Jakarta (Antaranews Babel) - Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) Prof KH Ahmad Satori Ismail mengatakan figur yang diposisikan sebagai ulama oleh umat hendaknya menjadi pemersatu masyarakat, bukan sebaliknya memecah-belah.
"Ulama tidak sekadar mengajarkan agama, tapi juga sebagai contoh dan guru bagi masyarakat. Ulama tentunya bisa menyatukan umat, tidak memecah-belah," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, lanjut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, figur yang mendapat gelar ulama hendaknya baik dalam perilaku dan ucapan.
"Ucapan dan perilaku tentunya sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As Sunnah, dengan mengambil contoh kehidupan dari Nabi, bukan malah berbicara menjelek-jelekkan," katanya.
Satori mengakui kriteria ulama di Indonesia belum jelas. Semestinya seorang ulama betul-betul ahli agama. Namun, bagi masyarakat awam, asal bisa berdoa seseorang sudah disebut sebagai ulama
"Umpama ada yang tidak kredibel, ya, mohon maaf karena kriteria ulama di Indonesia selama ini masih juga masih belum jelas," kata anggota Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Ia pun mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam memilih figur ulama untuk dijadikan panutan, apalagi jika niatnya ingin menambah ilmu agama.
Pada bagian lain, Satori menyatakan tidak setuju dengan pendapat yang melarang ulama berbicara dalam masalah politik.
"Bicara politiknya tentunya yang benar, hal hal yang bisa mengangkat martabat dan harkat bangsa ini sehingga masyarakat akan merasakan manfaat ulama yang ada di tengah tengah masyarakat itu," tuturnya.
Menurut alumnus Universitas Al Azhar, Mesir, ini, sejarah membuktikan keterlibatan ulama di dalam perjuangan politik dan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan, membangun dan mempertahankan kedaulatan bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018
"Ulama tidak sekadar mengajarkan agama, tapi juga sebagai contoh dan guru bagi masyarakat. Ulama tentunya bisa menyatukan umat, tidak memecah-belah," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Oleh karena itu, lanjut Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, figur yang mendapat gelar ulama hendaknya baik dalam perilaku dan ucapan.
"Ucapan dan perilaku tentunya sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As Sunnah, dengan mengambil contoh kehidupan dari Nabi, bukan malah berbicara menjelek-jelekkan," katanya.
Satori mengakui kriteria ulama di Indonesia belum jelas. Semestinya seorang ulama betul-betul ahli agama. Namun, bagi masyarakat awam, asal bisa berdoa seseorang sudah disebut sebagai ulama
"Umpama ada yang tidak kredibel, ya, mohon maaf karena kriteria ulama di Indonesia selama ini masih juga masih belum jelas," kata anggota Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Ia pun mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam memilih figur ulama untuk dijadikan panutan, apalagi jika niatnya ingin menambah ilmu agama.
Pada bagian lain, Satori menyatakan tidak setuju dengan pendapat yang melarang ulama berbicara dalam masalah politik.
"Bicara politiknya tentunya yang benar, hal hal yang bisa mengangkat martabat dan harkat bangsa ini sehingga masyarakat akan merasakan manfaat ulama yang ada di tengah tengah masyarakat itu," tuturnya.
Menurut alumnus Universitas Al Azhar, Mesir, ini, sejarah membuktikan keterlibatan ulama di dalam perjuangan politik dan fisik merebut dan mempertahankan kemerdekaan, membangun dan mempertahankan kedaulatan bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2018