Jakarta (Antaranews Babel) - Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh anggota Komisi III Arteria Dahlan berpendapat para pemohon uji materi Undang-Undang tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki kedudukan hukum.
"DPR RI berpandangan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum," ujar Arteria di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Para pemohon uji materi ini dinilai DPR tidak berkedudukan hukum karena dianggap tidak memiliki relevansi dengan permohonan a quo dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, terkait dengan persyaratan kerugian konstitusional penguji.
Arteria mengatakan dalil para pemohon hanyalah satu bentuk kekhawatiran pemohon terkait dengan undangan DPR untuk meminta keterangan seseorang dalam rapat dengar pendapat yang berujung pada pemanggilan paksa.
"Undangan atau pemanggilan ini tidak dapat serta merta dilakukan begitu saja kepada pemohon tanpa alasan yang jelas, apalagi mengingat pasal a quo mengandung unsur prosedural yang dilaksanakan berdasarkan administrasi negara," kata Arteria.
Sidang lanjutan untuk empat perkara pengujian UU MD3 ini dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan tiga perserorangan warga negara Indonesia.
Empat perkara tersebut menggunggat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"DPR RI berpandangan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum," ujar Arteria di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Para pemohon uji materi ini dinilai DPR tidak berkedudukan hukum karena dianggap tidak memiliki relevansi dengan permohonan a quo dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, terkait dengan persyaratan kerugian konstitusional penguji.
Arteria mengatakan dalil para pemohon hanyalah satu bentuk kekhawatiran pemohon terkait dengan undangan DPR untuk meminta keterangan seseorang dalam rapat dengar pendapat yang berujung pada pemanggilan paksa.
"Undangan atau pemanggilan ini tidak dapat serta merta dilakukan begitu saja kepada pemohon tanpa alasan yang jelas, apalagi mengingat pasal a quo mengandung unsur prosedural yang dilaksanakan berdasarkan administrasi negara," kata Arteria.
Sidang lanjutan untuk empat perkara pengujian UU MD3 ini dimohonkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), dan tiga perserorangan warga negara Indonesia.
Empat perkara tersebut menggunggat ketentuan dalam Pasal 73 ayat (3), Pasal 73 ayat (4) huruf a dan c, Pasal 73 ayat (5), Pasal 122 huruf k, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.
Dalam berkas perkara yang diterima MK, para pemohon menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU MD3 tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, perlakuan tidak adil di hadapan hukum bagi masyarakat, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasal 73 ayat (3), ayat (4) huruf a dan c, dan ayat (5) menyatakan bahwa DPR berhak melakukan pemanggilan paksa melalui pihak kepolisian, bila ada pejabat, badan hukum, atau warga negara yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut oleh DPR.
Sementara Pasal 73 ayat (5) menyebutkan bahwa dalam menjalankan panggilan paksa tersebut Polri diperbolehkan menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Pemohon menilai Pasal 122 huruf k telah bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia, karena dalam pasal tersebut memuat ketentuan bahwa DPR akan melakukan langkah hukum bagi siapapun yang merendahkan martabat dan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Hal ini kemudian dinilai para pemohon merupakan upaya pembungkaman suara rakyat dalam memberikan kritik kepada penguasa legislatif, yang kemudian bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi.
Sedangkan Pasal 245 ayat (1) memuat bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas secara luas, sehingga hal ini mengancam kepastian hukum yang adil, juga mengancam adanya diskriminasi di hadapan hukum.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018