Jakarta (Antara Babel) - Memilih perempuan sebagai "aulia" atau pemimpin bagi sebagian besar masyarakat di Tanah Air masih merupakan suatu hal yang tabu.

Sejumlah hukum adat bahkan hukum agama yang konservatif melarang dengan tegas memilih perempuan sebagai pemimpin.

Ulama Islam konservatif tidak membenarkan, sementara paham gereja fundamentalis tidak pernah menasbihkan perempuan sebagai pemimpin.

Perempuan di Indonesia pun pada akhirnya menyerah pada nasib selama ratusan tahun hingga memandang politik dan ruang pengambilan keputusan bukanlah bagian dari hak mereka.

Diskusi mengenai peran publik perempuan khususnya di bidang politik pun menjadi debat kusir berkepanjangan yang hampir tidak pernah menemui titik temu.

Padahal tanpa harus ada pengingkaran sejak zaman dahulu kala sudah dikenal sosok-sosok perempuan yang duduk di puncak tertinggi sebuah pemerintahan.

Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran perempuan sudah dalam dunia politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu) yang wafat pada 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit.

Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang tidak mungkin memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik.

Sejarawan asal Kanada Earl Dark merilis kajiannya yang membuktikan puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk, raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit.

"Gayatri tidak pernah menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang sangat luar biasa di Nusantara kala itu," tulisnya.
 
Saudara Laki-laki

Peran perempuan berpolitik juga bahkan sudah dikenal ketika awal peradaban Islam di Tanah Arab.

Cendekiawan Muslim M. Quraish Shihab mengatakan dalam Islam tidak ditemukan satu ketentuan pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama Islam yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki.

"Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut," katanya.

Sejarah mencatat sekian banyak perempuan terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik).

Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara.

Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.

Atas dasar kaidah itulah ulama Muslim Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih bukan hanya sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat maka dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang.

Perempuan adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama.

Menurut M. Quraish Shihab, perbedaan pendapat tersebut muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat istiadat, serta kecenderungan masing-masing.

"Ini yang kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw," katanya.

Perempuan Berkualitas

Menjelang Pemilu Legislatif 2014, Gereja Katolik Indonesia melalui Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) telah jauh-jauh hari mengeluarkan panduan bagi seluruh umat Katolik agar menjadi pemilih yang cerdas.

Gereja juga meminta umat untuk tidak ragu memilih Caleg Wanita yang berkualitas yang mau duduk di kursi DPR, DPD, dan DPRD.

Ketua Dewan Pengurus Pusat Wanita Katolik RI (DPP WKRI) Justina Rostiawati mengatakan pihaknya menyambut baik wanita yang bersedia menjadi anggota legislatif dan terjun dalam dunia politik.

"Kami selalu menyapa anggota di tingkat mana pun yang sudah menjadi anggota legislatif dan eksekutif. Saya juga berharap agar para anggota WKRI yang telah atau nantinya menjadi anggota legislatif bisa menyuarakan dan membawa spirit WKRI. Kalau bisa, mereka dapat menularkan spirit kepada yang lain, terutama dalam hal pemberantasan korupsi," katanya.

Theolog Kristen Ira T. Utary mengatakan peran ganda seorang wanita sebaiknya mendorong kaum wanita untuk melakukan peranannya di rumah tangga maupun di luar rumah dengan lebih baik, kerajinan dan pendelegasian menjadi kuncinya.

"Dimana prioritas dan keseimbangan diperlukan agar dapat melakukan peran ganda seorang wanita," katanya.

Hukum rupanya telah memilih laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin atas dasar kapasitasnya bukan atas dasar jenis kelamin.

Semua sepakat bahwa di hadapan Tuhan semua manusia sama, hanya iman mereka yang membedakan.

Dengan begitu kursi parlemen hanya menjadi simbol ruang pengambilan keputusan yang terbuka bagi semua jenis kelamin; baik laki-laki maupun perempuan.

Pewarta: Oleh Hanni Sofia

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014