Jakarta (Antara Babel) - Presiden Joko Widodo telah meluncurkan program perlindungan sosial berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Besar Jakarta, Jalan Pasar Baru, Jakarta Pusat pada Senin (3/11).
Presiden membenarkan saat ditanya wartawan bahwa program tersebut untuk mengantisipasi rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Untuk menjaga daya beli masyarakat, dan yang jelas untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan," tutur Presiden Jokowi.
Program KIS akan menggunakan anggaran dana BPJS Kesehatan. Yang membedakan KIS dengan layanan BPJS adalah bisa dipakai di mana saja, sementara BPJS hanya bisa digunakan di wilayah tempat kartu diterbitkan.
Namun, satu pekan sejak program tersebut diluncurkan, polemik mengenai keabsahan program-program tersebut masih muncul. Jawaban beberapa menteri Kabinet Kerja yang berbeda satu sama lain tampaknya belum memuaskan beberapa pihak yang mengkritisi kebijakan tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang dipermasalahkan, yaitu soal landasan hukum dan anggaran. Tentang landasan hukum, pakar hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra bahkan ikut angkat bicara dengan menuding beberapa menteri tidak paham aturan.
"Mengurus negara tidak bisa seenaknya seperti mengurus warung," ucapnya salah satu cuitan di akun Twitternya.
Soal anggaran juga masih belum jelas. Pasalnya, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sama sekali belum pernah membahas APBN dengan DPR. Dengan kata lain, pemerintahan saat ini hanya mewarisi APBN dari pemerintahan sebelumnya yang sama sekali tidak ada mata anggaran untuk KIS, KIP dan KKS.
Namun, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan ketiga kartu tersebut dibiayai oleh dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) badan usaha milik negara (BUMN).
Produk Lain BPJS
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf memandang program Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada Senin (3/11) merupakan produk lain dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Setiap program pemerintah harus ada cantelan hukumnya yang disepakati bersama DPR. Sudah ada Undang-Undang BPJS maka itu yang kita terima," ujar Dede Yusuf.
Dede mengatakan setiap program pemerintah harus memiliki payung hukum yang disepakati dengan DPR karena berkaitan dengan anggaran, infrastruktur dan audit.
Karena itu, payung hukum yang memungkinkan bagi KIS adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengatur tentang Jaminan Kesehatan Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Menurut Dede, salah satu klausul dalam Undang-Undang BPJS memungkinkan adanya produk-produk lainnya. Karena itu, dia mengasumsikan KIS sebagai salah satu produk BPJS.
"Menurut yang saya dengar dari pemberitaan di media, beberapa menteri mengatakan penyelenggara KIS adalah BPJS. Namun, katanya lebih diperluas," tuturnya.
Politisi Partai Demokrat itu menilai KIS merupakan penyempurnaan dari BPJS Kesehatan yang diluncurkan semasa Presiden Yudhoyono.
Ketua Komisi IX DPR RI itu mengatakan masih ada 2 juta masyarakat miskin lagi yang belum terdaftar di BPJS maupun KIS. Saat ini KIS yang disalurkan mencapai 86 juta dari rencana 108 juta.
"Namun, data itu masih harus dikonfirmasi dengan data yang ada Badan Pusat Statistik," ucapnya.
Tambah Pengeluaran BPJS
Pakar jaminan sosial Universitas Gajah Mada Prof dr Laksono Trisnantoro berpendapat KIS akan menambah pengeluaran BPJS Kesehatan.
"Pemasukan BPJS dari peserta mandiri memang lebih besar daripada pengeluaran. Namun, perlu dihitung betul pengeluaran BPJS apakah merugi atau tidak," kata Laksono Trisnantoro.
Supaya BPJS tidak mengalami kerugian, Laksono mengatakan jumlah peserta mandiri BPJS harus ditingkatkan. Namun, apa dan siapa yang bisa memaksa dan menjamin seluruh rakyat mendaftar menjadi BPJS.
"Yang terjadi adalah peserta mandiri BPJS banyak yang mendaftar karena sudah dalam kondisi sakit. BPJS berbeda dengan asuransi. Kalau mendaftar asuransi harus dalam kondisi sehat," tuturnya.
Laksono mengatakan memberikan jaminan sosial kepada masyarakat miskin merupakan kewajiban negara. Karena itu, secara filosofis dia berpendapat KIS seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin yang tidak termasuk dalam penerima bantuan iuran (PBI) BPJS.
"Masih ada masyarakat miskin yang terpinggirkan yang belum terlindungi jaminan sosial karena bukan termasuk PBI. KIS seharusnya menyasar mereka. Karena itu, verifikasi data menjadi penting," kata guru besar Fakultas Kedokteran UGM itu.
Namun, Laksono mengatakan harus dipastikan PBI meskipun tidak menerima KIS, tetap menerima KIP dan KKS karena itu merupakan hak mereka sebagai orang miskin.
Didik Jadi Pengemis
Sementara itu, pencetus ide BPJS Dr Emir Soendoro menilai program jaminan sosial dari Presiden Joko Widodo berupa KIS mendidik rakyat untuk menjadi pengemis.
"Rakyat akan berpikir bahwa itu gratis, tidak ada kewajiban warga negara untuk iuran sama sekali, padahal konsep jaminan sosial di Indonesia itu adalah gotong royong," kata Emir Soendoro.
Emir menilai apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan meluncurkan KIS disebabkan ketidakpahaman mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan BPJS.
"Di lingkaran Presiden juga sepertinya tidak ada orang-orang yang memahami dan mengerti tentang BPJS yang memberikan masukan," tuturnya.
Emir juga menilai bahwa Presiden Jokowi meluncurkan KIS karena semata-mata ingin memiliki program yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Padahal, lanjut Emir, pemerintahan sebelumnya pun telah melaksanakan BPJS yang berbeda dengan konsep awalnya.
Emir menilai pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia sudah tidak keruan dan melenceng dari rencana awalnya.
"Ide awalnya BPJS itu hanya satu dan kepalanya merupakan pejabat setingkat menteri. Namun, sekarang ada dua BPJS, masih ada berbagai kartu jaminan sosial lagi yang dibagikan pemerintah," katanya.
Menurut dia de awal jaminan sosial adalah penyatuan antara Jamsostek, Askes, Jasa Raharja, Taspen dan Asabri. Uang yang diiurkan peserta juga tidak akan hilang karena akan diberikan ketika peserta mencapai usia tertentu.
Menurut Emir, perubahan Askes menjadi BPJS Kesehatan dan Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan juga seharusnya tidak mengubah hak-hak peserta yang sudah terdaftar sebelum transformasi menjadi BPJS.
"Kalau diubah semua seperti ini, orang-orang yang dulu menjadi peserta Askes dan Jamsostek bisa kecewa karena merasa ada penurunan layanan," tukasnya.
Emir mengatakan dia memiliki ide mengenai jaminan sosial berdasarkan pengalaman empirisnya saat menjadi dokter dan sempat berdinas di TNI Angkatan Laut setelah menempuh pendidikan di Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) pada periode 1980-an.
Saat itu, dia yang bertugas di Rumah Sakil Angkatan Laut melihat tentara tidak perlu khawatir dengan diri dan keluarganya karena sudah ada jaminan kesehatan dari Asabri.
Semua tentara dan keluarganya, mulai dari tamtama hingga perwira, tidak perlu berpikir biaya kesehatan sama sekali.
"Jadi, mereka bisa bekerja optimal untuk negara. Tidak perlu lagi berpikir, nanti kalau saya dan keluarga sakit bagaimana. Semua sudah ada yang menanggung," ujarnya.
Namun, di sisi lain, istrinya yang bekerja di sebuah puskesmas menceritakan masih banyak orang, khususnya petani, yang kesulitan biaya saat sakit dan harus berobat.
"Karena itu, saya berpikir harus ada jaminan sosial yang bisa melindungi seluruh warga negara," pungkasnya.
Jaminan Sosial Dari Jokowi Untuk Rakyat Miskin
Minggu, 9 November 2014 13:21 WIB