Pangkalpinang (Antara Babel) - Hujan terus mengguyur Kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Pulau Bangka pada Kamis (26/12) siang.


Namun, tatkala seorang sultan dari Tanah Timor, Nusa Tenggara Timur Yoseph Ariyanto Teflopo Lu turun di Bandara Depati Amir Pangkalpinang, hujan pun perlahan reda hingga malam membungkus negeri serumpun sebalai sepintu sedulang itu.


Ariyanto yang didampingi cucu kandung dari pahlawan Bangka Belitung Depati Amir,Mochtar Bahren dan utusan khusus Gubernur NTT Filemon da Lopez, disambut dengan meriahnya oleh perkumpulan warga Flobamora (Flores, Sumba, Timor dan Alor) pimpinan Yohanes Min yang ada di Tanah Bangka.


Kunjungan sultan dari Timor ke negeri penghasil Timah ini untuk merajut kembali jejak peradaban sejarah masa lalu antara Timor dan Bangka Belitung yang telah diletakkan oleh Depati Amir tatkala dibuang oleh koloni Belanda pada 1851 di Kampung Air Mata, sebuah perkampungan sunyi di ujung barat Pulau Timor.


Menyebut nama kampung Air Mata yang letaknya diseberang sungai dengan perkampung China (China Town)--cikal bakal lahirnya Kota Kupang--orang langsung membayangkan peran besar yang dimainkan Depati Amir dalam membangun perkampungan tersebut serta sejarah masuknya agama Islam pertama di Tanah Timor.


Depati Amir mengarungi lautan dengan sebuah perahu dari Tanah Bangka menuju Kupang hampir setahun lamanya. Koloni Belanda sangat ketakutan jika Depati Amir tetap dibiarkan hidup di Tanah Bangka, karena pengaruhnya sangat kuat untuk memprovokasi rakyat melawan Belanda.


Sejarah perjuangan mereka terekam dalam berbagai buku dan tulisan. Berawal dari Depati Bahren menurun ke anaknya Depati Amir, Panglima Hamzah, Sajida bersama Batin Tikal, Kreopanting dan penerusnya berjuang di segala distrik di penjuru Pulau Bangka.


Perlawanan Rakyat Bangka melalui Perang Amir telah berlangsung antara tahun 1848-1851 merupakan kelanjutan perlawanan Depati Bahrin sejak 1820-1848.


Seluruh penjuru Pulau Bangka dijadikan tanah perjuangan, pertahanan dan perlawanan, sedangkan pertempuran terbesar terjadi di daerah Mendara, Cepurak,Bakam, Tajau Belah dan Ketiping.


Dalam pertempuran di Cepurak dan Bakam dua perwira militer Belanda,masing-masing Kapten Casembroot dan Doorschot tewas.


Pertempuran yang melelahkan itu berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti dengan penyergapan dan pengepungan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Depati Amir dan Panglima Hamzah beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri.


Dalam kondisi lemah dan sakit Depati Amir dan Panglima Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Mentok.


Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah Depati Amir dan Panglima Hamzah ke Pulau Timor dengan kapal uap Oenrust yang memakan waktu hampir setahun lamanya.


Perkampungan Air Mata merupakan tempat Depati Amir dibuang di Kupang dan desa ini merupakan desa muslim pertama di Kupang.


Perkampungan tersebut diberi namaAir Mata karena air mata sebagai ungkapan rasa kesedihan umat akibat penjajahan Belanda.


Perjuangan tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor dalam bentuk memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau Timor untuk melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam.


Komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka mendirikan masjid di Bonipoi yang diberi nama Al Ikhlas.


Waktu berlalu seiring kerinduan keluarga besar Depati Amir dan Panglima Hamzah.Saat merasakan kuatnya persaudaran mereka di pengasingan, mereka menyatukan keluarga dengan  memutuskan membuat marga Bahren sebagai tanda persaudaraan.


Setiap anggota keluarga memakai Bahren sebagai nama belakang mereka. Tahun berganti tahun keluarga di Kupang merindu kepada keluarga di Bangka. Sejak tahun 1960-1970-an terjalin surat menyurat antara dua keluarga.


Baru tahun 1980-an terjadi kunjungan pertama keluarga Kupang ke tanah leluhur mereka dan sejak itu terjalin silaturahmi dengan saling berkunjung.


Seiring kuatnya nama Depati Amir di mata rakyat Bangka Belitung membuat Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus mengupayakan Depati Amir sebagai Pahlawan Nasional.
 

Pada 17 Agustus 2011, Pemerintah Provinsi Bangka Belitung dan turunan dari Depati Amir, melakukan sebuah perjalanan ziarah ke makam Depati Amir di Kelurahan Manutapen, Kecamatan Alak, Kota Kupang, sebagai titik awal kebangkitan nasionalisme di daerah.


Sejarah mencatat pula bahwa Pulau Bangka pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7. Pada masa Kerajaan Sriwijaya pula Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu.


Demikian pula kerajaan Majapahit dan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.


Namun, pada masa itu Pulau Bangka baru sedikit mendapat perhatian, meskipun letaknya yang strategis ditengah-tengah alur lalu lintas setelah orang-orang daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah.


Pengurasan dan pengangkutan hasil Timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Ingris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat, ketika mereka mulai menggali timah secara besar-besaran dengan sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi.


Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.


Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian utnuk mengusir Belanda dari daerahnya,di bawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.


Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung China untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.


Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusa membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah.


Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka.


Amir adalah putera sulung Depati Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung Amir.


Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda karena ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka.


Jabatan Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada keduanya, disamping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan figur pemimpin.


Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas, berani, cerdas dan cakap.


Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian di bawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya di bawa ke Mentok.


Pada tanggal 28 Pebruari 1851 berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor. Perjuangan dalam menentang koloni Belanda terus dikobarkan di tanah pengasingan Pulau Timor.


Setelah 34 tahun, Depati Amir wafat pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di Pemakaman Batu Kadera Kupang.


Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang (Exorbitante Rechten).


Namun, sultan dari Timor Yoseph Ariyanto Teflopo Lu merajut kembali benang sejarah yang putus itu dengan berkunjung ke negeri serumpun sebalai sepintu sedulang untuk bersua dengan Raja Bangka Hidayat Arsani.


Sultan dari Timor atau orang menyebutnya "Meo Naek" diterima secara khusus di istana Arsani pada Kamis (26/12) malam dengan sentuhan adat Melayu.


"Hari ini, saya membawa sebuah selimut kebesaran dari Timor untuk membungkus tuan raja di Tanah Bangka, sebagai lambang bahwa raga Depati Amir bersemi rapi di Tanah Timor, sedang nyawanya kami pulang ke Tanah Bangka," ujarnya.


"Kita adalah bagian dari sejarah masa lalu. Kami datang untuk merajut kembali benang sejarah yang putus ini untuk menata kembali jejak peradaban sejarah Timor dan Bangka Belitung yang telah diletakkan oleh raja kita Depati Amir," kata Ariyanto yang disambut tepuk tangan hadirin.

Pewarta: Oleh Laurensius Molan

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2013