Jakarta (Antaranews Babel) - Percaya atau tidak, pengelolaan gambut Indonesia dinilai berhasil dan telah diakui sekaligus menjadi percontohan bagi berbagai negara di dunia.
Keberhasilan itu patut ditunjukan mengingat tidak mudah mengelola dan mengolah gambut. Tidak sedikit negara yang gagal melakukannya.
Ini karena karakteristik gambut yang berbeda dengan daratan. Juga berbeda dengan rawa-rawa yang berlumpur.
Gambut itu punya karakteristik tersendiri karena dikatakan rawa tetapi kalau musim kemarau mudah terbakar. Namun kalau dikatakan rawa, tidak mudah menanam atau membudidayakan tanaman di lahan itu.
Atas dasar itu, delegasi Indonesia dalam Pertemuan Mitra Kerja "Global Peatland Initiative" di Brazaville, ibu kota Republik Kongo, belum lama ini, bisa menunjukkan keberhasilan itu dengan rasa bangga. Delegasi Indonesia pun menempati tempat terhormat dalam forum internasional itu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membawa diplomasi lahan gambut ini ke tingkat global, khususnya dalam Pertemuan Mitra Kerja "Global Peatland Initiative" (GPI) di Brazaville.
Turut hadir Perdana Menteri Republik Kongo Clement Mouamba, Menteri Lingkungan Hidup Republik Demokratik Kongo Amy Ambatobe Nyongolo dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Kongo Arlette Soudan-Nonau.
Siti Nurbaya dalam pertemuan itu bukan hanya hadir sebagai peserta biasa, namun juga menjadi pembicara kunci dalam dialog tingkat menteri di pertemuan internasional itu. Ini bisa diraih delegasi Indonesia karena keberhasilannya mengelola gambut.
Nurbaya dengan bangga menyatakan Indonesia sebagai pendiri gerakan Asia-Afrika siap untuk berbagi pengalaman dan membantu negara-negara lain untuk memajukan manajemen gambut melalui kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular.
Indonesia juga siap menggulirkan rencananya untuk mendirikan Pusat Riset Internasional Gambut Tropis di Indonesia.
Diyakini dalam beberapa tahun ke depan, dunia akan mengakui gambut Indonesia sebagai arsip dunia.
Sebagai negara yang memiliki 15 juta hektare gambut, Indonesia tentunya mempunyai keistimewaan atas adanya beragam ekosistem gambut. Mulai dari gambut pesisir yang banyak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Lahan gambut yang ada di delta Mahakam Kalimantan Timur, Kapuas di Kalimantan Barat hingga gambut di dataran tinggi seperti di Papua. Begitu juga gambut rawa di Kalimantan mempunyai kemiripan dengan gambut yang ada di Kongo.
Ini adalah diplomasi keberhasilan Indonesia dalam manajemen gambut ke tingkat global. Dengan diplomatis, Nurbaya menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia belajar sangat mahal atas kejadian kebakaran gambut hebat pada tahun 2015.
Pemerintah merespons melalui kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan sangat ketat dan menyeluruh guna meminimalkan terulangnya kejadian ini.
Hasilnya sangat fantastis, dalam kurun waktu dua tahun, 2015-2017, Indonesia berhasil menurunkan titik api sebanyak 93.6 persen.
Hasil ini membuktikan kesungguhan Presiden Joko Widodo menjadikan pencegahan kebakaran hutan dan gambut sebagai prioritas nasional. Presiden berhasil menjadikan kebijakan-kebijakan yang diambilnya menjadi aksi yang efektif di lapangan.
Kerja sama yang kuat antara berbagai pihak, terutama keterlibatan sektor swasta menjadi hal kunci.
GPI adalah prakarsa global yang diinisiasi oleh beberapa negara, badan internasional dan para ahli yang berkomitmen untuk menjaga gambut di seluruh dunia agar lestari.
Gambut sebagai cadangan karbon organik yang terbesar di dunia harus dijaga supaya tidak terbakar.
Semua anggota GPI bekerja sama untuk usaha konservasi, restorasi dan manajemen gambut yang lebih baik.
Berbagi Sukses
Delegasi Indonesia pun membagikan kesuksesan manajemen gambut Indonesia sebagai inspirasi sekaligus rujukan bagi negara-negara lain yang sedang bergiat untuk hal yang sama.
Indonesia berhasil memperbaharui dan mendorong moratorium dan penegakan hukum secara efektif.
Sekitar 500 kasus kebakaran hutan dan gambut dibawa ke pengadilan. Salah satunya yang fenomenal adalah putusan terhadap satu pemegang konsensi lahan yang terbukti bersalah untuk membayar ganti rugi sebesar 1,2 juta dolar Amerika Serikat kepada Pemerintah Indonesia.
Hal ini membangun kepercayaan masyarakat luas atas kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum terhadap para pihak yang melakukan kejahatan lingkungan.
Sebagai negara yang hidup berdampingan, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo sangat terkesan dengan keberhasilan Indonesia. Mereka sangat tertarik belajar lebih jauh mengenai kerangka institusional efektif yang dijalankan Pemerintah Indonesia.
Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai bagian tak terpisahkan untuk mendukung strategi besar untuk manajemen gambut yang dijalankan oleh Kementerian LHK.
Sampai tahun 2018, program yang dijalankan BRG telah mencakup 2,49 juta hektare, 1,39 juta hektare dilakukan oleh sektor swasta.
Salah satu kunci keberhasilan Indonesia adalah kemampuan untuk melibatkan semua pihak secara efektif dalam kerja besar ini, mulai dari organisasi kemasyarakatan sampai pihak swasta.
Perusahaan-perusahaan pemegang konsensi lahan dinilai proaktif memulai kolaborasi dalam memperbaharui teknologi dan juga mengedukasi para petani untuk manajemen lahan gambut yang berkelanjutan.
Itulah sebabnya negara-negara anggota GPI belajar banyak dari pertukaran teknis, pengetahuan dan inisiatif kebijakan dalam manajemen gambut Indonesia.
Salah satunya, Indonesia yang telah cukup maju dalam manajemen gambut di tingkat nasional dan lokal, mendukung penelitian dalam bidang restorasi dan manajemen gambut.
Selain itu pengembangan sistem monitoring ketinggian permukaan air dan vegetasi (teknik SESAME dan MORPALAGA), website dan laman untuk peta penggunaan lahan gambut berisi informasi mengenai biofisik, sosial, status legal dan aspek administrasi di beberapa kabupaten yang menjadi percontohan.
Indonesia juga mempromosikan "desa peduli gambut" sebagai satu model untuk manajemen gambut terintegrasi yang melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi lahan gambut.
Memuji
Dalam waktu dekat dua negara yang memiliki luas gambut terbesar di dunia, yakni Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo segera belajar ke Indonesia.
Indonesia akan memimpin Kerja Sama Selatan-Selatan dalam penanganan Congo Basin untuk dunia.
Congo Basin atau Lembah Kongo meliputi tiga negara yang memiliki lahan gambut terluas kedua di dunia, yakni Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo dan Gabon.
Selain Indonesia dan dua Kongo, negara dengan luas gambut terbesar lainnya di dunia adalah Peru.
Jika dulu gambut Indonesia dikenal karena rawan terbakar, sekarang sebaliknya, menjadi referensi untuk melindungi gambut Congo Basin.
Dua menteri dari negara Kongo pun segera ke Indonesia, sekitar bulan Juni sebagai tindak lanjut pertemuan itu.
Direktur Eksekutif Program Lingkungan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) Erik Solheim memuji langkah-langkah yang dilakukan Indonesia dalam pemulihan ekosistem gambut.
Upaya Indonesia dinilai itu telah berhasil serta patut menjadi contoh bagi negara lain.
Rusaknya gambut di seluruh dunia akan menjadi pukulan besar terhadap Perjanjian Paris dan bagi generasi mendatang, kata Solheim.
Karena itu, dunia internasional memberi perhatian kepada Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki gambut terluas di dunia dengan luas lebih dari 15 juta hektare (ha).
Pemerintahan Indonesia secara efektif menjadikan kebijakan perbaikan tata kelola gambut sebagai prioritas nasional. Hal itu dilakukan melalui penerbitan peraturan perundangan maupun langkah-langkah nyata di lapangan untuk pencegahan terulangnya kembali kebakaran gambut.
Solheim meminta Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo untuk belajar dari pengalaman Indonesia dalam pemulihan ekosistem gambut. Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo serta negara-negara lain yang memiliki gambut pun harus belajar dari Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
Keberhasilan itu patut ditunjukan mengingat tidak mudah mengelola dan mengolah gambut. Tidak sedikit negara yang gagal melakukannya.
Ini karena karakteristik gambut yang berbeda dengan daratan. Juga berbeda dengan rawa-rawa yang berlumpur.
Gambut itu punya karakteristik tersendiri karena dikatakan rawa tetapi kalau musim kemarau mudah terbakar. Namun kalau dikatakan rawa, tidak mudah menanam atau membudidayakan tanaman di lahan itu.
Atas dasar itu, delegasi Indonesia dalam Pertemuan Mitra Kerja "Global Peatland Initiative" di Brazaville, ibu kota Republik Kongo, belum lama ini, bisa menunjukkan keberhasilan itu dengan rasa bangga. Delegasi Indonesia pun menempati tempat terhormat dalam forum internasional itu.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membawa diplomasi lahan gambut ini ke tingkat global, khususnya dalam Pertemuan Mitra Kerja "Global Peatland Initiative" (GPI) di Brazaville.
Turut hadir Perdana Menteri Republik Kongo Clement Mouamba, Menteri Lingkungan Hidup Republik Demokratik Kongo Amy Ambatobe Nyongolo dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Kongo Arlette Soudan-Nonau.
Siti Nurbaya dalam pertemuan itu bukan hanya hadir sebagai peserta biasa, namun juga menjadi pembicara kunci dalam dialog tingkat menteri di pertemuan internasional itu. Ini bisa diraih delegasi Indonesia karena keberhasilannya mengelola gambut.
Nurbaya dengan bangga menyatakan Indonesia sebagai pendiri gerakan Asia-Afrika siap untuk berbagi pengalaman dan membantu negara-negara lain untuk memajukan manajemen gambut melalui kerja sama Selatan-Selatan dan Triangular.
Indonesia juga siap menggulirkan rencananya untuk mendirikan Pusat Riset Internasional Gambut Tropis di Indonesia.
Diyakini dalam beberapa tahun ke depan, dunia akan mengakui gambut Indonesia sebagai arsip dunia.
Sebagai negara yang memiliki 15 juta hektare gambut, Indonesia tentunya mempunyai keistimewaan atas adanya beragam ekosistem gambut. Mulai dari gambut pesisir yang banyak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Lahan gambut yang ada di delta Mahakam Kalimantan Timur, Kapuas di Kalimantan Barat hingga gambut di dataran tinggi seperti di Papua. Begitu juga gambut rawa di Kalimantan mempunyai kemiripan dengan gambut yang ada di Kongo.
Ini adalah diplomasi keberhasilan Indonesia dalam manajemen gambut ke tingkat global. Dengan diplomatis, Nurbaya menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia belajar sangat mahal atas kejadian kebakaran gambut hebat pada tahun 2015.
Pemerintah merespons melalui kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan sangat ketat dan menyeluruh guna meminimalkan terulangnya kejadian ini.
Hasilnya sangat fantastis, dalam kurun waktu dua tahun, 2015-2017, Indonesia berhasil menurunkan titik api sebanyak 93.6 persen.
Hasil ini membuktikan kesungguhan Presiden Joko Widodo menjadikan pencegahan kebakaran hutan dan gambut sebagai prioritas nasional. Presiden berhasil menjadikan kebijakan-kebijakan yang diambilnya menjadi aksi yang efektif di lapangan.
Kerja sama yang kuat antara berbagai pihak, terutama keterlibatan sektor swasta menjadi hal kunci.
GPI adalah prakarsa global yang diinisiasi oleh beberapa negara, badan internasional dan para ahli yang berkomitmen untuk menjaga gambut di seluruh dunia agar lestari.
Gambut sebagai cadangan karbon organik yang terbesar di dunia harus dijaga supaya tidak terbakar.
Semua anggota GPI bekerja sama untuk usaha konservasi, restorasi dan manajemen gambut yang lebih baik.
Berbagi Sukses
Delegasi Indonesia pun membagikan kesuksesan manajemen gambut Indonesia sebagai inspirasi sekaligus rujukan bagi negara-negara lain yang sedang bergiat untuk hal yang sama.
Indonesia berhasil memperbaharui dan mendorong moratorium dan penegakan hukum secara efektif.
Sekitar 500 kasus kebakaran hutan dan gambut dibawa ke pengadilan. Salah satunya yang fenomenal adalah putusan terhadap satu pemegang konsensi lahan yang terbukti bersalah untuk membayar ganti rugi sebesar 1,2 juta dolar Amerika Serikat kepada Pemerintah Indonesia.
Hal ini membangun kepercayaan masyarakat luas atas kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam penegakan hukum terhadap para pihak yang melakukan kejahatan lingkungan.
Sebagai negara yang hidup berdampingan, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo sangat terkesan dengan keberhasilan Indonesia. Mereka sangat tertarik belajar lebih jauh mengenai kerangka institusional efektif yang dijalankan Pemerintah Indonesia.
Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai bagian tak terpisahkan untuk mendukung strategi besar untuk manajemen gambut yang dijalankan oleh Kementerian LHK.
Sampai tahun 2018, program yang dijalankan BRG telah mencakup 2,49 juta hektare, 1,39 juta hektare dilakukan oleh sektor swasta.
Salah satu kunci keberhasilan Indonesia adalah kemampuan untuk melibatkan semua pihak secara efektif dalam kerja besar ini, mulai dari organisasi kemasyarakatan sampai pihak swasta.
Perusahaan-perusahaan pemegang konsensi lahan dinilai proaktif memulai kolaborasi dalam memperbaharui teknologi dan juga mengedukasi para petani untuk manajemen lahan gambut yang berkelanjutan.
Itulah sebabnya negara-negara anggota GPI belajar banyak dari pertukaran teknis, pengetahuan dan inisiatif kebijakan dalam manajemen gambut Indonesia.
Salah satunya, Indonesia yang telah cukup maju dalam manajemen gambut di tingkat nasional dan lokal, mendukung penelitian dalam bidang restorasi dan manajemen gambut.
Selain itu pengembangan sistem monitoring ketinggian permukaan air dan vegetasi (teknik SESAME dan MORPALAGA), website dan laman untuk peta penggunaan lahan gambut berisi informasi mengenai biofisik, sosial, status legal dan aspek administrasi di beberapa kabupaten yang menjadi percontohan.
Indonesia juga mempromosikan "desa peduli gambut" sebagai satu model untuk manajemen gambut terintegrasi yang melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi lahan gambut.
Memuji
Dalam waktu dekat dua negara yang memiliki luas gambut terbesar di dunia, yakni Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo segera belajar ke Indonesia.
Indonesia akan memimpin Kerja Sama Selatan-Selatan dalam penanganan Congo Basin untuk dunia.
Congo Basin atau Lembah Kongo meliputi tiga negara yang memiliki lahan gambut terluas kedua di dunia, yakni Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo dan Gabon.
Selain Indonesia dan dua Kongo, negara dengan luas gambut terbesar lainnya di dunia adalah Peru.
Jika dulu gambut Indonesia dikenal karena rawan terbakar, sekarang sebaliknya, menjadi referensi untuk melindungi gambut Congo Basin.
Dua menteri dari negara Kongo pun segera ke Indonesia, sekitar bulan Juni sebagai tindak lanjut pertemuan itu.
Direktur Eksekutif Program Lingkungan pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) Erik Solheim memuji langkah-langkah yang dilakukan Indonesia dalam pemulihan ekosistem gambut.
Upaya Indonesia dinilai itu telah berhasil serta patut menjadi contoh bagi negara lain.
Rusaknya gambut di seluruh dunia akan menjadi pukulan besar terhadap Perjanjian Paris dan bagi generasi mendatang, kata Solheim.
Karena itu, dunia internasional memberi perhatian kepada Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki gambut terluas di dunia dengan luas lebih dari 15 juta hektare (ha).
Pemerintahan Indonesia secara efektif menjadikan kebijakan perbaikan tata kelola gambut sebagai prioritas nasional. Hal itu dilakukan melalui penerbitan peraturan perundangan maupun langkah-langkah nyata di lapangan untuk pencegahan terulangnya kembali kebakaran gambut.
Solheim meminta Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo untuk belajar dari pengalaman Indonesia dalam pemulihan ekosistem gambut. Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo serta negara-negara lain yang memiliki gambut pun harus belajar dari Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018