negeri dengan "1001" macam dalih yang biasanya disebut sebagai studi banding atau diundang oleh negara lain.
Ketika pembentukan Panitia Angket ini dibentuk, timbul suara pertanyaan di DPR, karena seharusnya pembentukan kelompok ad hoc itu didukung oleh seluruh fraksi tanpa kecuali.
Namun saat itu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tetap saja mengetok palu tanda sahnya pembentukan Pantia Angket ini. Bahkan beberapa hari kemudian Fahri Hamzah menyebut-nyebut bahwa di KPK juga ada "kebusukan". Apa maksud pernyataan itu?.
Tanpa terasa dua tahun lagi puluhan juta atau ratusan juta warga Indonesia akan mengikuti pemilihan umum yang disebut-sebut akan berlangsung serentak yaitu pemilihan anggota DPR dan DPRD,DPD yang serentak dengan pemiihan presiden dan wakil presiden.
Selama puluhan tahun, jika pemilu berlangsung maka ada kelompok yang secara sengaja tidak mau mencoblos yang disebut golput atau golongan putih yang menolak mencoblos dengan alasan politis.
Jika ulah para pimpinan dan anggota DPR tetap "begitu-begitu saja" kelakuannya maka bisa diperkirakan kelompok golput akan muncul lagi pada pemilu 2019 dan bisa diperkirakan para wakil rakyat mendatang tidak benar-benar mewakili seluruh rakyat Indonesia ada jutaan calon pemilih yang tidak sudi mencoblos.
Kalau sudah begitu, maka yang rugi adalah seluruh rakyat Indonesia dan bukan saja lembaga DPR, DPRD, MPR serta DPD.
Karena itu, tidak ada salahnya jika rakyat mendesak para wakil rakyat supaya mereka benar-benar memikirkan rakyatnya dan bukan diri mereka sendiri atau partai politiknya.
Tawar menawar presidential threshold serta parliamentary treshold yang saat ini terjadi di DPR tidak ubahnya barter atau tawar-menawar politik misalnya ada tawar menawar 10, 15 hingga 20-25 persen.
Bahkan disebut-sebut ada ketua parpol yang bersedia menaikkan posisinya dari 10 persen menjadi 15 hingga 20 persen asalkan ada "imbalannya". Jadi duduk di partai politik dan juga di DPR menjadi sarana barter untuk mendapat "imbalan" yang nilianya bisa miliaran rupiah. Beginikah sikap politisi yang patut ditiru rakyat?
Karena itu, jika para para politisi masih ingat terhadap semua pemilih atau konstituennya maka segera kembalilah kepada rakyatnya.
Janganlah terus-menerus menyiksa, membohongi rakyat dengan berbagai dalih.
Hai pemimpin, kembalilah kepada rakyat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Selain uang rakyat yang pasti seharusnya bisa digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan demi masyarakat terutama yang berada di kalangan bawah ternyata upaya membahas lembaga antirasuah itu juga tidak didukung oleh semua fraksi di lembaga perwakilan rakyat itu.
Kenapa hal itu bisa sampai terjadi?
Sedikitnya tujuh fraksi telah bersepakat untuk "menguliti" lembaga antirasuah itu, terutama karena KPK menolak untuk membongkar pengakuan wakil rakyat Miryam Haryani dari Fraksi Hanura tentang pengakuannya mengenai penerimaan uang "fee" atau kasarnya sogokan yang diterima oleh segelintir wakil rakyat dari beberapa pengusaha dalam proyek pembuatan kartu tanda penduduk (KTP-elektronik) yang nilainya sangat aduhai sekitar Rp5,9 triliun yang sekitar Rp3 triliun di antaranya "lenyap' dikorupsi.
Ketua Panitia Angket Agun Gunandjar dan Wakil Ketuaa Masinton Pasaribu pada dasarnya mengakui dasar pemikiran pembentukan Panitia Angket ini didasarkan kekecewaan segelintir wakil rakyat terhadap KPK untuk membeberkan pengakuan Miryam tentang nama- nama anggota DPR yang diduga keras ikut menikmati uang proyek KTP-Elektronik itu.
Para anggota Panitia Angket mengemukakan "1001" alasan untuk mempertanyakan kinerja lembaga pembongkar kasus-kasus korupsi tersebut yang hingga detik ini masih sangat dihormati oleh mayoritas warga negara Indonesia dengan dalih utama mempertanyakan alasan KPK untuk terus menutupi rahasia yang diakui Miryam yang kemudian ternyata telah mencabut kembali keterangannya di depan para penyidik KPK mengenai kasus ini.
Karena itu, seharusya para anggota Pansus merenungkan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat meninjau ruang wartawan di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (13/6) mengenai kasus ini.
Jokowi dengan tegas menyatakan jika KPK memang perlu melakukan perbaikan maka hal itu dilakukan dengan landasan untuk membuat pemberantasan korupsi. Karena itu Kepala Negara mengingatkan sejumlah pihak untuk tidak berusaha melemahkan KPK.
Ditegaskan pula bahwa upaya untuk menangani korupsi sama sekali tidak boleh mengendur sedikitpun .
"Kita masih memerlukan upaya yang luar biasa dalam hal pemberantasan korupsi," demikian penegasan mantan wali kota Solo dan juga mantan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu.
Dengan memikirkan serta merenungkan pernyataan Joko Widodo itu, maka masih perlukah upaya untuk melemahkan "daya tempur" KPK yang diduga keras dilakukan segelintir penghuni gedung Senayan itu ?
DPR memang merupakan sebuah lembaga politik sehingga para wakil rakyat berhak berbicara apa pun juga yang sesuai dengan selera partai politik yang diwakilinya dan juga pikiran pribadi para anggota DPR itu.
Namun mereka juga perlu berpikir bahwa mereka bisa duduk di Senayan hanya karena rakyat atau para pemilih mencoblos nama atau atau gambar mereka pada pemilihan umum .
Gara-gara gambar mereka dicoblos oleh jutaan rakyat maka mereka bisa menduduki kursi empuk di Senayan dengan gaji puluhan juta rupiah tiap bulannya.
Selain itu, mereka menikmati pula setumpuk fasilitas yang bisa menitikkan air liur para pemilihnya mulai rumah dinas selama lima tahun, mobil yang disubsidi pemerintah atas nama rakyat sekitar Rp140 juta per per orang serta berbagai kemudahan lainnya.
Kasus
Pengakuan Miryam di depan penyidik-penyidik KPK tentang penyelewengan dana pembuatan KPT elektronik mengungkapkan begitu banyak wakil rakyat yang ikut menikmati uang "haram" itu mulai dari anggota biasa, pimpinan fraksi hingga yang sekarang duduk sebagai pemimpin di Senayan. Juga ada pengusaha baik dari badan usaha milik negara alias BUMN hingga pengusaha swasta.
Kasus ini memang terjadi masa pemerintahan yang lalu. Tapi juga rakyat pasti ingat atau tak mungkin melupakan bahwa saat ini juga ada wakil rakyat yang terlibat dalam proyek-proyek dari pemerintah nilainya miliaran, ratusan miliar rupiah hingga triliunan rupiah.
Pembangunan berbagai sarana dan prasarana fisik seperti di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sedikit banyaknya ikut melibatkan wakil rakyat.
Sementara itu pada masa lalu saja, ada anggota DPR yang tega- teganya melibatkan diri atau terlibat dalam korupsi proyek pembuatan kitab suci Al Quran. Belum lagi misalnya pembangunan sarana olah raga di Hambalang, Bogor.
Nama-nama anggota DPR mulai dari Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum baru merupakan segelintir nama yang merusak citra Senayan. Belum lagi di tingkat DPRD-DPRD.
Sementara itu secara bergantian para wakil yang duduk di Senayan secara bergantian mengajak "dirinya sendiri" untuk ke luar negeri dengan "1001" macam dalih yang biasanya disebut sebagai studi banding atau diundang oleh negara lain.
Ketika pembentukan Panitia Angket ini dibentuk, timbul suara pertanyaan di DPR, karena seharusnya pembentukan kelompok ad hoc itu didukung oleh seluruh fraksi tanpa kecuali.
Namun saat itu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tetap saja mengetok palu tanda sahnya pembentukan Pantia Angket ini. Bahkan beberapa hari kemudian Fahri Hamzah menyebut-nyebut bahwa di KPK juga ada "kebusukan". Apa maksud pernyataan itu?.
Tanpa terasa dua tahun lagi puluhan juta atau ratusan juta warga Indonesia akan mengikuti pemilihan umum yang disebut-sebut akan berlangsung serentak yaitu pemilihan anggota DPR dan DPRD,DPD yang serentak dengan pemiihan presiden dan wakil presiden.
Selama puluhan tahun, jika pemilu berlangsung maka ada kelompok yang secara sengaja tidak mau mencoblos yang disebut golput atau golongan putih yang menolak mencoblos dengan alasan politis.
Jika ulah para pimpinan dan anggota DPR tetap "begitu-begitu saja" kelakuannya maka bisa diperkirakan kelompok golput akan muncul lagi pada pemilu 2019 dan bisa diperkirakan para wakil rakyat mendatang tidak benar-benar mewakili seluruh rakyat Indonesia ada jutaan calon pemilih yang tidak sudi mencoblos.
Kalau sudah begitu, maka yang rugi adalah seluruh rakyat Indonesia dan bukan saja lembaga DPR, DPRD, MPR serta DPD.
Karena itu, tidak ada salahnya jika rakyat mendesak para wakil rakyat supaya mereka benar-benar memikirkan rakyatnya dan bukan diri mereka sendiri atau partai politiknya.
Tawar menawar presidential threshold serta parliamentary treshold yang saat ini terjadi di DPR tidak ubahnya barter atau tawar-menawar politik misalnya ada tawar menawar 10, 15 hingga 20-25 persen.
Bahkan disebut-sebut ada ketua parpol yang bersedia menaikkan posisinya dari 10 persen menjadi 15 hingga 20 persen asalkan ada "imbalannya". Jadi duduk di partai politik dan juga di DPR menjadi sarana barter untuk mendapat "imbalan" yang nilianya bisa miliaran rupiah. Beginikah sikap politisi yang patut ditiru rakyat?
Karena itu, jika para para politisi masih ingat terhadap semua pemilih atau konstituennya maka segera kembalilah kepada rakyatnya.
Janganlah terus-menerus menyiksa, membohongi rakyat dengan berbagai dalih.
Hai pemimpin, kembalilah kepada rakyat.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017