Pangkalpinang (Antara Babel) - Salah satu permasalahan yang menarik saat ini untuk dikaji adalah mengenai kepemiluan.  Secara umum pemilu dipahami sebagai implementasi langsung dari instrument demokrasi. Selain itu pemilu diposisikan sebagai wadah transisi kepemimpinan yang sangat baik, poreses ini kemudian dianalogikan sebagai upaya filterisasi pemimpin di cabang eksekutif dan legislatif,artinya siapa saja yang mendaptkan dukungan suara terbanyak berhak menjadi anggota parlemen.

Isu yang tidak kalah penting saat ini adalah isu keterwakilan perempuan di parlemen. Di beberapa Negara maju keterwakilan perempuan di parlemen dirasa memberikan warna baru dalam setiap kebijakan yang diambil, perempuan dianggap dapat mewakili hak-hak kaum mereka. Jika mereview kebelakang khsusunya pada era 70-an dimana sekelompok kecil kaum perempuan yang menamai gerakan mereka dengan gerakan feminish berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang sama (baik masalah sosial ekonomi dan politik)  dengan Laki-laki (equal right). Gerakan ini kemudian menjangkiti seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia hanya saja di Indonesia diperlukan stimulasi khusus untuk mendorong partisipasi perempuan dalam parlemen.

Dalam tataran normatif, terdapat banyak aturan yang secara khusus mengantur dan menjamin hak-hak perempuan. dalam konstitusi misalnya dituangkan kedalam pasal 27 dan pasal 28 C (2), 28 D (3) konstruksi pasal ini tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai perempuan tetapi pasal-pasal ini dapat dipahami sebagai landasan konstitusional yang memberikan legitimasi kepada setiap warga negaranya termasuk perempuan untuk terlibat dalam pemerintahan, memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan Negara.

Selain konstitusi, hak-hak warga Negara dalam hal ini perempuan dituangkan juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,  kemudian Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR,DPD,dan DPRD. Pasal 55 yang menyatakan bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan” disamping itu ketentuan pasal ini diperkuat lagi dalam pasal 56 (2) yang menyebutkan secara eksplisit bahwa “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” Jika kedua pasal ini dianalisis secara detail maka dapat diketahui bahwa pertama, Partai politik peserta pemilu wajib melakukan rekturmen atau membina kader perempuan. Kedua, konsekuensi logis yang timbul dari pasal ini adalah Partai politik dapat didiskualifikasi apabila syarat keterwakilan ini tidak terpenuhi.

Angka 30% sebagaimana disebutkan Undang-Undang kepemiluan merupakan ketentuan yang rigid dan tidak dapat ditawar sehingga dalam tataran implementasi seringkali partai politik melakukan cara instan misalnya merekrut kader tanpa kaderisasi yang jelas atau dengan katalain yang terpenting adalah kuota 30% terpenuhi, syarat ini kemudian hanya dipahami sebagai aturan formalil saja. Disamping itu tanpa kita sadari bersama, penyebutan angka dalam Undang-Undang ini menandakan bahwa saat ini partisipasi perempuan dalam parlemen masihlah sangat rendah sehingga dibutuhkan stimulasi bahkan presure kepada parpol peserta pemilu untuk memenuhi kriteria tersebut.

Realitas ini kemudian melahirkan banyak pertanyaan seperti, apakah angka 30% syarat keterwakilan ini perlu diubah bahkan dinaikan menjadi 50% agar menjamin prinsip Equal in Parlement, atau apakah kemudian perlu dubuat aturan khsus sehingga keterwakilan perempuan terealisasi dalam parlement.

Dalam tataran teori perwakilan, Konsep perwakilan idealnya dapat diwakili oleh siapa saja tanpa memandang agama,ras dan gender. Berkaca pada hasil pemilu DPR DPD dan DPRD beberapa tahun kebelakang rasanya sulit untuk mewujudkan keterwakilan perempuan pada pemilu 2014 nanti, alasan sederhana yang mendasri analisis ini adalah lemahnya partisipasi publik terhadap kaum perempuan itu sendiri, bahkan pemilih perempuanpun belum tentu akan meberikan suaranya kepada calon perempuan itu sendiri. Sebagai contoh real misalnya jumlah pemilih perempuan di Jawa timur jauh lebih besar dibandingkan pemilih laki-laki tetapi pada kenyataannya justru hasilnya berbanding terbalik dengan realitas yang ada.

Partai politik sebagai media apresiasi harusnya menjadi pioner terdepan atas permasalahan ini, kaderisasi tanpa melihat gender perlu menjadi agenda utama untuk memperbaiki partisipasi dalam parlemen ini, selain itu kader perempuan dalam parpol harus memposisikan diri sebagai pendobrak kekakuan ini sehingga publik kemudian percaya akan kapasitas, kredebilitas serta kelayakan mereka untuk duduk diparlemen.

*) Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Yapertiba Pangkalpinang

Pewarta: Oleh: Junaidi Abdillah, SH, MH *)

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014