Siapa bilang peluang menjadi kepala daerah tak menggiurkan meskipun banyak contoh di antara mereka terpaksa menjalani hidup di "hotel prodeo" lantaran terjerat kasus hukum?

Menjadi kepala daerah, bahkan pernah disebut sebagai "raja kecil", merupakan impian bagi sebagian orang.

Oleh karena itu, kesempatan emas dalam pilkada serentak di 171 daerah tahun ini, terdiri atas 17 provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, 39 kota untuk memilih wali kota dan wakil wali kota, dan 115 kabupaten untuk memilih bupati dan wakil bupati periode 2018 s.d. 2023, tak dilewatkan begitu saja bagi mereka yang terpanggil untuk menjadi kepala daerah.

Mereka yang sudah menjalankan tugas negara sebagai anggota DPR RI atau DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak sedikit yang berminat menjadi kepala daerah dan berharap meraih sebanyak-banyaknya suara rakyat saat pencoblosan suara pada tanggal 27 Juni 2018.

Mereka yang pernah atau sedang menjabat kepala daerah di tingkat kabupaten/kota berebut untuk menjadi kepala daerah di tingkat provinsi.

Istri kepala daerah tingkat kabupaten, seperti Anne Ratna Mustika yang juga istri Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, mendaftar sebagai calon bupati untuk menggantikan suaminya yang mencoba peruntungan untuk menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat.

Tokoh yang telah dua kali kalah dalam pilkada juga masih terpanggil untuk mencoba untuk ketiga kalinya meskipun telah menjabat sebagai seorang menteri, sebagaimana dialami oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang ikut kembali dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, berpasangan dengan Bupati Trenggalek Emil Dardak.

Mereka yang sedang menjabat kepala daerah pada periode 5 tahun pertama berusaha menjadi calon petahana untuk memastikan diri terpilih kembali menjadi kepala daerah untuk periode 5 tahun kedua.

Sejumlah perwira tinggi yang sedang berdinas aktif sebagai prajurit TNI dan anggota Polri pun tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga netralitas TNI/Polri dalam pemilu sehingga harus pensiun dini untuk mengisi "lowongan" menjadi kepala daerah.

Pasangan suami istri, seperti Syamsuar Syam dan Misliza, pun tertarik mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang, Sumatera Barat, dari jalur perseorangan.

Belum lagi kalangan pengusaha, pensiunan pejabat pegawai negeri sipil, akademisi, politikus, mantan narapidana, hingga kepala desa pun tersedot magnet untuk menjadi kepala daerah.

Bahkan, kakak beradik pun harus bersaing demi untuk menjadi kepala daerah. Sang kakak, Abdul Gani Kasuba yang juga Gubernur Maluku Utara saat ini, demi melanggengkan kekuasaannya untuk periode kedua, harus bersaing dengan sang adik, Muhammad Kasuba yang kini menjabat Bupati Halmahera Selatan, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara pada tahun ini.  

Sang kakak mengungkapkan tidak gentar menghadapi sang adik dengan pertimbangan memiliki keinginan besar untuk menyelesaikan seluruh programnya pada 5 tahun pertama menjabat sebagai Gubernur Malut untuk menyejahterakan masyarakat, sedangkan sang adik optimistis menang dan mengungkapkan bahwa setiap masa ada pemimpinnya sehingga sebagai kakak semestinya beristirahat dan memberikan kesempatan kepada calon pemimpin lain.

Persaingan antara kakak beradik ini membuat keluarga besar mereka memberikan dukungan masing-masing kepada calon yang mereka inginkan. Ada keluarga yang mendukung kakak dan ada keluarga besar yang mendukung adik.

Memang tidak ada larangan bahwa sesama anggota keluarga mencalonkan diri sebagai kepala daerah, asal memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh "Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang", setiap warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri.

Persyaratannya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila, UUD 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat.

Selain itu, berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota; mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim.

Persyaratan lainnya tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Di samping itu, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; menyerahkan daftar kekayaan pribadi.

Calon juga tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap; memiliki nomor pokok wajib pajak dan memiliki laporan pajak pribadi.

Ada pula persyaratan belum pernah menjabat sebagai kepala daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; berhenti dari jabatan kepala daerahnya yang mencalonkan diri di daerah lain; tidak berstatus sebagai penjabat kepala daerah; mengundurkan diri dari DPR, DPRD, TNI, Polri, PNS, serta kepala desa atau sebutan lain; berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau daerah.  
                                                                    Minat
Salah satu hal yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pilkada menjadi daya tarik bagi orang-orang untuk mewujudkan minatnya menjadi kepala daerah meskipun tidak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus hukum.

Presiden RI Joko Widodo pada acara Konferensi Nasional Ke-12 Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2017, antara lain, menyebutkan bahwa sejak 2004 telah ada 15 gubernur dan 64 bupati/wali kota yang tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi. Jumlah itu belum termasuk kepala daerah yang terjerat kasus hukum, seperti penyalahgunaan narkoba.

Berbagai operasi tangkap tangan yang membuat kepala daerah masuk bui belum menunjukkan efek jera bagi kepala daerah lain karena ada saja kepala daerah lain yang tertangkap untuk kasus dugaan korupsi.

Kepala Negara saja mengaku terheran-heran lantaran banyak pejabat yang ditangkap dalam waktu ke waktu tetapi kasus korupsi masih terus terjadi.

Pilkada ini menjadi salah satu kegiatan besar yang diantisipasi secara serius oleh aparat penegak hukum mengenai kemungkinan terjadinya politik uang.

Polri telah membentuk Satgas Politik Uang untuk mencegah terjadinya politik uang pada tahapan-tahapan pilkada. Satgas itu telah bekerja sejak Rabu (10/1) pukul 24.00 WIB berbarengan dengan berakhirnya masa pendaftaran calon kepala daerah.

Satgas Politik Uang Polri mengawasi empat tahapan pilkada, yakni tahap pencalonan, penetapan calon, kampanye, dan pemilihan, serta pengajuan keberatan atau sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi.

Di tingkat pusat, Satgas Politik Uang Polri diketuai oleh Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto, sedangkan di tingkat daerah di bentuk di kepolisian daerah hingga kepolisian resor.

Selain soal banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, pilkada juga ternyata merupakan praktik politik berbiaya tinggi.

Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian dalam rapat konsultasi bersama pemerintah, DPR RI, KPK, KPU, dan Bawaslu, di DPR RI, Kamis (11/1), misalnya, mengungkapkan rahasia umum bahwa untuk menjadi kepala daerah membutuhkan biaya mencapai puluhan miliar rupiah.

Tito bahkan menyebut untuk menjadi kepala daerah, kalau tidak memiliki uang berkisar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, tidak berani maju mengikuti pilkada, sedangkan rakyat pemilih masih didominasi oleh kalangan yang kurang beruntung dalam pendidikan dan kesejahteraan sehingga mereka melihat calon yang membawa uang buat mereka, bukan soal program yang ditawarkan.

Setelah calon terpilih menjadi kepala daerah, gaji dan fasilitas yang diterima tidak menutup pengeluaran yang telah dihabiskan untuk biaya pilkada. Dengan demikian, membuka lubang untuk korupsi.

Kapolri bahkan mengusulkan untuk meninjau ulang efektivitas pemilihan langsung dalam pemilihan kepala daerah sebagai upaya untuk mencegah politik berbiaya tinggi yang bisa menyebabkan terjadinya kasus korupsi.

Namun, ketika ditanyakan kepada mereka yang berminat menjadi kepala daerah, jawaban umumnya hanya satu yakni ingin mengabdi untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat di daerah.

Menjadi kepala daerah itu mulia dan menjadi kepala daerah terbaik juga menjadi prestasi tertinggi dalam mengabdi kepada rakyat dan negara.

Sebagaimana penghargaan "Leadership Award 2017" yang diterima oleh lima gubernur, 12 bupati, dan tujuh wali kota dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada tanggal 18 Desember 2017 tentu saja dapat menginspirasi bagi kepala daerah lain atau calon kepala daerah untuk benar-benar berprestasi yang terbaik bagi daerah.

Para kepala daerah yang mendapatkan penghargaan itu adalah Soekarwo (Gubernur Jatim), Ahmad Heryawan (Gubernur Jabar), Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel), Irwan Prayitno (Gubernur Sumbar), T.G.H.M. Zainul Majdi (Gubernur NTB).

Sementara 12 bupati yang meraih penghargaan yang sama adalah Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), Fadli (Bupati Lamongan),  Aslam Patonangi (Bupati Pinrang), Nurdin Abdullah (Bupati Bantaeng), Sri Purnomo (Bupati Sleman), Hasto Wardoyo (Bupati Kulonprogo), Yuswir Arifin Dt. Indo Marajo (Bupati Sijunjung)), Indra Catri (Bupati Agam), Kuryana Azis (Bupati Ogan Komering Ulu), Moh. Suhaili (Bupati Lombok Tengah), dan Mardani H. Maming (Bupati Tanah Bumbu).

Tujuh wali kota yang mendapat penghargaan itu adalah Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung),  Syaharie Ja'ang (Wali Kota Samarinda), Riza Falepi (Wali Kota Payakumbuh), Prana Putra Sohe (Wali Kota Lubuk Linggau), Sutarmadji (Wali Kota Pontianak), dan Rizal Effendi (Wali Kota Balikpapan).

Mereka adalah yang lulus dari berbagai tahapan seleksi. Kementerian Dalam Negeri menominasikan seluruh kepala daerah di Indonesia, yakni sebanyak 34 gubernur, 416 bupati, dan 98 wali kota.

Mereka yang terpilih dinilai memenuhi kriteria pemimpin terbaik selama menduduki masa jabatan minimal 4 tahun. Mereka juga tidak pernah terjerat kasus hukum atau etika moral, responsif, bervisi strategis, dan memiliki integritas tinggi terhadap bangsa.

Mereka yang meraih penghargaan itu diharapkan mampu mendorong dan memotivasi pengabdian kepala daerah lainnya guna percepatan pembangunan daerah sekaligus meningkatkan kinerjanya demi terwujudnya kepuasan pelayanan masyarakat.

Jadi, sangat wajar daya tarik pilkada telah menjerat mereka yang berminat menjadi kepala daerah. Semoga mereka yang terpilih dapat menjadi kepala daerah terbaik.

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018