Pangkalpinang (ANTARA) - Membangun SDM yang profesional menjadi salah satu fokus dari pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua 2019-2024. Pada sidang Paripurna MPR RI tanggal 20 Oktober 2019 presiden telah memberikan 5 (lima) arahan penting, dua diantaranya adalah Pembangunan SDM dan Penyederhanaan Birokrasi.
Arahan ini menjadi penting dan saling terkait jika dikaitkan dengan persoalan birokrasi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum jika mayoritas masyarakat menilai negatif birokrasi pemerintah. Penyebab utama mengapa persepsi tersebut timbul tidak lain dikarenakan rendahnya kualitas pelayanan publik, maraknya perilaku korupsi, kolutif, dan nepotisme (KKN), serta adanya kecenderungan untuk menyalahgunakan kewenangan, dan rendahnya profesionalisme.
Tidak terbentuknya budaya kerja dan etika yang baik dalam memberikan pelayanan, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi. Menafikan fungsi melayani menjadi dilayani.
Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa tata kelola pemerintahan terlalu banyak birokrasi, panjang dan berbeli-belit. Budaya kerja kita masih kurang inovasi dan lambat, terlalu bertele – tele. Wajar jika ada satire terkait kinerja ASN di masyarakat 'kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah, jika bisa diperlama kenapa harus dipercepat'.
Keinginan Presiden untuk menyederhanakan birokrasi dengan menjadikan jabatan struktural menjadi dua level, dan mengalihkan jabatan struktural yang ‘terlikuidasi’ ke jabatan fungsional, hanya sebagai kebijakan solusi jangka pendek untuk memangkas keruwetan birokrasi yang telah mengakar selama bertahun-tahun.
Menurut PermenPAN-RB Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional, pasal 2 menjelaskan ruang lingkup penyetaraan adalah jabatan administrator (eselon III), pengawas (eselon IV) dan jabatan pelaksana (eselon V).
Dalam ketentuan umum di peraturan yang sama, dijelaskan bahwa “Jabatan Fungsional adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu”. Menjadi pertanyaan sejauh apa kebijakan ini akan memberikan implikasi positif pada peningkatan profesionalisme ASN.
Saat ini dunia telah memasuki revolusi industri 4.0, dimana titik beratnya ada pada otomatisasi yang berkolaborasi dengan teknologi informasi dan diadaptasi oleh berbagai sektor kegiatan. Dikutip dari buku Kompetensi SDM Era 4.0 (Agung,2020) Kemajuan teknologi informasi menimbulkan situasi yang penuh gejolak (Volatility), Ketidak pastian (Uncertainty), rumit (Comlecity) serta penuh kekaburan (Ambiguity) atau dikenal dengan VUCA.
Maka sejauh mana kemampuan birokrasi kita menghadapi era tersebut, dimana saat ini birokrasi kita seperti apa yang disampaikan oleh Eko Prasojo dalam sebuah webinar bahwa “birokrasi kita masih berada pada posisi 1.0, yaitu model birokrasi yang masih berorientasi pada politik (Bureaucratic-Oriented Political Model”).
Suatu model birokrasi dimana kepentingan politik masih sangat kuat dalam mengendalikan birokrasi sehingga kompetensi dan profesionalitas dikesampingkan, dan seperti yang kita mafhum hal tersebut masih kuat membelenggu birokrasi khususnya di daerah, dimana pengangkatan jabatan masih melihat kepentingan politik parsial seperti kedekatan hubungan, kedekatan kekerabatan bahkan keberpihakan politik, bukan dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensi.
Mengapa hal tersebut terjadi? tidak lain karena mahalnya biaya politik dan kepentingan politik balas budi. Terbukti, masih adanya kepala daerah yang ditangkap oleh KPK terkait jual beli jabatan. Jadi, jalan birokrasi kita untuk mencapai birokrasi 4.0 seperti negara lain semisal Korea dan Singapura masih sangat panjang.
Membentuk ASN Profesional
George C. Edwards III dalam bukunya ‘Implementing public policy ’ (1980:10) menjelaskan bahwa sumber daya menjadi satu dari empat faktor atau variabel kritis dalam implementasi suatu kebijakan selain faktor komunikasi, watak atau tingkah laku dan struktur birokasi. ASN sebagai bagian dari birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam suatu kebijakan berbasis rasional. Untuk itu Pembentukan karakter ASN menjadi sangat penting.
Masih menurut Edward III bahwa sejelas dan seakurat apa pun perintah yang disampaikan, jika personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kekurangan sumber daya (tidak profesional dan kompetensi) untuk melakukan pekerjaan yang efektif maka implementasi dari tugas tidak akan efektif. Dalam konteks ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber daya yang profesional dan berkompetensi memiliki pengaruh besar dalam memahami semua intruksi pimpinan yang pada akhirnya berdampak pada hasil pekerjaan yang ada.
Menghadapi era 4.0 yang penuh persaingan dan ketidak pastian ini setidaknya ASN harus memiliki visi, inovasi dan lincah. Untuk itu dibutuhkan ASN sebagai profesi berlandaskan atas kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas, dan hal tersebut telah ditegaskan dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN) No. 5 Tahun 2014.
Kata profesional menjadi landasan penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Salah satu instrumen penting membentuk profesionalisme ASN adalah jabatan fungsional (JF). Posisi ASN dalam konsep ini ditempatkan sebagai produsen pengetahuan, perencana pengetahuan, pengguna pengetahuan, dan pemangku pengetahuan.
Jabatan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan, diharapkan dapat mengisi ruang yang mungkin selama ini dianggap kosong, selain itu jabatan fungsional dapat menjadi model dari seorang ASN sebagai tenaga kerja yang profesional yang memiliki kompetensi sesuai dengan keahlian. Jabatan fungsional diharapkan menjadi role model ASN yang kompetitif.
Mengapa jabatan fungsional bisa menjadi role model? Sesuai konsepnya jabatan fungsional dibentuk berdasarkan unsur-unsur kegiatan sesuai dengan rumpun jabatan fungsional bersangkutan, yang telah ditentukan dan sama untuk setiap ASN baik di pusat dan daerah. Tiap–tiap unsur kegiatan tersebut di breakdown lagi menjadi butir-butir kegiatan dimana kualitas hasilnya (output) telah memiliki nilai ukur yang ditetapkan melalui peraturan yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi pembina.
Selain itu pejabat fungsional ‘dipaksa’ untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, baik itu melalui pendidikan formal maupun informal, karena menjadi bagian penilaiannya.
Realitas Posisi Jabatan Fungsional
Rini Widyantini (Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana KemenPAN-RB) dalam diskusi kebijakan ‘Peran Penting Wadah Pemikir Pemerintah untuk Bangkit dari Pandemi’ menyampaikan ada tiga hal penting dalam penyederhanaan birokrasi , yaitu: 1) melakukan transformasi struktur organisasi, 2) transformasi di bidang SDM, dan 3) transformasi di bidang tata kelola pemerintah. Tujuan dari penyetaraan jabatan administrasi adalah untuk menciptakan birokrasi yang lebih dinamis dan profesional sebagai upaya peningkatan efektifitas dan efisiensi untuk mendukung kinerja pelayanan pemerintah kepada publik.
Dalam konteks ini secara konseptual jabatan fungsional dianggap menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan kedinamisan dan profesionalisme birokrasi. Namun secara realitas selama ini terbentuk mindset yang beranggapan jabatan fungsional sulit untuk dijalankan karena adanya kewajiban mengumpulkan angka kredit, dan jabatan fungsional sebagai jabatan kelas dua.
Pikiran yang umum adalah : 1) Jabatan fungsional masih dianggap jabatan yang kurang prestise dan bergengsi, jauh bila dibandingkan dengan jabatan struktural. Jabatan struktural memiliki kegiatan dan bertanggungjawab atas anggaran didalamnya, serta memiliki bawahan tentunya. 2) Jabatan fungsional menjadi pilihan terakhir atau ‘keterpaksaan” bagi ASN yang tidak mendapat jabatan di struktural atau yang dilengserkan dari jabatannya, dan pilihan bagi pejabat yang ingin memperpanjang masa pensiunnya. Hal ini ditambah dengan kebijakan pimpinan instansi yang kurang memberikan ruang dan peran bagi jabatan fungsional.
Menurut Murakami dalam Reinald Kasali (2018:224) ada tiga faktor yang membawa perubahan pada manusia, yaitu kapasitas bakat (talenta), cara berpikir dan lingkungan di mana kita berada. Artinya selain kemampuan personal dan cara berpikir, dukungan dari lingkungan kerja pun memberikan pengaruh terhadap perubahan kinerja seseorang.
Apabila masih ada dari sebagian kita yang berpikir bahwa jabatan fungsional tidak memberikan kontribusi atau tidak jelas pekerjaannya bila dibandingkan dengan pejabat struktural. Pola pikir yang ada tersebut hendaknya segera dirubah dengan memperbanyak literasi tentunya. Kita secara jujur pun harus mengakui jika tidak semua ASN dalam jabatan fungsional produktif, namun kita pun tidak bisa menafikan tidak semua ASN dalam jabatan administrasi memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam jabatan yang didudukinya.
Realitas itu ada dalam birokrasi ASN kita sekarang ini. Seperti yang pernah dikeluhkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo, dimana saat ini masih ada sekitar 1,6 juta PNS yang duduk di posisi tenaga administrasi dan kinerjanya dinilai tidak produktif.
Penyederhanaan birokrasi yang dimplementasikan ke dalam pengalihan jabatan administrasi (eselon III dan IV) ke dalam jabatan fungsional dapat diartikan sebagai momentum yang tidak hanya bertujuan untuk memangkas birokrasi tapi juga dapat meningkatkan kompetensi dan profesionalisme ASN secara umum, dimana ASN harus memiliki komitmen dalam bekerja dan berkinerja.
Penulis: M.Denny Elyasa,S.E.,M.M (Analis Kebijakan Pemerintah Prov.Kep.Bangka Belitung)
Devi Melitasari, S.T (Analis Kebijakan Bappelitbangda Kab. Belitung Timur)
Jabatan Fungsional 'Jalan' Membangun ASN yang Kompetitif dan Profesional
Kamis, 10 Juni 2021 10:34 WIB