Jakarta (ANTARA) - Jika posisi klasemen medali SEA Games 2023 tak berubah sampai ajang ini ditutup 17 Mei, maka tuan rumah Kamboja dapat meraih level tertinggi sepanjang sejarah SEA Games.
Sejak kompetisi ini masih bernama South East Asia Peninsular (SEAP Games) sejak 1961, sampai berubah menjadi South East Asia Games (SEA Games) mulai 1977, Kamboja tak pernah finis lebih tinggi dari posisi lima.
Mereka bolak balik antara urutan 10 dan 8 sejak kompetisi ini bernama SEA Games pada 1977. Kamboja malah mentok pada posisi kedelapan dalam empat SEA Games terakhir.
Kamboja hampir pasti menjadi negara Asia Tenggara ketiga setelah Singapura dan Brunei yang menjadi tuan rumah SEA Games tetapi tak menjadi juara umum.
Tak apa, Kamboja memang masih terlalu jauh untuk bisa menjadi kampiun SEA Games. Justru akan menjadi skandal besar dalam dunia olahraga jika Kamboja menjadi juara umum SEA Games.
Posisi keempat dalam klasemen medali SEA Games 2023, adalah pencapaian besar bagi Kamboja, walau ini lebih karena statusnya sebagai tuan rumah.
Sejumlah kalangan malah menyoroti cara dan bagaimana Kamboja mendapatkan medali yang dianggap keluar dari sportivitas. Hal ini dibahas luas oleh masyarakat kawasan, termasuk dalam media sosial.
Bukan hanya disorot media dan netizen Indonesia, namun juga oleh pecinta olahraga di Singapura, Thailand, dan lainnya, salah satunya kreator konten asal Thailand bernama Vichayuth Chantan.
Sama seperti sejumlah media massa Indonesia yang aktif mengabarkan SEA Games 2023, Chantan juga membuat daftar keanehan yang terjadi pada SEA Games Kamboja ini.
Jika sejak jauh-jauh hari Indonesia menurunkan ekspektasi karena bakal kehilangan 39 emas setelah sejumlah cabang andalan medali dicoret oleh Kamboja, maka kekhawatiran semacam itu ternyata juga menghantui Thailand.
Menurut Vichayuth Chantan, Thailand juga mengeluhkan pencoretan sejumlah cabang, selain turut menyoroti insiden bendera terbalik yang juga menimpa kontingen Thailand.
Salah satu yang dikeluhkan Thailand adalah Muay Thai yang dicoret Kamboja untuk memberi tempat kepada Kun Khmer yang mungkin cuma dikenal di Kamboja. Kamboja juga meniadakan cabang olahraga catur demi memainkan catur khas Kamboja.
Praktik ini sendiri umum ditempuh negara-negara yang menjadi tuan rumah SEA Games, apalagi ketentuan SEA Games membolehkan tuan rumah memasukkan cabang selain cabang-cabang wajib dimainkan dalam SEA Games.
Ketentuan ini kerap menjadi pintu masuk bagi tuan rumah untuk mendulang medali, lebih dari sekadar upaya mengenalkan kekayaan budaya setempat ke kawasan. Praktik ini pun terjadi dari SEA Games ke SEA Games, termasuk di Vietnam tahun lalu.
Lalu, pembenaran untuk laku seperti ini, di satu sisi menjadi lampu hijau untuk hal-hal tidak patut dalam olahraga, khususnya praktik curang selama kompetisi.
Kecurangan ini bahkan tak jarang dilakukan terang-terangan, sampai ajang ini seperti melupakan sportivitas yang semestinya dijunjung tinggi dalam kompetisi olahraga.
Protes demi protes pun terjadi di berbagai arena SEA Games sampai mewujud seperti siklus, tanpa ada upaya serius dalam menghentikannya.
Selanjutnya: Cara-cara tidak sportif harus dikoreksi
Harus dikoreksi
Memang benar SEA Games diabdikan untuk mempererat kerja sama dan persahabatan di antara negara-negara Asia Tenggara. Tetapi apakah semua itu harus dilakukan dengan mengesampingkan sportivitas dan nilai-nilai kompetisi olahraga yang justru kian ditinggikan oleh badan-badan olahraga dan ajang-ajang lebih tinggi dari SEA Games?
Lebih dari itu, perselisihan karena laku tidak sportif juga bertolak belakang dengan ide persatuan ASEAN yang menyemangati setiap pertemuan ASEAN, termasuk KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo, pekan lalu.
Persatuan seharusnya tak meniadakan atau memaklumi laku dan praktik yang menyalahi aturan. Sebaliknya, persatuan seharusnya berpegang kepada aturan yang disepakati bersama yang mesti dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua yang menyepakati aturan bersama itu.
Kompetisi olahraga juga mengenal logika itu, bahwa aturan dan nilai mesti dipatuhi serta dihormati pelaku olahraga, baik di dalam maupun di luar lapangan, termasuk dalam bagaimana prestasi diraih atau kemenangan diperoleh.
Dalam olahraga, cara kompetisi dimenangkan sama pentingnya dengan kemenangan itu sendiri, bahkan bisa lebih penting, apalagi jika ajang olahraga itu diabdikan untuk memupuk dan memuliakan persahabatan seperti pada SEA Games.
Tapi akan sangat ironis jika lingkungan kompetisi yang diabdikan untuk persahabatan malah memupuk permusuhan yang diakibatkan oleh perilaku tidak adil dan tidak sportif selama kompetisi.
Yang sering terjadi dalam SEA Games, aturan dan nilai olahraga dicampakkan hanya demi juara dan medali. Padahal, ini tak hanya mencederai persahabatan, tapi juga menolak esensi kompetisi olahraga yang meninggikan aturan.
"Juara itu lebih dari sekadar pemenang. Juara itu adalah orang yang menghormati aturan dan berkompetisi dalam semangat fair play," kata mendiang Jacques Rogge yang menjadi presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) dari 2001 sampai 2013.
Fair play adalah konsep rumit yang terdiri dari dan mewujud menjadi nilai-nilai fundamental yang tak hanya integral dalam olahraga, tetapi juga relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep ini di antaranya menyangkut kompetisi yang adil dan menghormati aturan-aturan dalam olahraga, yang bisa didapat dan dipelajari di luar dan di dalam lapangan.
Dengan cara begitu, ada batasan untuk bagaimana prestasi olahraga mesti dicapai sehingga kompetisi tak boleh ditempuh dengan menghalalkan segala cara.
Untuk itu, para pemangku kepentingan olahraga di Asia Tenggara sudah waktunya mengoreksi lingkungan kompetisi semacam ini. Mereka mesti segera menciptakan atmosfer yang menutup peluang hadirnya praktik absurd dalam SEA Games. Siklus buruk ini harus diakhiri.
Ini karena kompetisi yang benar secara keolahragaan niscaya mendorong kemajuan dan profesionalisme olah raga di kawasan yang membantu negara-negara Asia Tenggara dalam mencetak prestasi lebih tinggi pada kompetisi-kompetisi olahraga level lebih tinggi.
Selain itu, kompetisi yang benar secara keolahragaan adalah juga pendidikan moral dan mental untuk masyarakat Asia Tenggara yang bisa membantunya dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan dunia.
Terbiasa berkompetisi dalam atmosfer yang benar akan menular dan menjadi cermin untuk laku-laku sportif dalam medan-medan kehidupan lainnya.
Intinya, Asia Tenggara tak boleh lagi memaklumi dan membiarkan praktik usang yang tidak benar dan sekaligus menyimpang dari semangat kebersamaan ASEAN itu sendiri.
Sudah waktunya nilai-nilai positif kompetisi olahraga dikuatkan untuk turut mempertajam nilai-nilai kebersamaan dan persatuan kawasan, bukannya demi kebersamaan dan persatuan, semua pihak melakukan pembiaran terhadap laku tidak sportif yang justru bisa menjadi benih yang merusak kekompakan kawasan.