Jakarta (Antaranews Babel) - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menjelaskan sertifikasi lahan dalam program reforma agraria berbeda dengan program perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menteri Sofyan Djalil, saat ditemui di Kementerian ATR Jakarta, Rabu membantah soal tudingan kepada Presiden Joko Widodo yang melakukan kebohongan dengan memberikan izin pemanfaatan lahan alih-alih sertifikat tanah kepada petani.

"Pengamat itu tidak mengerti bahwa ada dua program. Program pertama sertifikasi yang dikelola oleh Kementerian ATR. Itu yang kita berikan sertifikat tanah ke masyarakat sudah `clear` dan kita berikan hak legalnya," kata Sofyan.

Ia menjelaskan dalam Program Reforma Agraria, Kementerian ATR menargetkan kepemilikan 126 juta sertifikat tanah oleh masyarakat, namun sejauh ini baru tercapai 51 juta sertifikat yang dimiliki masyarakat.

Oleh sebab itu, Kementerian ATR menargetkan pada tahun ini dapat membagikan tujuh juta sertifikat tanah, dan meningkat pada 2019 menjadi sembilan juta sertifikat. Pada 2017, Kementerian ATR telah merealisasikan pembagian 5,4 juta bidang sertifikat.

"Yang sertifikat selesai, kita berikan betul-betul itu lebih dari 5,4 juta bidang dan itu riil, bisa diaudit, ada nomor sertifikat itu. Jadi tidak `ngibul," kata dia.

Sementara itu, dalam program perhutanan sosial yang tahun ini tengah difokuskan oleh Kementerian LHK, Sofyan menjelaskan memang tidak memberikan sertifikat, melainkan izin pemanfaatan lahan atau akses legal kepada rakyat untuk mengelola kawasan hutan.

Melalui perhutanan sosial, rakyat bisa mendapat akses untuk mengelola lahan dalam waktu 35 tahun dan bisa diperpanjang sampai 70 tahun.

"Program Kehutanan Sosial itu memang bukan sertifikat karena itu tanah hutan, ada bebrapa jenis, misalnya tanah adat diberikan kepada masyarakat untuk dikelola masyarakat adat," kata Sofyan.

Pewarta: Mentari Dwi

Editor : Adhitya SM


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018