Jakarta (Antaranews Babel) - Sejumlah negara yang memiliki komoditas perikanan pada tahun 2018 ini sedang bersiap-siap membenahi tata kelola untuk mendorong ekspor perikanannya menjadi lebih baik.

Misalnya saja Vietnam, di mana situs berita bea cukai milik negara itu (customnews.vn), mengemukakan bahwa Menteri Pertanian dan Pembangunan Pedesaan Vietnam, Nguyen Xuan Cuong menyatakan, industri perikanan Vietnam mengalami banyak hambatan dan kesukaran pada 2017.

Menurut Nguyen, sejumlah rintangan itu antara lain adalah kampanye hitam dari pihak lain, kompetisi bahan mentah, hingga peringatan "kartu kuning" dari Uni Eropa.

Namun, lanjutnya, berbagai perusahaan perikanan di negara itu dinilai mampu bersatu guna menguasai pasar dan mencapai sejumlah sasaran yang spektakuler.

Hal tersebut antara lain terlihat dari nilai ekspor perikanan Vietnam yang mencapai sekitar 8 miliar dolar AS pada tahun 2017.

Nilai itu dianggap sebagai pengembangan dramatis dalam industri perikanan Vietnam sehingga Kementerian Pertanian dan Pembangunan Pedesaan negara itu menargetkan agar ekspor industri perikanan pada tahun 2018 ini dapat mencapai titik target 8,5 miliar dolar AS atau bahkan lebih.

Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah Vietnam terkait hal tersebut antara lain adalah berupaya mengimplementasikan UU Perikanan baru sebagai cara menerapkan program mengatasi kartu kuning Uni Eropa terkait "IUU Fishing" atau aktivitas penangkapan ikan secara ilegal.

Sementara itu, kantor berita Jepang Jiji Press melaporkan bahwa pada kuartal-I tahun 2018, negara Matahari Terbit itu untuk pertama kali berhasil mengekspor ikan dari kawasan Fukushima, sejak daerah itu terlanda krisis nuklir pada Maret 2011.

Pada 28 Februari 2018, pengiriman dilakukan dari pelabuhan di kota Soma, Fukushima, dengan mengapalkan sekitar 110 kilogram komoditas perikanan ke negara tujuan ekspor yaitu Thailand.

Menurut kepala asosiasi kerja sama perikanan di Soma, Kanji Tachiya, pihaknya bahagia karena dapat kembali mengirimkan ikan ke berbagai dunia dari prefektur tersebut.

Berdasarkan data dari pemerintahan prefektur tersebut, sampel komoditas perikanan yang telah diujikan ternyata tidak mengandung zat berbahaya melebihi standar keamanan yang telah ditetapkan oleh otoritas Jepang.

Sedangkan di Eropa, Dewan Seafood Norwegia (NSC) melaporkan bahwa negara itu mengekspor 2,6 juta metrik ton seafood atau senilai 11,7 miliar dolar AS pada 2017.

Direktur Pengelola NSC Renate Larsen, sebagaimana dikutip www.undercurrentnews.com, jumlah nilai itu mengalami peningkatan 3 persen dibanding tahun sebelumnya.

NSC menyatakan kenaikan harga salmon untuk konsumen Eropa telah mengurangi permintaan dari ikan salmon di Eropa, sedangkan di Asia konsumsi seafood mengalami peningkatan signifikan yang didorong antara lain dengan meningkatnya pertumbuhan kelas menengah dan membaiknya jalur distribusi.

Apalagi, kementerian perikanan negara tersebut juga mengakui bahwa industri seafood merupakan salah satu industri ekspor paling penting di negara itu, sehingga pemerintah Norwegia juga berambisi mengembangkan industri tersebut untuk terus tumbuh dan menciptakan banyak lapangan kerja.
  
Berpotensi menggeliat

Dengan banyaknya komitmen dari sejumlah negara yang biasa mengekspor komoditas perikanan di tataran global, hal itu juga menyiratkan bahwa perdagangan sektor perikanan internasional juga berpotensi untuk semakin menggeliat ke depannya.

Bagaimana halnya dengan Indonesia? Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo dalam sejumlah kesempatan mengakui, pada periode 2012-2016, penurunan volume ekspor tahunan mencapai 3,23 persen.

Namun, Nilanto menyatakan meski kecenderungan penurunan volume perikanan, tetapi untuk nilai ekspor akan mengalami peningkatan sekitar 2,45 persen karena terjadi meningkatnya harga ekspor terutama untuk produk perikanan bernilai tambah.

Begitu pula dengan sejumlah negara pesaing, Indonesia dinilai mengalami pertumbuhan nilai ekspor yang lebih tinggi.

Dia memaparkan pertumbuhan nilai ekspor RI pada periode 2012-2016 mencapai kenaikan 2,31 persen per tahun, atau lebih baik dibandingkan negara seperti China yang pertumbuhannya pada periode yang sama adalah 2,29 persen per tahun, Vietnam (1,45 persen per tahun), dan Filipina (0,32 persen per tahun).

Terkait negara tujuan ekspor, ekspor pada periode 2016-2017 mengalami peningkatan ke sejumlah negara sasaran, seperti ke Amerika Serikat (naik 12,82 persen), China (11,28 persen), Uni Eropa (9,38 persen), dan ke Jepang (8,31 persen).

Kementerian Kelautan dan Perikanan, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, juga mendorong semakin banyak ekspor komoditas perikanan hasil tangkapan dari nelayan tradisional dari berbagai daerah.

Menteri Susi di Pelabuhan Papua Barat, Sabtu (17/3) menyatakan pihaknya beberapa waktu lalu telah bertemu dengan PT Pelindo IV (Persero) yang berencana membawa "cold storage" (ruang pendingin) terapung untuk membeli ikan dari nelayan tradisional sehingga bisa langsung ekspor dari Indonesia timur.

Menurut Susi, rencananya ekspor ikan dari hasil tangkapan nelayan tradisional tersebut akan mulai berjalan dalam waktu satu atau dua bulan ke depan.

Selain itu, ujar dia, guna mendorong produksi hasil tangkapan nelayan tradisional, KKP akan memberikan bantuan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan berupa jaring sebagai pengganti alat tangkap ikan yang dilarang dan masih digunakan nelayan.

Menteri Susi menegaskan, dengan adanya kebijakan larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang merusak, pemerintah tidak bermaksud untuk menyengsarakan nelayan khususnya nelayan tradisional.

Ia mengutarakan harapannya agar Indonesia tidak hanya menjadi juara dalam pemberantasan pencurian ikan, tetapi juga menjadi juara dalam ekspor produk perikanan Indonesia ke pasar global.
    
Produksi ikan

Sedangkan Dirjen Perikanan Tangkap KKP Sjarief Widjaja dalam sejumlah kesempatan mengemukakan bahwa pihaknya menargetkan produksi ikan pada 2018 mencapai angka 9,45 juta ton atau setara dengan Rp209,8 triliun.

Sjarief mengungkapkan guna mewujudkan target tersebut maka KKP antara lain mendorong keterlibatan BUMN di sektor perikanan, misalnya dengan menggandeng PT Perinus dan Perum Perindo dalam penyediaan kapal pengangkut ikan untuk membawa hasil tangkapan nelayan dari wilayah timur kepada konsumen dan produksi pengolahan di wilayah barat Indonesia.

Ia juga akan memperbaiki sistem pencatatan di seluruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI), terutama bagi tangkapan kapal-kapal kecil yang selama ini dinilai masih kurang optimal.

Sjarief juga menggingatkan pentingnya program untuk melestarikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan hal yang penting guna menunjang peningkatan ekspor sejumlah komoditas dan pengelolaan ekonomi berkelanjutan.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP mencontohkan, sejumlah komoditas seperti rajungan dapat dilestarikan dengan cara menjaga habitatnya yaitu mangrove atau bakau yang terletak di sepanjang pesisir pantai Indonesia.

Menurut Sjarief, pemerintah saat ini juga tengah memetakan tutupan-tutupan mangrove potensial di sepanjang pesisir Indonesia.

Dengan menjaga kawasan pesisir agar komoditas kelautan bisa berkembang biak, lanjutnya, maka hal itu dinilai sama dengan menjaga keberlanjutan bisnis perikanan.

Sementara itu, pengamat perikanan Abdul Halim menginginkan kebijakan pemerintah dapat meningkatkan jumlah ekspor perikanan hasil tangkapan nelayan tradisional ke sejumlah pasar utama sasaran ekspor nasional.

Menurut Abdul Halim, pasar utama ikan asal asal Indonesia adalah Eropa, Amerika Serikat dan sejumlah negara Asia seperti Korea Selatan, China dan Jepang, sedangkan komoditas sektor kelautan dan perikanan bernilai tinggi antara lain kerapu, tuna, cakalang, tongkol, udang dan cumi.

Untuk itu, Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu juga menekankan pentingnya langkah serius KKP agar dapat meningkatkan kinerja ekspor perikanan nasional agar dapat lebih cemerlang lagi ke depannya.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018